Wednesday, 10 February 2010
ANTARA SM, BOED DAN SBY
Saya sering heran bercampur geram melihat betapa masih banyaknya orang-orang yang begitu naif memuja-muji sosok-sosok seperti Sri Mulyani (SM) dan Boediono (Boed). Di jaman informasi begitu melimpah ini, masih banyak orang yang tidak memahami mengenai faham neolib dan sejenisnya serta dampaknya bagi kesejahteraan masyarakat. Ironisnya, “kebutaan” ini justru banyak dialami oleh orang-orang yang mengaku terpelajar.
Kalau memang mereka hidup dari sistem neolib dan sejenisnya dan mendapatkan kelimpahan rejeki darinya, itu masih wajar. Contohnya seperti DI yang setelah sukses membesarkan modal para kapitalis di JP Group, kemudian diberi pekerjaan jadi dirut PLN. Atau CB, kutu buku yang tidak tahu apa-apa tentang tambang dan harga emas diberi pekerjaan menjadi komisaris Freeport. Atau juga FB, orang yang “berpura-pura” menjadi seorang sosialis, yang diberi pekerjaan menjadi ketua komisi pengawas persaingan usaha, tapi tidak melakukan apapun untuk menghentikan praktik-praktik monopoli seperti monopoli terigu oleh Bogasari. Tapi kalau mereka tidak mendapatkan apa-apa, sungguh disesalkan. Apalagi kalau mereka hanya rakyat jelata yang hidupnya semakin susah dari tahun-ketahun karena sistem kapitalis neolib yang telah menggerogoti perekonomian masyarakat, sangat keterlaluan. Seorang FB'er mengatakan, neolib tidak pernah eksis karena itu tidak perlu dipikirkan. Lihatlah ia begitu naifnya sehingga menganggap sebuah faham baru eksis jika bermorfologi menjadi sebuah organisasi atau yayasan. Komunisme adalah organisasi? Islam Sunni atau Kristen Protestan sebuah organisasi?
Berbicara soal alasan untuk menjadi pengikut/pemuja-muji SM dan Boed sebenarnya saya cukup memenuhi syarat. Boed adalah mantan dosen saya di Jogya dan SM adalah tokoh nasional pertama yang saya wawancarai saat saya menjadi wartawan. Saking kagumnya saya padanya waktu itu, saya sampai menyimpan foto kami tengah berwawancara. Lagipula SM adalah kakak ipar dari sahabat saya di Medan. (Sorry PW, tapi ini untuk kemaslahatan ummat). Tapi bagi saya keduanya tidak lebih dari “jew ass sucker”, neolib, faham yang umurnya tinggal seumur jagung.
Lihatlah SM yang adik kandungnya jaimnya minta ampun, keangkuhannya sangatlah menonjol (tapi DI, sesama “jew ass sucker” tentu saja memuji-muji akhlaknya setinggi langit). Ketika memimpin rapat KKSK membahas rencana bailout Bank Century, ia menunjuk sana-sini dengan tangan kirinya. Namun yang menarik adalah ia tampak segan terhadap Boed, terlihat dari cara duduknya yang condong menjauhi Boed. Ini tidak lain karena dalam hal “jew ass sucker” ini, Boed lebih senior dibanding SM. Buktinya saat George Soros datang ke Indonesia, Boed yang dijumpainya ketimbang SM.
Namun dibanding SBY, SM lebih senior. Beberapa waktu lalu SBY memintanya menghentikan perdagangan saham BEJ untuk mencegah kebangkrutan perusahaan Bakrie yang waktu itu Menkokesra, SM “cuek bebek”. Bahkan waktu SBY bersikeras dengan perintahnya, SM balik menggertak dengan mengancam mundur dari jabatan menteri keuangan. SM tahu, strata dirinya sebagai “jew ass sucker” lebih tinggi dibanding SBY yang lebih yunior. Terbukti kemudian SBY tidak berdaya menghadapi SM.
Dan kini kedigdayaan SM kembali diperlihatkan dengan move-nya menyeret perusahaan Bakrie ke pesakitan dengan tuduhan penggelapan pajak. Karena bagi neolib sepertinya, perusahaan milik pribumi seperti Bakrie Group tidak terlalu penting sebagaimana perusahaan asing seperti Freeport, misalnya. Dan sebagaimana terdahulu, SBY hanya menjadi “penabuh kendang” dari tarian maut yang dimainkan SM.
No comments:
Post a Comment