Persis seperti yang dikhawatirkan banyak pihak, tindakan keras militer terhadap para pendukung Ikhwanul Muslimin telah dimulai dengan korban mencapai puluhan orang. Berbagai sumber menyebutkan pada hari Sabtu saja (27/7) jumlah korban tewas telah mencapai angka 150 orang. Wartawan
The Guardian, Patrick Kingsley & Peter Beaumont dalam laporannya tgl 28 Juli dengan mengutip pernyataan Ikhwanul Muslimin menyebutkan bahwa korban tewas mencapai 66 tewas dan 61 orang lainnya mengalami luka serius, semuanya anggota Ikhwanul Muslimin.
Dalam peristiwa paling berdarah semenjak tergulingnya Presiden Husni Mubarak awal tahun 2011 lalu, jubir Ikhwnul Muslimin menyebutkan bahwa aparat keamanan Mesir pada hari Sabtu (27/7) telah "membantai" para anggota Ikhwanul Muslimin yang tengah melakukan unjuk rasa damai. Namun itu baru permulaan, karena diyakini militer telah bertekad untuk menghentikan seluruh aksi demonstrasi yang digelar Ikhwanul Muslimin, apapun akibatnya, setelah dukungan yang diberikan rakyat Mesir dianggap sudah cukup. Sebagaimana diketahui, pada hari Jum'at (26/7) ratusan ribu pendukung militer melakukan aksi unjuk rasa dukungan kepada militer untuk menghentikan "aksi-aksi kekerasan dan terorisme", kalimat tidak langsung untuk "aksi-aksi demonstrasi Ikhwanul Muslimin".
Angka kematian yang terjadi lebih besar daripada "pembantaian markas Pengawal Republik" tgl 8 Juli lalu ketika tentara menembaki para demonstran Ikhwanul Muslimin yang berusaha menyerbu markas pasukan Pengawal Republik yang diduga menjadi tempat penahanan mantan Presiden Mohammad Moersi yang dikudeta tgl 3 Juli lalu. Saat itu sebanyak 51 orang tewas.
Kematian-kematian tersebut diduga kuat diakibatkan oleh aksi aparat militer dan polisi, baik yang berseragam maupun tidak berseragam, yang menembakkan peluru tajam terhadap para anggota Ikhwanul Muslimin yang tengah melakukan aksi duduk di dekat masjid Rabaa al-Adawiya di kawasan Nasr City, dan di beberapa tampat lainnya di Kairo. Korban tewas juga terjadi di Alexandria dan beberapa kota lainnya di Mesir.
"Mereka tidak menembak untuk sekedar melukai, mereka menembak untuk membunuh. Kebanyakan luka tembakan ada di kepala dan dada," kata jubir Ikhwanul Muslimin Gehad el-Haddad. Korban tewas dan luka-luka dibawa ke rumahsakit darurat yang didirikan di dekat Masjid Rabaa, yang lantainya basah oleh darah para korban kekerasan.
Aksi kekerasan ini mengundang kecaman internasional, meski tidak satupun pemimpin dunia yang secara langsung menuduh militer maupun pemerintahan sementara Mesir sebagai penanggungjawabnya, termasuk sekutu Ikhwanul Muslimin yang juga Perdana Menteri Turki Tayyep Erdogan.
“Sekretaris Jenderal mengutuk keras munculnya kekerasan di Mesir yang telah menyebabkan sejumlah orang tewas dan ratusan luka-luka, menyusul protes pada Jumat dan Sabtu,” kata kantor pers sekjen PBB Ban Ki Moon, Sabtu (27/7).
“Saat ini adalah sebuah saat-saat menentukan untuk Mesir. Dua tahun lalu, sebuah revolusi dimulai. Keputusan akhirnya belum diperoleh, namun hasil revolusi itu akan sangat dipengaruhi apa yang terjadi hari ini,” kata Menlu Amerika John Kerry.
“Di Mesir, demokrasi dibantai, aspirasi nasional dibantai, dan sekarang bangsa sedang dibantai,” kata Tayyip Erdogan.
“Kini saatnya berdialog, bukan konfrontasi. Adalah tanggungjawab dari pimpinan kedua pihak untuk mengurangi ketegangan," kata menlu Inggris William Hague.