Thursday, 31 July 2008
DEMOKRASI MILIK SIAPA?
Ketika para pendiri negara Amerika memproklamirkan kemerdekaan bangsa Amerika Serikat tahun 1774, mereka sama sekali tidak pernah membayangkan negaranya akan dibentuk sebagai negara republik seperti sekarang, dimana semua rakyat berhak menentukan pemimpinnya melalui pemilu yang diadakan secara reguler; kekuasaan dibagi-bagi antara eksekutif, legislatif, yudikatif; dan dan penguasa dibatasi masa kekuasaan¬nya. Dalam pikiran mereka sebenarnya adalah Amerika akan dibentuk sebagai sebuah negara kerajaan sebagaimana umumnya negara-negara lainnya di dunia saat itu. Permalahannya adalah siapa yang akan dijadikan sebagai raja. Untuk itulah para pendiri Amerika kemudian berupaya mencari calon raja yang tepat.
Pemimpin kemerdekaan George Washington pada awalnya ditawari menjadi raja, namun menolak karena merasa tidak pantas mengingat ia bukan bangsawan tinggi. Para pendiri Amerika kemudian mengalihkan pandangannya kepada Charles III Edward Stuart, mantan raja Inggris yang tersingkir dari perebutan kekuasaan di negerinya dan tengah menjalani kehidupan dalam pengasingan di Florence, Italia. Ia pun menolak karena menganggap Amerika negara barbar yang tidak setara dengan negara-negara Eropa saat itu.
Akhirnya, setelah tidak ada lagi calon raja Amerika yang tepat, para pendiri Amerika memutuskan membentuk negara sendiri yang berbeda dengan negara-negara lain pada umumnya saat itu.
Acuan mereka satu-satunya tentang negara republik adalah negara Romawi (berdiri abad 7 SM). Namun sebenarnya Romawi sendiri sebenarnya bukan sebuah contoh negara republik yang baik. Keputusan rakyat Romawi mengganti sistem kerajaan menjadi republik (abad 3 SM) dimana rakyat memilih sendiri pemimpinnya hanya menimbulkan berbagai pertikaian yang terus menerus hingga akhirnya muncul Julius Caesar, seorang penguasa diktator yang menobatkan dirinya menjadi kaisar sekaligus mengakhiri sistem republik (abad 1 SM). Selama keberlangsungan Romawi yang mencapai usia 2000 tahun (runtuh pada abad 15 masehi karena penyerbuan bangsa Turki), sistem republik hanya bertahan dua abad saja.
Hal berbeda terjadi saat pemimpin kita mendirikan negara Indonesia. Tidak ada keraguan sedikitpun di antara pemimpin kita untuk membentuk negara republik. Hal ini tidak lain karena sistem negara seperti itulah yang sedang ngetrend saat itu. Lagipula para pendiri bangsa Indonesia yang berpendidikan barat tentu saja tidak memiliki wawasan lain yang lebih jelas selain demokrasi barat.
Saat ini sistem negara kerajaan yang menjadi sistem sosial yang dianut oleh manusia hampir sepanjang sejarah telah menjadi sesuatu yang langka, ditinggalkan karena dianggap kuno dan terbelakang. Selama empat ratus tahun terakhir kita menyaksikan sebuah revolusi sosial yang tidak tertandingi dalam sejarah manusia. Dan layaknya sebuah revolusi, kita telah menyaksikan berbagai peristiwa tragis selama lima ratus tahun terakhir. Di Inggris terjadi pemberontakan parlemen dan hukuman mati terhadap raja Charles II. Di Perancis terjadi revolusi menggulingkan raja Louis XVI. Di Rusia terjadi revolusi menggulingkan Tsar Nicholas II. Pendek kata di seluruh permukaan bumi terjadi perubahan sosial besar-besaran yang berujung pada penumbangan kekuasaan raja-raja, bangsawan dan pendeta menjadi suatu tata dunia baru yang dinamakan demokrasi dimana kekuasaan berada di tangan rakyat. Raja terakhir yang terguling adalah raja Nepal belum lama ini.
Perlu dicatat setidaknya ada beberapa peristiwa besar lain yang mengakselerasi revolusi global tersebut, diantaranya Gerakan Reformasi yang memecah umat Kristiani menjadi Protestan dan Katholik, Perang Krim, Perang Dunia I, Depresi Besar, dan Perang II. Setelah itu semua hampir tidak ada lagi negara-negara kerajaan yang kuat dunia sementara negara kependetaan Vatikan hanya menjadi sebuah negara simbolis. Umat Islam pun mengalami akibat yang sama dalam bentuk runtuhnya kekhilafahan Turki dan berdirinya negara-negara nasionalis Islam yang terpecah-pecah.
Mengingat tidak ada revolusi tanpa penggeraknya maka timbul pertanyaan, siapa penggerak revolusi itu? Para tokoh intelektualkah seperti Immanuel Kant, JJ Rosseau, dan Montesque yang tulisan-tulisan mereka dianggap menjadi pelopor ide–ide tentang demokrasi modern? Tentu tidak karena hanya dengan tulisan-tulisan mereka tidak akan mampu menggerakkan seratus orang untuk berdemonstrasi di jalan-jalan. Para senimankah seperti Michael Angelo, Leonardo da Vinci dan Bottichelli? Mereka pun setali tiga uang. Para jendralkah seperti Cromwell, Napoleon dan Bismarck? Mereka pun tidak akan mampu mengumpulkan seribu tentara untuk berperang terus-menerus selama sebulan saja.
Aku tidak ingin menebak-nebak figur-figur di balik revolusi dunia tersebut. Aku hanya bisa sedikit menganalisa bahwa figur-figur itu adalah orang-orang yang mempunyai kekayaan luar biasa besar sehingga bisa mempublikasikan secara massal karya-karya para filsuf dan intelektual yang mampu mem-brainstorming rakyat dan menggerakkan ribuan rakyat untuk menentang pemimpin-pemimpin mereka sendiri, membiayai petualangan jendral Cromwel dan Napoleon, membiayai Revolusi Bolshevik Rusia, serta memborong dan menjual saham-saham hingga menimbulkan kepanikan pasar pemicu peristiwa Depresi Besar.
Kita tentu sadar bahwa selama ini pikiran kita telah dimonopoli oleh beberapa “kebenaran” yang sudah diterima umum selama berpuluh tahun seperti demokrasi, liberalisme, sekularisme, persaingan bebas, dan sebagainya. Namun meskipun selama ratusan tahun “nilai-nilai ideal” tersebut diterapkan oleh bangsa-bangsa di seluruh dunia, keadaan dunia jauh dari kondisi ideal: peperangan, kerusuhan, penindasan, kemiskinan, ketidak adilan dan kerusakan lingkungan terjadi di mana-mana.
Hal ini pun sangat dirasakan oleh rakyat Indonesia beberapa tahun terakhir, justru sejak gerakan reformasi berhasil menumbangkan kekuasaan tiran rejim Orde Baru. Sejak reformasi Indonesia dipuji-puji sebagai negara demokrasi terbesar di dunia. Namun kondisi riel rakyat justru semakin sengsara. Pertikaian dan kerusuhan terjadi di mana-mana karena pilkada. BBM dan sembako semakin langka dan harganya terus membumbung naik. Aset-aset nasional semakin banyak dikuasai orang asing. Fenomena gizi buruk semakin banyak terjadi dimana-mana.
Program-program hebat jaman Orde Baru seperti intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian, transmigrasi, pembangunan infrastuktur dan pengembangan industri pun kini hanya impian kosong belaka karena pemerintah terlalu sibuk mengurusi berbagai kerusuhan, distribusi sembako, korupsi, narkoba dan kriminalitas, sementara dana APBN yang bocor di sana-sini lebih banyak untuk membayar subsidi bagi para pengemplang BLBI, membayar bunga hutang dan membiayai gaya hidup boros para pejabat publik.
Aku berfikir, setelah kegagalan model pemerintahan demokrasi selama ini, mungkin kinilah saatnya untuk kembali ke model pemerintahan lain, yaitu pemerintahan yang berlandaskan agama (theokrasi) seperti Iran, atau ke model pemerintahan diktator seperti Rusia dan China. Pilihan pertama tidak melanggar konstitusi karena UUD kita secara gamblang menyebutkan negara Indonesia lahir karena kehendak Tuhan. Pilihan kedua juga beralasan mengingat justru di negara-negara diktator seperti Rusia dan Cina pembangunan bisa dilaksanakan dengan terarah dan teratur, sehingga kesejahteraan rakyat lebih mudah tercapai. Hal ini sama dengan Indonesia di masa-masa awal dan pertengahan pemerintahan Orde Baru sebelum terbelit budaya KKN.
Dalam hal ini aku tidak sendirian. Survey yang dilakukan oleh Gerakan Mahasiswa dan Pemuda Indonesia (GMPI) tahun 2006 di beberapa universitas top di Indonesia menyebutkan sebanyak 80% mahasiswa memilih syariah Islam sebagai dasar negara (Kompas, 4/3/08). Forum Rektor dalam Konvensi Kampus III di Yogyakarta tahun 2006 juga telah mengusulkan agar dilakukan kaji ulang terhadap konstitusi negara. Maka boleh jadi kinilah saat yang tepat untuk mencoba model pemerintahan alternatif tersebut.
Monday, 28 July 2008
IRONI AMERIKA
Pada akhir tahun 1995, saat masih kuliah, aku pernah menulis opini di Harian Kompas berjudul “Independensi Kehakiman di Indonesia”. Dalam tulisan itu aku mengungkapkan kekagumanku terhadap sistem hukum yang berjalan dengan baik di negara-negara maju seperti Amerika karena kesadaran hukum masyarakatnya yang tinggi. Karena sistem yang baik itu prinsip hukum, seperti keadilan, dapat ditegakkan. Aku mencontohkan, karena sistem hukum yang ideal tersebut Presiden Nixon harus rela melepaskan jabatan karena melanggar konstitusi Amerika dengan melakukan tindakan illegal berupa kegiatan mata-mata. Aku juga mengagumi rasa keadilan para pembuat hukum di Amerika yang sangat peduli dengan aspirasi masyarakat. Contohnya, Kongres Amerika mengeluarkan undang-undang yang memungkinkan masyarakat korban penyakit akibat merokok untuk menuntut produsen rokok, meskipun produsen rokok telah menuliskan peringatan bahaya merokok di kemasan rokoknya.
Namun kini persepsiku tentang sistem hukum di Amerika berubah 180 derajat dan aku menyesal mengapa telah begitu memuja Amerika bila ternyata kenyataannya bertolak belakang.
Menurut penulis Amerika, Michael Collins Piper yang terkenal dengan dua bukunya, The New Jerusalem dan Final Judgment, Amerika dikendalikan oleh keturunan Yahudi yang saat ini telah berhasil menjadikan Amerika sebagai kuda tunggangan untuk menguasai dunia dengan cara-cara paling kotor yang pernah tercatat dalam sejarah manusia. Dalam bukunya tersebut Piper mengungkapkan dua contoh skandal hukum yang paling mengguncangkan prinsip hukum sekaligus mencoreng wajah bangsa Amerika dengan corengan yang tak terhapuskan akibat dominasi tersebut: Skandal INSLAW dan Pembunuhan John F. Kennedy.
Skandal INSLAW dimulai bulan Maret tahun 1982 saat perusahaan software komputer Inslaw milik Bill dan Nancy Hamilton yang berbasis di Washington memenangkan tender senilai 10 juta dollar yang diadakan Departemen Kehakiman Amerika. Tender tersebut mewajibkan Inslaw dalam jangka waktu tiga tahun harus menyediakan program suatu program canggih Promise di 22 kantor Departemen Kehakiman, ditambah penyediaan program word processor di 72 kantor kecil lainnya di seluruh negara bagian Amerika. Program Promise adalah program sangat canggih yang memungkinkan penelusuran cepat melalui sarana komunikasi terhadap target individu-individu tertentu.
Sementara itu seorang kroni Jaksa Agung Edwin Messe, Dr Earl Brian, yang bekerja untuk CIA, tergiur dengan nilai kontrak tersebut berusaha mengambil alih kontrak dengan membeli saham Inslaw, namun ditolak oleh suami istri Hamilton.
Pada tahun 1983 Departemen Kehakiman mengatur pertemuan antara Hamilton dengan seorang yang mangaku pejabat Departemen Kehakiman Israel bernama Dr Ben Orr. Ben Orr mangaku sangat terkesan dengan Promise, namun Hamilton harus menelan kekecewaan karena ternyata Ben Orr tidak berniat untuk membeli. Beberapa waktu kemudian, melalui sumber informan di Departemen Kehakiman, Hamilton tahu bahwa Earl Brian berusaha mencuri teknologi Promise dan menjualnya ke LEKEM, unit inteligen Angkatan Bersenjata Israel yang dipimpin oleh Rafael Eitan untuk melacak orang-orang Palestina maupun politikus yang kritis terhadap Israel. Eitan sendiri tidak lain tidak bukan adalah Ben Orr yang telah bertemu dengan Hamilton. Dan Brian ternyata tidak hanya menjual software bajakan ke LEKEM, namun juga ke beberapa dinas rahasia asing lainnya.
Kisahnya semakin panjang karena Eitan adalah pejabat dinas rahasia Israel Mossad yang membimbing Jonathan Pollard, mata-mata Israel yang menggemparkan Amerika karena tertangkap saat mencuri teknologi canggih militer Amerika untuk dijual ke Israel. Operasional LEKEM dan Mossad di Amerika dibiayai oleh beberapa perusahaan di Bahama yang dikelolah firma hukum Burn & Summit yang dimiliki tidak lain oleh Deputi Jaksa Agung Arnold Burns.
Di tengah-tengah kenyataan produknya dibajak habis-habisan, Hamilton harus menelan pil pahit, Departemen Kehakiman menunggak pembayaran sisa nilai kontrak senilai 7 juta dolar. Tidak hanya itu, pada tahun 1984 Departemen Kehakiman secara sepihak membatalkan kontrak. Seakan tidak pernah lepas dari “penderitaan”, suami-istri Hamilton masih harus menghadapi “serangan” Earl Brian yang tidak pernah patah semangat mangambil-alih saham INSLAW dengan dukungan koneksi-koneksinya, termasuk perusahaan pialang Charles Allen & Co.
Pada bulan Pebruari 1985 Hamilton mengajukan perlindungan kebangkrutan ke Pengadilan Federal di Washington seraya mengajukan tuntutan kepada Departemen Kehakiman atas kerugian yang dideritanya. Untuk urusan itu ia menyerahkannya ke pengacara Leigh Ratiner dari kantor pengacara Dickstein, Shapiro and Morin. Meski Departemen Kehakiman, melalui Eitan berupaya keras mengalahkan Hamilton, termasuk dengan suap senilai 600.000 dolar yang diberikan kepada Ratiner, hakim federal yang menangani perkara tersebut, George Bason Jr. memenangkan Hamilton tahun 1988.
Namun itu semua baru permulaan dari masalah yang lebih besar. Ketika keputusannya belum dapat dieksekusi, George Bason diganti secara mendadak, penggantinya hakim Martil Tell yang sebenarnya tidak memiliki kualifikasi seperti Bason. (Dalam kesaksiannya kemudian kepada Kongress saat kasus tersebut akhirnya diperiksa oleh Kongress, Bason menyatakan dengan tegas bahwa penggantiannya disebabkan oleh keputusannya yang melawan kepentingan Departemen Kehakiman).
Siapa di balik penggantian Bason, ternyata tidak lain adalah Deputi Jaksa Agung Arnold Burns, jaksa berpengaruh yang lama terkait dengan kegiatan organisasi Yahudi garis keras Anti Demafation League (ADL) sekaligus pendiri “Nesher”, organisasi rahasia berpengaruh yang beranggotakan sekitar 300 pejabat pemerintahan Amerika yang misinya mendukung kepentingan Israel.
Meski sebagian besar media massa Amerika dikuasai orang Yahudi dan menyembunyikan kasus ini, beberapa media massa independen, terutama The Spotlight dan The Napa Sentinel, mengeksposnya dengan gencar dan masalah ini menjadi kasus yang menarik perhatian banyak pihak sehingga Elliot Richardson, mantan Jaksa Agung Amerika yang prihatin dengan kebobrokan institusi yang pernah dipimpinnya, menawarkan diri menjadi pembela Hamilton. Selain itu Hamilton juga mendapat dukungan anggota Kongres Jack Brooks yang mengadakan penyidikan terhadap kasus ini. Namun kekuasaan musuh-musuh Hamilton terlalu kuat meski ia telah mendapatkan dukungan beberapa figur terkenal.
Sementara itu Departemen Kehakiman mengajukan banding atas keputusan yang telah dibuat hakim Bason, dan pada tahun 1990 pengadilan banding menetapkan pengadilan tidak berhak mengadili perkaran yang diajukan Hamilton. Pengadilan juga menetapkan apabila Hamilton masih menginginkan perkaranya disidangkan ia harus mengajukan penuntutan dari awal lagi.
Pada tahun 1991, di bawah tekanan publik, Jaksa Agung William Barr yang juga mantan pejabat CIA membentuk membentuk tim khusus di bawah pimpinan mantan hakim federal Nicholas Bua untuk menyelidiki kasus ini. Hasil penyidikan yang diumumkan tahun 1993, seperti sudah diduga, memenangkan Departemen Kehakiman atas Hamilton. Sementara pada tahun 1992 Hamilton mengajukan banding ke Mahkamah Agung hanya untuk mendapatkan kekecewaan karena Mahkamah Agung dalam keputusannya tahun 1997 tetap memenangkan Departemen Kehakiman.
Sementara itu seiring dengan terbukanya kasus ini, satu demi satu orang-orang yang mengetahui kasus ini meninggal secara misterius.
• Agustus 1991, jurnalis independen Danny Casolaro yang bekerja untuk Hamilton dan banyak berhubungan dengan CIA, meninggal di kamar hotel. Polisi menyatakan ia meninggal bunuh diri.
• Tahun 1992, pengusaha dan detektif swasta Ian Stuart Spiro bersama istri dan ketiga anaknya meninggal secara misterius. Seorang tetangga Spiro juga ditemukan tewas terbunuh (diduga turut dibunuh karena melihat aksi pembunuhan keluarga Spiro). Namun polisi menyatakan Spiro bunuh diri setelah membunuh anak istrinya.
• Juli 1991, reporter Anson Ng yang bekerja untuk surat kabar Inggris, Financial Times, dan tengah menyelidiki kasus INSLAW serta kaitan Israel dengan skandal Iran-Contra, meninggal karena tembakan. Lagi-lagi polisi menyatakan penyebab kematian adalah bunuh diri.
• Dennis Eisman, seorang pengacara bagi pengekspos kasus INSLAW Michael Riconosciuto, meninggal dengan luka tembakan di dada. Sekali lagi polisi menyatakan penyebab kematian adalah bunuh diri.
• Maret 1990, jurnalis Inggris Jonathan Moyle yang juga menyelidiki kasus INSLAW meninggal tergantung di sebuah hotel.
• Analis pertahanan Alan D. Standorf, tubuhnya ditemukan meninggal dalam sebuah mobil di Bandara Nasional Washington.
• Michael Allen May, teman mantan presiden Nixon, meninggal empat hari setelah surat kabar independen The Napa Sentinel menulis laporan tentang keterkaitannya dengan kasus INSLAW. Polisi menyatakan penyebab kematian karena overdosis obat-obatan.
• Insinyur Barry Kumnick, salah satu pengembang teknologi PROMIS, juga ditemukan meninggal dunia.
Penyelidikan yang di mantan Jaksa Agung Richardson menemukan bukti-bukti yang berbeda dengan keterangan polisi. Menurutnya kematian-kematian misterius tersebut di atas disebabkan oleh aksi OSI (Office of Special Investigation), unit khusus dalam Departemen Kehakiman yang awalnya didirikan untuk memburu mantan anggota NAZI Jerman dengan bekerja sama dengan dinas rahasia Israel Mossad. Dalam laporannya tanggal 14 Februari 1994 Richardson mengatakan bahwa Departemen Kehakiman, melalui OSI, mempekerjakan agen-agen rahasia yang berasal dari berbagai instansi pemerintah termasuk angkatan bersenjata, juga agen-agen rahasia dari negara asing. Departemen Kehakiman juga terlibat dalam kegiatan-kegiatan bisnis gelap dengan beberapa perusahaan dan individu.
Michael Collins Piper, menemukan bahwa Deputi Sherif Tim Carroll yang menyidik kematian Ian Stuart Spiro merupakan antek Mossad melalui aktifitasnya di Anti-Demafation League (ADL). Carroll juga terlibat dalam aksi penyerangan sekelompok polisi terhadap rumah Willis A. Carto, penerbit The Spotlight yang mengekspos kasus INSLAW. Sedangkan hakim Martin Teel adalah individu yang bertanggungjawab atas dibreidelnya The Spotlight tahun 2001.
Adapun pembunuhan John F Kennedy, menurut Piper, dilatarbelakangi oleh penentangan Kennedy terhadap program nuklir Israel. Selain itu Kennedy juga berencana mengurangi kewenangan CIA serta menarik pasukan Amerika dari Vietnam. Sejak kematian Kennedy, orientasi kebijakan luar negeri secara drastis berubah menjadi sangat pro-Israel. Selain itu dengan kematian Kennedy, ambisi Israel untuk memiliki senjata nuklir kini telah terpenuhi.
Lalu mengapa Amerika yang berpenduduk 300 juta itu bisa “diperbudak” oleh 3 juta orang Yahudi? Michael Moorer dalam bukunya Stupid White Men mengungkapkan bahwa Amerika tidaklah seperti yang digambarkan dalam film-film Hollywood. Di balik dunia glamour dan kekayaan yang melimpah, kenyataannya adalah sebanyak 20 juta warga Amerika adalah buta huruf, dan lebih dari 100 juta penduduk yang bebas buta huruf tidak pernah membaca buku, koran atau majalah. Dengan fakta seperti itu kita tidak heran jika orang-orang Amerika bisa dikangkangi Yahudi.
Pada tahun 2005 Amerika, negara yang digembar-gemborkan mempunyai sistem penanganan bencana alam yang hebat, dilanda bencana topan Katrina. Kota New Orleans hancur dan ribuan warga Amerika tewas dalam bencana itu meskipun tidak pernah diekspos media massa negeri itu. Malu karena pemerintahannya dianggap gagal mencegah bencana itu, Presiden Bush pun berjanji untuk membangun kembali kota New Orleans dan menyatakan “Amerika tidak ada artinya tanpa New Orleans”. Namun kenyataannya kota tersebut tidak pernah pulih sepenuhnya dari kehancuran. Dengan alasan kekurangan uang, Bush menunda-nunda pembangunan kembali New Orleans. Padahal Amerika rela mengeluarkan ratusan miliar dolar untuk membiayai Perang Irak.
Melihat fakta-fakta tersebut, aku sadar kini bahwa Amerika bukanlah “negeri impian” sebagaimana digambarkan pentolan Jaringan Islam Liberal (JIL) Ulil Absar Abdhala dalam editorial situs resmi JIL: Bush, Israel dan Hezbullah yang menganggap Amerika sebagai sebuah bangsa dan kebudayaan yang mengagumkan karena menomor-satukan prinsip kebebasan.
PROTOKOL ZION
Namun Yahudi berhasil melancarkan serangan balik. Melalui berbagai propaganda mereka melancarkan berbagai aksi kerusuhan yang puncaknya adalah Revolusi Bolshevik tahun 1917 yang berhasil menyingkirkan Tsar dan mendudukkan regim komunis sebagai penguasa Rusia. Sebagai balasan atas program pembasmian Yahudi yang dilancarkannya, Tsar Nicholas II dan para pendukungnya dibunuh secara keji. Selanjutnya regim komunis yang berkuasa mengeluarkan peraturan yang sangat keras: barang siapa menyimpan atau mempublikasikan Protocols akan langsung ditembak di tempat tanpa melalui proses pengadilan. Ini saja sudah menunjukkan keseriusan Protocols. Tidak mengherankan kalau Hitler memandang komunisme sebagai pelindung kepentingan Yahudi yang harus dihancurkan sebagaimana orang-orang Yahudi.
Protocols sudah diterjemahkan di beberapa negara seperti Inggris dan Jerman, namun setiap edisi yang sempat terbit selalu habis diborong oleh orang-orang Yahudi yang khawatir masyarakat dunia akan sadar dan melawan pada saat Yahudi belum benar-benar menguasai dunia. Mengenai beberapa kopi Protocols yang sempat beredar, media massa seluruh dunia yang didominasi kepentingan Yahudi selalu mendeskreditkannya sebagai sebuah kepalsuan. Namun bukti-bukti menunjukkan sebaliknya, dan Protocols terus menjadi bahan kajian berbagai bangsa di dunia hingga sekarang. Tidak kurang dari public figure terkenal seperti Henry Ford (raja mobil Amerika) memberikan komentarnya tentang Protocols yang dimuat dalam buku Prof. Nilus:
"The only statement I care to make about the Protocols is that they fit in with what is going on. They are sixteen years old, and they have fitted the world situation up to this time. They fit it now.” (Satu satunya komentar saya tentang Protocols adalah sesuai benar dengan kejadian-kejadian yang telah dan tengah berlangsung. Protocols sudah berumur 17 tahun (saat Henry Ford membuat pernyataan; pen) dan semua kejadian yang terjadi sesuai dengan apa yang tertulis di Protocols) "
Kebencian Adlof Hitler kepada Yahudi hampir dapat dipastikan juga karena pengetahuannya tentang Protocol Zion.
Penulis ingin menunjukkan beberapa bukti yang menunjukkan betapa Protocols adalah sesuatu yang sangat nyata dan sejalan dengan sejarah. Kapten A.H.M. Ramsay dalam catatannya yang terkenal The Nameless War mengungkapkan bahwa dirinya menerima sekumpulan dokumen lama dari seorang sahabatnya yang berasal dari Synagogue Mulheim yang berisi korespondensi rahasia antara pemimpin parlemen Inggris Oliver Cromwell dan Menlu E Pratt, tertanggal 16 Juni 1647. Saat itu Inggris baru saja dilanda perang saudara hebat antara para pendukung raja Charles dan pendukung parlemen dimana raja Charles kalah dan tengah menjalani tahanan. Korespondensi tersebut menunjukkan bahwa Cromwell dan Pratt tengah berupaya mendapatkan dukungan dana dari orang-orang Yahudi, dengan balasan orang-orang Yahudi diakui sebagai warga Inggris. Namun upaya itu terhambat oleh penolakan Charles yang secara de jure masih menjabat sebagai raja. Maka keduanya sepakat untuk membunuh Charles melalui sebuah rekayasa.
Sejarah telah menunjukkan rekayasa tersebut berjalan mulus: membiarkan Charles melarikan diri, menangkapnya di pelarian, mengadilinya dengan tuduhan pengkhianatan, menghukumnya dengan memancung kepalanya, kemudian membiarkan Cromwell menjadi penguasa Inggris dengan menanggung hutang kepada orang-orang Yahudi sehingga harus membagi kekuasaan dengan mereka. Dan dua abad kemudian, tepatnya tahun 1874, Inggris sudah dipimpin oleh perdana menteri yang berdarah Yahudi, Benjamin Desraeli. Semuanya itu paralel dengan apa yang ada dalam Protocols.
Isaac Disraeli, bapak dari Benjamin Desraeli, dalam bukunya “Life of Charles I” tahun 1851 dengan gamblang mengatakan: “Ingat dengan Revolusi Perancis, rahasia persiapannya sangat kita pahami karena sebenarnya itu adalah hasil kerja tangan kita.”
Tuduhan bahwa Protocols adalah bohong dan palsu juga dipatahkan dengan fakta bahwa dokumen yang baru dipublikasikan oleh Profesor Nylus pada tahun 1901 itu mampu memprediksi beberapa kejadian besar yang terjadi kemudian seperti Revolusi Bolshevik, Perang Dunia I dan II, Depresi Besar, runtuhnya negara-negara kerajaan di Eropa, pendirian negara Israel, Perang Dingin dan sebagainya.
Karena bersifat rahasia dan tidak ada orang atau pun organisasi yang berani mengkonfirmasi kebenarannya, Protocols tetap dianggap sebagai sebuah misteri oleh kebanyakan orang. Beberapa informasi yang berhasil dikuak menunjukkan bahwa Protocols adalah undang-undang dasar bangsa Yahudi dalam mewujudkan ambisinya menjadi penguasa dunia sebagai implementasi keyakinan mereka sebagai bangsa pilihan Tuhan. Protocols dibuat dalam pertemuan rahasia orang-orang Yahudi terkemuka (learned elders) tahun 1897 dalam Kongres Zionisme I di Basle, Swiss. Namun para ahli yakin bahwa kaum Yahudi telah mengadakan pertemuan-pertemuan rahasia secara rutin jauh sebelum itu, dengan tujuan yang sama: menguasai dunia.
Protocols terdiri dari 24 bab atau protocol. Protocol-protocol tersebut mencakup beberapa langkah strategi di berbagai bidang: sosial, politik, ekonomi, hukum dll. Berikut ini adalah sebagian dari Protocols.
POLITIK
”Politik tidak ada kaitannya dengan moral. Hak/kebenaran kita terletak pada kekuatan. Kerusuhan harus menjadi prinsip dalam upaya membuat semua pemerintah di dunia tunduk kepada pemerintahan kita”
“Revolusi Perancis keseluruhannya adalah hasil kerja kita. Kitalah yang pertama meneriakkan kata-kata Liberty, Equality, Fraternity yang kemudian diikuti oleh gerombolan orang-orang bodoh. Ini telah membantu kita menghancurkan para bangsawan goyim (istilah Yahudi untuk orang non-Yahudi, maknanya adalah binatang ternak. Lihat bagaimana Yahudi memandang etnis lain) dimana di atas puing-puingnya kita membangun pemerintahan masyarakat kelas terdidik yang dipimpin oleh bangsawan uang.”
“Kita telah mengkampanyekan para penyebar kebencian sebagai martir. Ini berhasil membuat beberapa kalangan liberal menjadi ternak-ternak kita.”
“Setelah berhasil memanfaatkan ‘kebebasan’, kita harus menghapuskan kata-kata itu dari makna leksikalnya setelah kita berkuasa. Kemerdekaan pers, kebebasan berbicara, kebebasan berserikat dan kebebasan menganut keyakinan harus lenyap selamanya. Kitalah yang menentukan kebebasan sebagai hak melakukan sesuatu yang diperbolehkan hukum, karena kitalah yang akan membuat hukum!”
“Untuk tujuan kita, perang tidak perlu di di medan perang. Perang sesungguhnya adalah perang ekonomi. Kekuatan internasional kita akan menghapuskan hak-hak negara-negara.”
“Kita harus mengintensifkan pembentukan pemerintahan yang sentralistik untuk memudahkan kontrol kita. Kita harus membujuk masyarakat dunia untuk menginginkan pemerintahan dunia. Kita hancurkan pemerintahan negara-negara sedemikian rupa sehingga masyarakat rela menjadi pelayan kita daripada kembali ke pemerintahan lama. Goyim adalah sekumpulan domba dan kita adalah serigalanya.”
“Meskipun kita harus mengorbankan beberapa orang kita (Yahudi) untuk mencapai tujuan membentuk pemerintahan dunia, pengorbanan itu tidak sia-sia. Setiap korban seorang di antara kita di mata Tuhan sama nilainya dengan seribu korban goyim.”
PROPAGANDA
“Tujuan kita harus disamarkan dari pandangan publik dengan cara terus-menerus membentuk berbagai opini yang saling bertentangan yang dapat mengalihkan dari persoalan sebenarnya yang dapat menimbulkan penentangan terhadap kita. Biarkan goyim marah dalam kebingungan. Kemarahan orang per-orang saja tidak akan membahayakan.”
“Kita tidak boleh menyerang goyim sampai datang waktu yang tepat. Kita harus menyembunyikan maksud kita dengan menyamarkannya dengan semangat melayani para pekerja. Jika ada negara yang memprotes kita, itu hanya formalitas saja karena kitalah yang mengendalikan para pemimpin mereka.”
“Pers sudah berada di tangan kita. Tidak ada satupun pengumuman/berita akan sampai ke masyarakat tanpa melalui kita. Kita harus menyamarkan sebagian media massa kita seolah sebagai media kelompok lain sehingga masyarakat mengikuti bendera apa saja yang kita kibarkan kepada mereka. Ini dapat menetralisir setiap serangan kepada kita sekaligus meyakinkan masyarakat adanya kebebasan pers.”
“Pengalihan adalah salah satu prinsip kita, melalui amusement, judi dan berbagai jenis permainan.”
“Saat kita berkuasa, tidak boleh lagi ada agama lain selain agama kita. Kita telah cukup lama mendeskreditkan para pendeta goyim sehingga pengaruh mereka terus menurun hari ke hari. Namun tidak boleh seorangpun mendiskusikan keyakinan kita, karena hanya kitalah yang boleh memiliki pengetahuan.”
PENDIDIKAN
“Kita telah menipu para pemuda goyim dengan prinsip-prinsip dan teori-teori idealis yang kita tahu sebagai omong kosong.”
“Untuk menghancurkan semua kolektifisme selain kita, kita akan melarang pelajaran sejarah klasik dan menghapuskannya dari ingatan para goyim semua fakta sejarah yang merugikan kita.”
“Untuk mematikan kebebasan berfikir, kita akan melarang pelajar mempertanyakan isu-isu politik.”
“Kita akan menentukan pegawai-pegawai goyim sesuai kapasitasnya berdasar pelayanan dan kepatuhan mereka.”
FREEMASONRY
“Kita adalah kekuatan yang tak terlihat dengan organisasi–organisasi masonik sebagai tirainya. Tujuan-tujuan kita tidak akan dicurigai oleh “ternak-ternak” goyim yang tertarik untuk bergabung dengan organisasi kita.”
“Kita harus membentuk banyak organisasi masonik (seperti Lions Club, Rotary Club dll) dalam rangka mengumpulkan goyim-goyim yang ingin tampil sebagai publik figure, khususnya para agen inteligen internasional karena mereka berguna dalam hal: memperkuat dan menyamarkan aktifitas kita. Kita memanjakan egoisme bodoh mereka dengan memenuhi kebutuhan mereka atas kesuksesan dan ketenaran demi menjaga kesetian mereka, karena seganas-ganasnya mereka tetaplah berhati domba. Mereka tidak memiliki kemampuan menganalisa dan mengobservasi sehingga tak terelakkan lagi akan menjadi budak-budak kita.”
“Setelah semua itu tercapai, siapa yang akan menyangka orang-orang itu ternyata dikendalikan oleh suatu agenda politik tertentu, apalagi selama berabad-abad tidak ada yang melakukannya kecuali kita?”
EKONOMI
“Modal harus dibebaskan untuk membentuk monopoli sehingga pemilik modal memiliki kekuatan politik.”
“Dengan mensentralisasikan kekuatan uang dunia di tangan kita, kita dapat melemparkan semua goyim ke tingkat miskin.“
“Para penguasa goyim diuntungkan dengan kondisi rakyatnya yang sehat dan kuat. Kita menginginkan sebaliknya. Lapar membuat modal menjadi penguasa para pekerja. Dengan kelaparan kita akan menciptakan perusuh-perusuh. Kebencian ini akan diperparah dengan efek krisis ekonomi yang akan menghentikan perdagangan dan membuat industri mandek. Dengan menciptakan krisis kita akan melemparkan para perusuh ke jalan-jalan secara simultan di negara-negara Eropa.”
“Kita akan mengelilingi pemerintahan kita dengan ekonom-ekonom, bankir dan jutawan dari berbagai penjuru dunia, karena pada dasarnya segalanya akan ditentukan berdasarkan figur-figur (yang menonjol kekayaannya).”
“Kita harus memisahkan pemikiran-pemikiran kritis di kepala goyim, menggantinya dengan penghitungan aritmetika dan kebutuhan meterial. Kita harus menempatkan industri berdasarkan spekulasi karena dalam hal itulah kekuatan kita terletak.”
“Krisis ekonomi kita ciptakan melalui tangan goyim dengan jalan menarik uang dari peredaran. Sebagian besar modal akan mengendap, memaksa negara-negara berhutang dan sekaligus menjadikan mereka budak hutang. Dalam waktu 20 tahun sebuah negara yang meminjam uang dengan bunga 5% harus membayar jumlah bunga yang sama dengan uang yang dipinjam, tanpa pernah melunasi hutang pokoknya. Negara itu terpaksa harus memiskinkan rakyatnya sendiri untuk membayar hutangnya.”
“Pemerintah-pemerintah goyim boleh saja melakukan trik-trik tertentu atas hutang-hutang domestiknya, namun tidak atas hutang luar-negeri. Karena kita akan meminta kembali semua uang yang dipinjam.”
ECONOMIC HIT MAN
Dengan tertunduk aku berjalan pulang. Di tengah jalan aku bertemu temanku, Gunawan, yang “cengar-cengir” melihat ke arahku. Dan sebelum aku mengatakan apa yang ada di pikiranku, ia sudah berkata: “Kan sudah saya ingatkan, jangan gunakan buku Sritua Arief (seorang pemikir ekonomi sosialis dari Universitas Nommensen Medan) sebagai referensi,” katanya.
Aku heran sekaligus penasaran dengan perkataan Gunawan, dan sebelum aku mencecarnya dengan pertanyaan-pertanyaan ia langsung memberikan penjelasan. Menurutnya nilai mengecewakan yang aku dapatkan disebabkan pandangan yang berbeda secara ekstrim antara Dr Budiono dan Dr Sritua Arief. Menurutnya Dr Budiono adalah agen kapitalis yang mendukung prinsip persaingan bebas tanpa campur tangan pemerintah, sementara Dr Sritua Arief adalah seorang idealis yang cenderung pada paham sosialis yang menginginkan peran pemerintah dalam menggerakkan perekonomian demi kepentingan rakyatnya. Sebagai salah satu dalilnya Gunawan menyebutkan track record pendidikan Dr Budiono yang di antaranya adalah di Wharton School, sebuah sekolah bisnis elit di Amerika.
Seiring berjalannya waktu, pandanganku semakin terbuka tentang peranan agen-agen kapitalis yang bekerja untuk para pemilik modal dari luar-negeri dengan bekerja sebagai teknokrat seperti Dr Boediono atau anggota Mafia Barkeley yang mengendalikan perekonomian Indonesia setelah Soeharto berkuasa. Dan kesadaran tersebut semakin tebal setelah munculnya buku Confessions of an Economic Hit Man yang ditulis John Perkins. Buku yang sebenarnya sudah terbit tahun 2004 namun baru diterjemahkan ke bahasa Indonesia tahun 2005 itu semakin menanamkan kesadaran aku bahwa selama ini kita telah ditipu mentah-mentah oleh para kapitalis asing dan kroni-kroninya dan telah dikondisikan sedemikian rupa untuk tidak bisa melawan.
Tulisan berikut ini adalah rangkuman dari wawancara John Perkins dengan Amy Goodman yang dimuat dalam situs internet Democracy Now, Selasa 9 November 2004. John Perkins mendefinisikan dirinya sebagai bekas "economic hit man", yaitu profesional bergaji tinggi yang kerjanya menipu negara-negara miskin di seluruh dunia hingga triliunan dolar dengan memberikan pinjaman yang tidak mungkin terlunasi kemudian memerasnya sebagai kompensasi ketidakmampuan membayar. 20 tahun sebelum menulis buku Confession of an Economic Hit Man (pengakuan seorang economic hit man), ia telah mencoba menulis buku tersebut dengan judul yang mirip, "Conscience of an Economic Hit Man" atau kesadaran seorang economic hit man. Buku tersebut didekasikan untuk dua orang klient yang ia hormati: Jaime Roldos, Presiden Ecuador, dan Omar Torrijos, Presiden Panama. Keduanya meninggal dalam sebuah kecelakaan yang menurut Perkins, direkayasa oleh dinas rahasia Amerika, CIA, karena menolak tunduk pada para kapitalis Amerika yang ingin menguasai dunia.
"Kami, economic hit man, gagal mengamankan Roldos dan Torrijos, maka tipe lain dari hit man, yaitu agen-agen pembunuh CIA yang selalu berada di belakang kami, beraksi," kata Perkins.
Perkins menambahkan dirinya telah dibujuk untuk menghentikan penulisan buku tersebut, dengan suap wanita dan harta, serta ancaman, dan ia terbujuk. Namun beberapa kejadian di dunia membuatnya mulai dan mulai lagi untuk menulis. Kejadian-kejadian itu adalah invasi Amerika ke Panama tahun 1980, Perang Teluk I tahun 1990, ekspedisi Amerika di Somalia tahun 1994, dan kemunculan Osama bin Laden paska tragedi WTC 2001. Namun karena ancaman dan suap yang semakin intens, ia berhenti menulis. Sampai akhirnya, setelah kesadaran untuk mengungkapkan kebenaran tidak lagi bisa dicegah, ia menerbitkan bukunya itu dengan judul "Confessions of an Economic Hit Man".
Perkins direkrut oleh dinas rahasia Amerika, National Security Agency (NSA) saat masih kuliah bisnis tahun 60-an. Namun meski resminya bekerja untuk dinas rahasia negara, sebenarnya ia bekerja untuk perusahaan swasta. Dari tahun 1971 sampai 1981, sebagai agen NSA ia bekerja untuk perusahaan konsultan internasional Chas T. Main yang berbasis di Boston, dengan missi utama membangun kerajaan Amerika dengan membuat situasi dimana sebanyak mungkin kekayaan luar negeri masuk ke negara dan perusahaan-perusahaan dan pemerintah Amerika. Menurutnya missi tersebut berhasil gemilang. Hanya dalam waktu 50 tahun sejak PD II dengan tanpa banyak mengeluarkan senjata (kecuali kasus tertentu seperti di Irak) mereka berhasil membawa Amerika membangun kekuasaan yang tak tertandingi sepanjang sejarah. Kekuasaan tersebut, berbeda dengan kekuasaan-kekuasaan lainnya di masa lalu, diperoleh dengan manipulasi ekonomi, penipuan, pelanggaran hukum, maupun rayuan untuk meniru gaya hidup .
Metode economic hit man dimulai 1950, saat Kermit Roosevelt, cucu mantan presiden Teddy Roosevelt, berhasil menggulingkan Mossadegh, Perdana Menteri Iran yang memerintah Iran melalui pemilu demokratis. Mossadegh harus digulingkan karena berani menabuh genderang perang terhadap para kapitalis barat dengan menasionalisasi perusahan minyak milik Amerika dan Inggris. Penggulingan berhasil tanpa harus melalui kudeta berdarah, cukup mengeluarkan dana beberapa juta dolar untuk membayar jendral-jendral, komprador-komprador dan politikus oportunis yang diketuai oleh Shah Iran. Masalahnya adalah Kermit adalah agen CIA, pegawai pemerintah Amerika. Jika terbongkar kedoknya, Amerika bakal kesulitan, sangat memalukan. Maka diputuskan, dinas-dinas rahasia seperti NSA dan CIA digunakan untuk merekrut profesional potensial seperti Perkins dan mengirimkannya sebagai tenaga ahli di perusahaan konsultan atau perusahaan konstruksi. Bila terbongkar, pemerintah Amerika tidak bisa dipersalahkan begitu saja.
Mengenai aktivitasnya sebagai econoic hit man ia menjelaskan, selaku konsultan dirinya lebih banyak bekerja sebagai makelar proyek dan tukang lobi yang menawarkan pinjaman kepada pemerintah negara-negara miskin dengan dana yang disediakan oleh World Bank, IMF, atau bank-bank komersial Amerika dan Eropa. Pinjaman yang diberikan sangat besar nilainya, katakanlah beberapa miliar dolar, atau setara beberapa puluh triliun rupiah. Dari nilai pinjaman itu 90% di antaranya secara efektif balik lagi ke Amerika melalui jasa konsultan dan perusahaan-perusahaan kontraktor Amerika yang mengerjakan proyek-proyek yang dibiayai dana pinjaman tersebut, seperti Halliburton atau Bechtel Corp. Untuk memuluskan aksinya perusahaan-perusahaan tersebut menarik kerjasama dengan segelintir penguasa lokal dan perusahaan-perusahaan milik keluarga mereka. Sedangkan sebagian besar penduduk lainnya harus menanggung beban hutang yang menumpuk disertai bunganya yang mencekik.
Negara seperti Ecuador harus mengeluarkan lebih dari separoh anggaran negaranya hanya untuk membayar hutang. Sedangkan Indonesia harus mengeluarkan sekitar Rp 100 triliun setahun hanya untuk membayar pokok hutang dan bunganya, jauh lebih tinggi dari anggaran yang dikeluarkan untuk pembangunan. Dengan hutang yang menumpuk itu negara-negara pengutang relatif telah menjadi negara jajahan.
“Jika kami membutuhkan minyak, kami akan datang ke pemerintah Ekuador dan mengatakan: Lihat kalian belum bisa melunasi hutang kalian, jadi biarkan perusahaan-perusahaan minyak kami mengambil minyak yang ada di hutan Amazon. Dan saat ini kami sedang menjarah hutan Amazon,” kata Perkins.
Adapun mengenai alasannya menulis buku tersebut, Perkins mengatakan, “Karena negara ini (Amerika) harus sadar. Rakyat negeri ini harus tahu bagaimana kebijakan luar negeri dijalankan, bagaimana bantuan luar negeri yang sebenarnya, bagaimana perusahaan-perusahaan bekerja, kemana saja pajak yang dibayarkan rakyat mengalir. Aku tahu kita akan menuntut perubahan.”
Selain kasus-kasus tersebut di atas, Perkins juga mengungkap kasus-kasus menarik lainnya, seperti hubungan keluarga kerajaan Saudi dengan penguasa Amerika, serta faktor yang mendasari penyerbuan Amerika ke Irak.
Menyusul krisis energi akibat embargo minyak oleh OPEC tahun 1974 yang disulut oleh perang Yom Kippur antara Arab melawan Israel, Amerika Serikat bertekad untuk mencegah hal ini terulang karena bisa menghancurkan ekonomi Amerika. Oleh karena itu Departemen Keuangan mengirimkannya ke Saudi Arabia sebagai tulang punggung OPEC, untuk membujuk keluarga kerajaan Saudi. Dan hasilnya adalah kesepakatan: Arab Saudi akan menginvestasikan uangnya ke Amerika, Amerika melalui perusahaan-perusahaan konstruksinya membangun infrastruktur Arab Saudi dari hasil investasi yang diperoleh. Kesepatan lainnya adalah Amerika menjamin kelangsungan kekuasaan keluarga kerajaan Saudi. Namun yang paling penting bagi Amerika adalah bahwa Saudi menjamin pasokan minyak ke Amerka.
Jadi kalau sekarang kita lihat Arab Saudi menjadi lunak terhadap Israel dan Amerika, termasuk mengijinkan pasukan Amerika bercokol di tanah haram, itu tidak lain karena keberhasilan kerja para economic hit man.
Adapun yang terjadi di Irak berbeda dengan Saudi. Saddam Hussein yang diharapkan bisa menjadi boneka Amerika dengan imbalan yang sama, menolak. Amerika sudah memutuskan untuk menghabisi Saddam dengan menggunakan agen-agen rahasianya. Namun Saddam tidak kalah cerdik, ia memerintahkan semua pengawal pribadinya berdandan dan berpenampilan persis seperti dirinya sehingga usaha CIA mendekatinya gagal. Maka diluncurkanlah senjata terakhir, yaitu ribuan muda-mudi Amerika yang tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, yang kini harus berkubang dalam pertempuran yang mematikan di Irak.
Adapun mengenai kematian Presiden Panama Omar Torrijos, Perkins menjelaskan: Pada saat Amerika diperintah oleh Presiden Jimmy Carter di tahun 70-an, Panama dan Amerika menandatangani Perjanjian Kanal (Canal Treaty) dimana Amerika akan menyerahkan pengelolaan Terusan Panama kepada pemerintah Amerika dengan imbalan tertentu. Namun kemudian Torrijos yang melihat kerugian dalam perjanjian itu mengadakan perundingan diam-diam dengan Jepang untuk membangun kanal permukaan laut (sea-level canal). Hal ini mengecewakan Bechtel Corporation yang sudah digadang-gadang bakal memenangkan tender. Presdir Bechtel saat itu adalah George Schultz dan wakilnya Casper Weinberger. Saat Ronald Reagan menjadi presiden Amerika, ia merekrut Schultz sebagai Menlu dan Weinberger sebagai Menhan. Selanjutnya mereka berdua menekan Torrijos untuk melanjutkan negosiasi Amerika-Panama dan menghentikan negosiasi dengan Jepang, namun Torrijos menolak. Maka CIA pun beraksi dan meninggallah Torrijos dalam kecelakaan pesawat yang dipicu oleh ledakan bom yang dipasang dalam tape recorder.
“Hampir semua kalangan inteligen Amerika Latin tahu penyebab kecelakaan itu. Namun tentu saja kita tidak pernah mendengar hal itu di sini (Amerika),” kata Perkins.
Amerika Negara Dunia Ketiga
Ada beberapa kriteria yang diterima oleh masyarakat dunia mengenai klasifikasi kemajuan negara-negara meski kriteria-kriteria itu agak bias dan mengandung unsur subyektifitas. Negara dunia pertama adalah negara yang secara ekonomi dan teknologi maju dan telah menerapkan prinsip-prinsip demokrasi seperti adanya konstitusi atau undang-undang dasar; adanya pembagian kekuasaan antara eksekutif, legislatif dan yudikatif; penyelenggaraan pemilu secara periodik; pembatasan masa kekuasaan pemerintah; serta adanya kebebasan pers, berorganisasi dan berekspresi.
Negara-negara dunia kedua adalah negara-negara yang tergabung dalam blok komunis tanpa dilihat bagaimana kemajuan ekonomi maupun penerapan prinsip demokrasinya. Sedangkan negara-negara dunia ketiga -- istilah ini sebetulnya sangat diskriminatif -- adalah negara-negara di luar dua kelompok tersebut di atas dengan kriteria secara ekonomi dan teknologi terbelakang dan belum menerapkan prinsip demokrasi. Di negara-negara dunia ketiga terdapat beberapa ciri yang sama yaitu pemerintahan yang otoriter dan tidak adanya kebebasan, kemiskinan, dan fasilitas sosial yang sangat kurang.
Amerika di era modern sekarang ini dinilai sebagai kampiun negara-negara maju atau dunia pertama. Amerika pulalah, melalui pers dan pejabat-pejabat pemerintahannya, yang membuat klasifikasi kemajuan negara-negara di dunia dan diamini oleh seluruh bangsa di dunia. Namun kondisi itu tampaknya sudah tidak tepat lagi, dan Amerika, pelan namun pasti, terjerembab ke dalam kelompok negara dunia ketiga.
Setidaknya ada dua indikator yang menjadi dasar penulis menyimpulkan hal itu. Pertama standar sosial yang menurun, dan kecenderungan pemerintahan yang otoriter.
Ketika terjadi bencana badai katrina yang menghancurkan kota besar bersejarah New Orleans tahun 2005, masyarakat Amerika dan dunia mengira kondisi akan segera dapat dipulihkan. Apalagi setelah Presiden G.W. Bush sendiri membuat pernyataan yang sangat menyentuh kebangsaan rakyat Amerika: "Amerika bukanlah Amerika yang sebenarnya tanpa New Orleans." Namun kenyataannya, hingga kini New Orleans tidak pernah pulih seperti semula. Dengan alasan kekurangan dana, pemerintah Amerika mengabaikan pembangunan kembali New Orleans. Padahal dana yang jauh lebih besar digelontorkan untuk membiayai perang Afghanistan dan Irak yang justru ditentang rakyat Amerika sendiri.
Beberapa tahun lalu kita pernah mendengar kabar tentang terjadinya pemadaman listrik selama beberapa hari di sebagian besar wilayah Amerika. Saat itu kabar yang muncul di media massa adalah karena faktor kecelakaan teknis. Namun baru-baru ini kantor berita Reuters melaporkan sebuah berita yang mengejutkan: Amerika mengalami krisis energi sehingga memaksa pemerintah negara bagian Kalifornia melakukan pemadaman listrik di tiga kota utama negara bagian, Los Angeles, San Francisco, dan Santa Barbara.
Amerika mengalami krisis energi? Rasanya tidak masuk akal, negara dengan tingkat teknologi paling maju itu masih mengandalkan BBM. Bukankah Amerika mampu mengembangkan sumber energi paling efisien, nuklir, sehingga kapal selam dan kapal induk milik mereka tidak memerlukan setetes BBM-pun untuk berjalan mondar-mandir keliling dunia sepanjang umurnya. Dan bila mau semua mobil pun sudah bertenaga nuklir atau minimal betere listrik. Namun selama minyak masih menjadi komoditi yang menguntungkan, apalagi bila bisa dipermainkan harganya seenaknya, negara semaju Amerika pun bisa mengalami krisis energi. Faktanya adalah kampanye pemadaman listrik di Amerika sudah didahului oleh negara-negara maju lainnya seperti Australia, Inggris, dan Perancis.
Ditambah dengan tingginya angka kriminalitas, angka perceraian, kekerasan dalam rumah tangga, aborsi, anak-anak yang lahir tanpa orang tua lengkap, plus tingginya jumlah imigran gelap dengan standar hidup yang minim membuat kondisi sosial di Amerika tidak berbeda jauh dengan negara-negara dunia ketiga. Termasuk New Orleans, kota yang terkenal karena eksotismenya, bahkan sebelum terkena badai katrina sudah berubah menjadi kota yang kumuh, ditinggal penduduk kulit putih yang tersingkir oleh dominasi orang-orang kulit hitam yang kini menguasai jalan-jalan dan taman-taman kota serta segala fasilitas umum lainnya.
Sekarang kita bahas tentang kecenderungan pemerintah yang semakin orotiter. Meski secara teknis pemerintah Amerika sudah bangkrut --karena menanggung hutang triliunan dolar kepada industri perbankan swasta internasional yang menguasai secara mutlak sektor moneter dengan memiliki seluruh saham bank sentral Federal Reserve -- dan mengalami tingkat kepercayaan paling rendah dari rakyatnya karena Perang Irak, pemerintah Amerika sangat agresif berupaya menerapkan berbagai undang-undang yang sangat mengekang warga negaranya. Setelah Patriot Act (UU yang mengijinkan aparat negara menyadap telepon dan e-mail semua warga negara. Padahal Amerika pernah menurunkan seorang presidennya dari jabatan karena kasus penyadapan), Real ID Act (UU yang mewajibkan semua warga negara dipasangi chip di badannya untuk memonitor gerak-gerik semua warga negara) dan UU keimigrasian baru (yang menaturalisasi 20 juta pendatang haram menjadi warga negara) pemerintah berupaya mengundangkan UU anti-terorisme baru “Violent Radicalization and Homegrown Terrorism Prevention Act”.
UU baru ini sangat membahayakan hak-hak azazi warga negara Amerika karena mengandung pasal-pasal karet yang mudah diintepretasikan menurut kehendak penguasa. Contoh paling nyata pasal karet itu digunakannya kata-kata "demi tujuan lain" (for other purpose). Jadi dengan alasan "demi tujuan lain" yang sangat bias pemerintah berhak menerapkan undang-undang tersebut terhadap warga negaranya di antaranya menginterogasi, menahan, memenjarakan atau bahkan menghukum mati.
Bagi pengamat sejarah Amerika adalah menarik mengetahui bahwa frase "demi tujuan lain" dalam undang-undang telah diterapkan jauh sebelum Homegrown Terrorism Prevention Act dibahas oleh lembaga legislatif Amerika, Congress. UU Bank Sentral (Federal Reserve Act) yang diundangkan tahun 1913 juga mengandung frase karet tersebut. Akibatnya bangsa Amerika harus menyerahkan kekuasaan pencetakan uang kepada sekelompok bankir swasta yang sudah barang tentu lebih memikirkan keuntungan pribadi daripada kepentingan rakyat. Konsekwensinya harus dibayar mahal oleh seluruh rakyat Amerika meski tidak disadari, yaitu hutang pemerintah yang mencapai $ 9 triliun yang harus dibayar setiap tahun dengan pajak yang dibebankan kepada rakyat. Hutang itu tidak akan pernah terbayar lunas hingga kiamat karena adanya riba bunga berganda yang dibebankan oleh para bankir swasta tersebut. Apalagi alih-alih berupaya mengurangi beban keuangan, pemerintah Amerika selalu menerapkan kebijakan pemborosan yang dibiayai dengan hutang kepada swasta: anggaran pertahanan yang luar biasa besar, bantuan rutin yang sangat besar kepada anak kesayangannya yang manja, Israel, serta kebijakan "perang melawan terorisme". (Untuk melihat bagaimana tidak demokratisnya Amerika film dokumenter “America: From Freedom to Fascism” karya sutradara Aaron Russo atau buku Stupid White Men karya Michael Moorer adalah referensi yang cukup baik).
Hal ini tentunya sangat bertolak belakang dengan Venezuela, negara yang bertahun-tahun terakhir ini dimusuhi Amerika karena berani menentang dominasi Amerika di Amerika Latin. Dengan uang hasil penjualan minyak yang diproduksinya dan dikelola dengan baik, Venezuela berhasil keluar dari status negara terbelakang menjadi maju secara ekonomi. Paling tidak saat ini Venezuela mampu membantu negara-negara tetangganya dengan bantuan pinjaman tanpa bunga senilai $ 4,5 miliar. Untuk melepaskan diri dari jeratan hutang bankir internasional, Venezuela, dengan dukungan negara-negara tetangganya bahkan telah membentuk bank pembangunan Amerika Selatan, Banco del Sur. Bank yang didirikan dengan modal awal $ 7 miliar tanggal 3 November lalu itu dalam satu tahun ditargetkan bakal memiliki asset hingga mencapai $ 50 miliar.
Dengan berbagai realitas tersebut di atas rasanya aneh bila kita masih menganggap Amerika sebagai negara paling maju di dunia. Mungkin sebaliknya Amerika kini telah menjadi negara dunia ketiga.(Dimuat di Harian Batam Pos, 2007)
Keterangan gambar: Manusia tenda. Saat ini ada ratusan ribu bahkan mungkin jutaan rakyat Amerika tinggal di tenda. Mereka membentuk komunitas sendiri di sekitar kota-kota besar dan lokasi mereka biasa disebut tent city atau kota tenda.
Friday, 25 July 2008
ANTI HABIBIE
Pada suatu siang, di awal tahun 2000 di lobby Hotel Novotel Batam, aku bertemu secara aneh dengan Bill Saragih, musisi jazz senior Indonesia. Awalnya aku janjian dengan musisi Idhang Rasyidi untuk wawancara yang akan kutulis di koran tempat aku bekerja.
Saat kami tengah duduk-duduk menunggu Idhang, tiba-tiba tanpa kuduga muncul musisi jazz senior, Bill Saragih, yang langsung menyapaku dan duduk di kursi kosong di hadapanku. Tentu saja aku terkejut setengah mati karena kami tidak pernah membuat janji sebelumnya untuk ketemu. Memang pada malam sebelumnya kami sempat bertemu, namun tidak sempat berkenalan, apalagi ngobrol banyak.
Namun hanya sebentar aku terbengong-bengong karena segera sadar apa yang menjadi penyebab terjadinya pertemuan tak terduga ini. “Ini pasti kerjaan Idhang,” kataku dalam hati. Memang Idhang adalah seorang selebritis yang mempunyai selera humor yang tinggi. Setiap ngobrol dengan anak-anak Batam Jazz Forum, ia suka menceritakan kejadian-kejadian lucu yang dialaminya bersama rekan-rekan sesama musisi jazz. Tapi tentu saja aku gembira sekali bisa bertemu dengan salah satu musisi besar Indonesia. Dan bukan Bill Saragih namanya kalau tidak bisa mencairkan suasana saat aku dilanda kegugupan mengalami kejadian yang tak terduga itu. Hanya dengan beberapa saat saja kami sudah langsung terbawa dalam suasana akrab.
Tanpa sempat aku mengajukan satu pertanyaanpun, Bill sudah banyak bercerita tentang berbagai hal, tidak saja masalah musik jazz di Indonesia, namun juga masalah politik hingga masalah pribadinya. Dengan bangganya ia bercerita tentang latar belakangnya sebagai bangsawan Batak yang karena kerusuhan sosial pasca Perang Kemerdekaan di Sumatera Utara, harus kehilangan segalanya. Dengan modal nekad ia merantau ke berbagai penjuru dunia hingga akhirnya berhasil menjadi seorang tokoh musisi jazz kenamaan.
“Saya satu-satunya orang Indonesia yang fotonya pernah muncul di halaman satu USA Today (koran dengan tiras terbesar di Amerika, pen),” ungkapnya bangga.
Tanpa terasa hampir dua jam Bill “nyerocos” hingga cerita pun merambat ke bidang politik. “Kenapa sih Habibie lebih suka ke Timur Tengah? Apa sih yang sudah diberikan orang-orang Arab itu? Bandingkan dengan Amerika yang telah banyak membantu kita,” kata Bill suatu ketika.
Habibie saat itu baru beberapa bulan sebelumnya menyerahkan jabatan Presiden kepada Abdurrahman Wahid. Pada saat itu, sebagai seorang liberal, tentu saja aku setuju dengan pandangan negatif Bill terhadap Habibie sebagaimana halnya terhadap orang-orang Arab. Bagiku saat itu, Habibie adalah icon kebangkitan Islam di Indonesia. Dan identik dengan pandanganku terhadap orang-orang Arab, bagiku saat itu Islam adalah “kebodohan”. Aku menganggap Habibie dengan ICMI-nya telah menghambat arah modernisasi Indonesia yang telah berjalan mulus sejak Orde Baru berkuasa. Dan Soeharto, sebagai orang yang telah memberikan kesempatan Habibie untuk berjaya, tentu saja layak dilengserkan.
Sebagai manifestasi terhadap pandangan politik tersebut aku sering mengekspresikan kebencianku pada Habibie tidak saja dalam forum-forum perdebatan warung kopi bersama rekan-rekan wartawan maupun narasumber, tapi juga pada berbagai tulisan di harian tempatku bekerja. Aku pernah menulis opini berjudul “Habibie Bukan Allende” untuk mengekspresikan pandanganku bahwa Habibie tidak lebih dari boneka Soeharto yang tidak akan berani benar-benar memperjuangkan reformasi sebagaimana Salvador Allende berani mati memperjuangkan nasionalisme Chili.
Sepengetahuanku kebencian orang-orang Islam Liberal kepada Habibie muncul di awal tahun 90-an. Saat itu Soeharto yang merasa terancam kekuasaannya oleh koalisi Moerdani-Gus Dur yang didukung oleh militer, NU dan orang-orang non-Islam, mengalihkan dukungannya kepada kalangan Islam. Agar dukungan ummat Islam bisa lebih solid, Soeharto membutuhkan seorang icon. Dan Habibie dianggap orang yang tepat, karena di samping berlatar belakang keluarga ulama, kesetiannya tidak diragukan lagi karena ia mempunyai sejarah hubungan keluarga yang cukup dekat dengan Soeharto.
Dengan Habibie dan ICMI sebagai “tameng”, Soeharto pun membabat saingan potensialnya. Moerdhani dilengserkan dari jabatan Panglima ABRI, Soedhomo dan para teknokrat UI anggota Mafia Barkeley (para teknokrat pelaksana kebijakan ekonomi pro-kapitalis Amerika) dihantam dengan kasus Eddie Thanzil, Gus Dur digoyang dari posisinya sebagai Ketua NU, dan CSIS (lembaga kajian milik orang-orang Katholik) diganti dengan CIDES (lembaga kajian yang didirikan orang-orang ICMI). ABRI yang sebelumnya didominasi oleh kelompok Moerdhani (ABRI Merah Putih) pun disingkirkan dan diganti dengan ABRI Hijau. Adapun Arswendo Atmowiloto yang mencoba test case kekuatan Islam harus mendekam di penjara akibat kasus tabloid Monitor. Gus Dur cs yang mencoba membangun basis ekonomi dengan menggaet Group Bank Summa milik pengusaha keturunan Tionghoa, Williem Soeryadjaya, dihancurkan Soeharto dengan membongkar kasus Bank Summa.
Namun saingan Soeharto bukannya tinggal diam. Gus Dur secara terang-terangan berani menentang Soeharto dengan mengadakan istighosah kubro di Senayan. Ia pun menetapkan Hari Raya Idhul Fitri sendiri yang berbeda dengan versi pemerintah. Namun perlawanan yang paling menentukan di secara sporadis dan sistematis melalui gerakan LSM-LSM yang didukung media massa kapitalis-sekuler-non Islam. Sejak orientasi politik Soeharto berubah ke Islam, muncullah berbagai LSM yang mengusung methode demonstrasi. Habibie sebagai tameng Soeharto tentu saja paling banyak mendapat “hantaman”. Berkali-kali berita miring tentangnya muncul di media massa Kompas dan Tempo. Saat pemerintah melakukan perjanjian imbal-beli pesawat CN-235 dengan beras ketan Thailand, misalnya, Kompas menulisnya sebagai headline halaman pertama dengan nada sinis seolah-olah mengejeknya. Apalagi saat pesawat CN-235 jatuh, Kompas dan media-media sekulter dan kafir seakan berpesta pora menikmati “penderitaan” Habibie. Adapun Tempo melakukan faith accomply kepada Soeharto menjelang pemilihan wakil presiden tahun 1992 dengan menulis wawancara dengan Habibie dengan judul “Saya Siap”. Dengan melakukan itu sebenarnya Tempo berupaya menggagalkan Habibie menjadi wakil presiden, karena siapapun tahu Soeharto tidak suka “didahului”. Penulisan judul “Saya Siap” merupakan bentuk “pendahuluan” yang menyebabkan Habibie gagal melenggang ke kursi wakil presiden.
Namun hantaman paling keras terjadi pada kasus pembreidelan Tempo. Dengan gagah berani Tempo menulis masalah pembelian kapal perang eks Jerman Timur yang proyeknya ditangani Habibie. Tulisan itu bagaikan pedang bermata dua bagi Habibie dan Soeharto. Bila dibiarkan maka kekuatan yang menentang mereka akan semakin kuat. Namun jika ditumpas, kredibilitas mereka akan jatuh karena melakukan tindakan tidak populer terhadap “kebebasan pers”. Dan apa yang menjadi tujuan Tempo terjadilah saat Menpen Harmoko mem-breidel Tempo dan dua media lainnya yang mem-blow-up kasus kapal perang eks Jerman Timur. Tempo menjadi martir gerakan anti-Soeharto-Habibie yang mengantar pada kejatuhan Soeharto pada bulan Mei 1998.
Namun meski anti-Habibie, aku punya hubungan “cukup dekat” dengan keluarga Habibie di Batam. Sebagai mantan Ketua Otorita Batam keluarga Habibie memiliki basis ekonomi cukup kuat di Batam. Selain itu adik perempuan Habibie, Sri Rejeki Soedharsono, yang mempunyai bisnis pendidikan dan rumah sakit selain menjabat sebagai ketua sebuah LSM yang bergerak di bidang kesehatan, tinggal di Batam. Awalnya Sri hanya menjadi narasumber biasa bagiku. Tapi tidak lama kemudian aku menjadi wartawan “kesayangannya”. Pernah ia menunda sebuah acara penting yang diadakannya hanya karena menunggu kedatanganku untuk meliputnya.
Kembali ke Habibie, meski sempat menjadi ikon kebangkitan Islam di Indonesia, identifikasi Habibie dengan Islam semakin lama semakin pudar seiring pandangan politik Habibie sendiri yang kurang jelas membela aspirasi ummat Islam. Yang nampak justru sebaliknya, Habibie, saat menjadi presiden, lebih memperhatikan aspirasi kelompok non-Islam. Ia hampir tidak pernah mengeluarkan statemen politik, apalagi mengeluarkan kebijakan politik yang jelas-jelas pro-Islam. Kebijakan politik yang diambilnya, seperti kebebasan pers, otonomi daerah dan pembebasan tahanan politik lebih banyak memperhatikan aspirasi kalangan demokrat-liberal non-Islam seperti Christianto Wibisono, George Aditjondro, dan Arief Budiman. Dalam hal pembebasan tahanan politik bahkan ia menganaktirikan tahanan politik dari kalangan Islam. Salah satu kebijakan pertama yang dillakukan Habibie justru adalah memberikan penghargaan kenegaraan kepada istrinya sendiri, dengan alasan telah berjasa mendampinginya di masa-masa sulit selama pergantian kekuasaan.
Puncak “pengkhianatan” Habibie adalah pemberian opsi kemerdekaan kepada Timor Timur yang akhirnya berbuntut propinsi termuda itu jatuh ke tangan orang-orang non-Islam. Tidak saja dipermalukan di mata internasional karena integritas Indonesia sebagai sebuah bangsa besar telah tumbang, upaya-upaya Islamisasi yang telah susah payah diupayakan sebagian kalangan Islam di negeri mayoritas Katholik itu pun runtuh. Konon “pengkhianatan” Habibie ini hanya karena ia tergiur dengan iming-iming nominasi hadiah Nobel Perdamaian bila mau memberikan opsi kemerdekaan Timor Timur. Dan ternyata iming-iming itu hanyalah pepesan kosong belaka.
Kini, setelah jatuh dari kursi kepresidenan pun Habibie lebih memilih tinggal di Jerman, negara basis kekuatan Yahudi kapitalis internasional, daripada negeri yang telah melahirkannya. Sama seperti Christianto Wibisono, George Aditjondro dan Arief Budiman yang lebih memilih tinggal di negeri patronnya, Amerika dan Australia sembari terus mengkampanyekan kemerdekaan Papua, setelah Timor Timur lepas dari pelukan ibu pertiwi. Sesekali Habibie datang ke Indonesia, menjenguk kebun duriannya, atau bersama The Habibie Center-nya, mengurusi flu burung dan menjadi pengamat sinetron TV.
Sekitar bulan September 2006 Habibie meluncurkan buku Detik-Detik yang Menentukan yang menghebohkan karena menceritakan kontroversi pencopotan Pangkostrad Letjend Prabowo Subiyanto paska pergantian kekuasaan Soeharto ke Habibie. Entah apa maksud Habibie dengan menuliskan buku itu. Selain membuka aib dan memancing perseteruan, tidak ada satupun nilai tambah yang dihasilkan dari buku itu. Faktanya adalah Prabowo adalah salah seorang pendukung kuat Habibie. Tanpa Prabowo dan kelompok ABRI Hijau-nya, karier politik Habibie hampir tidak akan lebih tinggi dari seorang menteri biasa.
KEMUNAFIKAN YANG VULGAR
Sebagai seorang wartawan simpatisan gerakan buruh sekaligus anggota MPP Partai Buruh Sosial Demokrat (PBSD) Batam, aku mempunyai kesempatan mendampingi MPh yang pada masa pemerintahan Orde Baru pernah meringkuk dalam sel tahanan karena keberaniannya menentang rejin Soeharto itu. Saat itu MPh menjabat sebagai Wakil Presiden International Labour Federation.
Saat itu dunia baru saja digemparkan dengan Tragedi WTC 11 September. Setelah ngobrol berbagai hal termasuk keterlibatan MPh dalam gerakan mendukung Gus Dur sebelum lengser dari jabatannya, aku sempat menanyakan kepadanya tentang pandangan politiknya sebagai pimpinan organisasi buruh terhadap Tragedi WTC.
“Saya secara pribadi dan atas nama Federasi Buruh Internasional mengutuk keras aksi penyerangan terhadap WTC,” jawab MPh atas pertanyaan yang aku ajukan kepadanya.
Aku langsung mempertanyakan pernyataan tersebut karena aksi penyerangan WTC sebagai simbol kapitalisme yang merupakan musuh politik gerakan buruh itu, mustinya disukuri oleh aktifis gerakan buruh. Namun MPh ngotot bahwa aksi tersebut harus dikutuk dengan alasan akibat aksi tersebut ribuan buruh (bukan komprador kapitalis) yang meninggal atau kehilangan pekerjaannya.
Meski pun masih belum puas dengan jawaban tersebut aku tidak melakukan perdebatan lebih lanjut. Namun pertanyaan tersebut kembali mengganggu pikiranku beberapa waktu kemudian, saat Inggris yang dipimpin oleh Partai Buruh di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Tony Blair ikut-ikutan Amerika menyerang Afghanistan sebagai buntut Tragedi WTC. Bagiku tidaklah masuk akal, sebuah pemerintahan sosialis “membela” kepentingan negara kapitalis dengan membabi buta. Logika yang terbalik. Sebagai musuh, mustinya orang-orang Inggris yang diperintah oleh regim partai buruh bergembira dengan hancurkan WTC yang merupakan simbol paling kuat paham kapitalisme. Pikirku pasti adalah yang salah pada salah satu dari dua hal ini, yaitu teori dialektika politik-nya Karl Marx yang menyebutkan selalu terjadinya adu kekuatan antara kalangan buruh melawan kapitalis, atau pikiranku sendiri yang telah tertipu oleh pendapat peletak dasar sosialisme-komunisme itu.
Dan seiring berjalannya waktu, kemudian aku sadar (sesadar bahwa Tragedi WTC adalah sebuah rekayasa strategis oleh para kapitalis) bahwa aku telah tertipu oleh Yahudi Karl Marx, seperti halnya jutaan manusia lain baik yang masih hidup ataupun yang sudah meninggal.
Selama puluhan tahun manusia di seluruh dunia terseret dalam polarisasi paham politik kapitalisme-komunisme. Manusia di seluruh dunia, selama puluhan tahun manghabiskan energi, uang, waktu, tenaga, pikiran bahkan nyawa jutaan orang yang mati karena perang antara penganut paham komunis melawan kapitalis di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Suatu pengorbanan yang tidak terhingga nilainya. Kanyataannya adalah, ketika pemimpin komunis Rusia di awal abad 20 berapi-api mengorbankan kebencian kepada kapitalisme, mereka menerima kucuran dana jutaan dolar dari para kapitalis Amerika dan Inggris. Dan selama itu pula para kapitalis Amerika dan negara-negara barat lainnya intens menjalin hubungan bisnis dengan para bos Partai Komunis di berbagai negara. Dan kini, setelah komunisme hancur di Rusia dengan cara yang sungguh tidak masuk akal, para mantan “gembong komunisme” berpindah haluan menjadi pendukung paling kuat kapitalisme. Dengan kata singkat, komunisme sebenarnya adalah ciptaan kaum kapitalis sendiri.
Ini adalah beberapa judul headline di Harian New York Times di tahun 20-an di saat permusuhan komunis-kapitalis sedang mencapai momentumnya. Simak baik-baik: “Amerika melakukan perdagangan dengan Rusia meskipun dilarang”, ”Minyak Sovyet ditawarkan kepada perusahaan Amerika”, “Amerika bekerja pada ladang minyak Rusia”, “Jaminan Sovyet dalam persetujuan awal Inggris untuk mengembangkan ladang minyak telah dicapai”.
Selain itu selama Perang Dingin antara kapitalis melawan komunis, yayasan-yasaan milik kapitalis Amerika mengucurkan jutaan dolar dananya ke lembaga-lembaga dan individu-individu pendukung komunisme.
Pengorbanan yang dialami ummat manusia akibat polarisasi komunis-kapitalisme sebagaimana sudah disebutkan, tidak ternilai jumlahnya. Namun sebaliknya bagi para kapitalis hal itu menjadi sumber pendapatan yang tidak ternilai. Karena polarisasi itu negara-negara di seluruh dunia harus menghabiskan sumber daya yang dimilikinya untuk belanja perlengkapan militer yang dibuat oleh para kapitalis. Sering kali mereka harus berhutang (dengan beban bunga, commitment fee, dan biaya-biaya tambahan lainnya yang mencekik leher) kepada lembaga-lembaga keuangan internasional yang sebenarnya milik para kapitalis. Amerika sendiri contohnya, pada saat berakhirnya Perang Dingin, harus menanggung hutang hingga US$ 4 Triliun kepada para pemilik modal. Jumlah itu semakin menggunung seiring dengan kebijakan anggaran pemerintah yang boros dengan belanja militer yang nilainya mencapai ratusan miliar dolar setiap tahun serta akibat defisit neraca perdagangan internasional yang nilainya tidak kalah besar. Jumlah hutang sebesar itu tidak akan terbayarkan meskipun ditanggung bersama-sama oleh 300 juta rakyat Amerika selama beberapa generasi.
Kemunafikan juga terjadi di Aljazair dan Turki, dua negara mayoritas berpenduduk Islam yang diperintah oleh rejim non-Islam. Saat partai Islam FIS memenangkan pemilu yang demokratis di Alajazair, rejim fasis yang berkuasa dengan dukungan penuh negara-negara barat mengambil-alih kekuasaan dengan cara kotor dan vulgar. Demikian juga saat pemerintahan dari partai Islam yang memenangkan pemilu yang demokratis di Turki hendak melaksanakan aspirasi ummat Islam, mereka dikudeta oleh militer dan para politisi sekuler.
Mengingat itu semua tidaklah heran bila kemudian kita melihat terjadinya kemunafikan yang vulgar sebagaimana ditunjukkan oleh dukungan pemerintahan Partai Buruh Inggris kepada Amerika, atau sebagaimana sikap MPh yang mengecam penyerangan WTC.
Dalam konteks sosial politik di Indonesia, kemunafikan yang vulgar ditunjukkan oleh para aktivis perempuan. Dahulu mereka sering berkoar-koar tentang perlunya dibuat peraturan yang melindungi wanita dari eksploitasi seksualitas. Namun saat ummat Islam berjuang menggolkan UU APP, mereka mati-matian menentangnya. Kemunafikan juga diperlihatkan oleh para orang-orang yang sering disebut “media-media massa terkontaminasi Yahudi” sebagai pejuang demokrasi seperti Gunawan Mohammad, Cak Nur, Todung Mulya Lubis, Alwi Shihab, Ulil Absar Abdalla, Dawam Rahardjo dan rekan-rekannya. Mereka begitu bersemangat membela “musuh negara” Sydney Jones yang dicekal oleh pemerintah karena dianggap merugikan kepentingan nasional. Namun saat warga negara Indonesia yang terhormat seperti Tamsil Linrung difitnah sebagai teroris dan dianiaya oleh pemerintah Filipina, mereka diam seribu bahasa.
Saat Front Pembela Islam (FPI) berjuang menentang kemaksiatan, mereka menuduhnya sebagai organisasi “preman berjubah” dan menuntut polisi untuk membubarkannya. Mereka yang selama ini berkoar-koar membela kebebasan mengekspresikan aspirasi dan kebebasan berserikat itu kini tidak ada bedanya dengan penganut fasisme Nazi. Kemunafikan juga ditunjukkan oleh “lokomotif demokrasi Indonesia” YLBHI yang didirikan dan “dipimpin” oleh Adnan Buyung Nasution. Hanya karena direkturnya, Munarman, bersimpati terhadap Hizbut Thahrir Indonesia, ia harus diberhentikan dari jabatannya. Padahal semua orang tahu, Adnan Buyung sendiri mendekatkan diri ke ICMI saat Habibie berkuasa hingga oleh rekan-rekannya sesama “pejuang demokrasi” ia sempat dianggap pengkhianat. Kemunafikan juga ditunjukkan secara vulgar oleh tokoh nasional Frans Seda. Non-muslim yang oleh Harian Kompas sering disanjung sebagai seorang negarawan dan nasionalis sejati itu pernah mengancam akan memisahkan Provinsi NTT dari Indonesia dan menggabungkan diri dengan Timor Leste hanya karena Fabianus Tibo Cs dieksekusi mati.
Namun menurut penulis tidak ada kemunafikan yang lebih besar dari penolakan sebagian orang-orang Islam terhadap penerapan Syariat Islam, yang menganggap bentuk negara Indonesia sekarang ini adalah bentuk yang sudah final dan paling ideal. Padahal faktanya adalah Indonesia, dengan bentuk pemerintahan sekarang ini tidak pernah mampu bangkit dari keterpurukan sosial ekonomi dan tidak pernah mampu menghapuskan budaya korupsi.
DAULAT KEBEBASAN
Suatu sore aku tengah melihat-lihat buku di toko Gramedia di Batam saat telepon genggamku berdering. Saat kuangkat terdengar suara yang sangat kukenal. LM, PR Manager PT Adhya Tirta Batam (perusahaan patungan Indonesia-Inggris yang menjadi penyedia air minum di Batam) dan mantan aktifis LSM termasuk pernah menjadi pengurus YLKI, meneleponku. Ia menyampaikan “salut” atas isi tulisanku di Harian Sijori Pos sehari sebelumnya tentang peranan wartawan dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Itu adalah respons kedua yang kuterima berkaitan dengan tulisan tersebut. Yang pertama kuterima dari, Mayjend Jusuf Domi, Deputi Operasi Otorita Batam.
Tulisan tersebut terinspirasi oleh buku Pramoedya Ananta Toer yang termasyur, Sang Pemula, yang menceritakan perjuangan tokoh pergerakan nasional RM Tirtoadisuryo dalam membangkitkan kesadaran bangsa Indonesia untuk merdeka dari penjajahan Belanda.
Sebagai seorang liberalis saat itu, sudah pasti aku sangat mengidolakan Pramoedya yang karya-karyanya memberikan “pencerahan”, meski ia dicaci maki sebagai gembong PKI. Tidak heran kalau aku mengoleksi banyak buku-buku karya Pramoedya. Bagiku, hampir pasti juga bagi semua orang Indonesia yang merasa sebagai seorang demokrat liberalis, Pramoedya adalah seorang inspirator. Selain wawasannya yang sangat luas tentang eksistensi bangsa Indonesia sepanjang sejarah, sikapnya yang gigih membela kebebasan adalah sesuatu yang sangat mengagumkan. Belum lagi reputasinya di kalangan sastrawan internasional, sangat inspiratif.
Namun seiring berubahnya waktu, pandangan tersebut kini kikis sudah. Dengan segala hormat, penulis melihat Pramoedya tidak lebih dari jutaan orang-orang “bodoh” yang telah ditipu oleh teori-teori “dialektika politik” Karl Marx, atau ditipu oleh para seniman yang menyebarkan candu romantisme. Lebih jauh lagi penulis melihat kebenciannya sangat mendalam terhadap Islam, dan itu sangat tidak fair bagi seorang demokrat untuk membenci pandangan hidup orang lain dengan membabi buta. Dengan kata lain, di samping “bodoh” ia juga munafik.
Mari kita lihat beberapa karya Pramoedya. Beberapa saja, tidak perlu semuanya, di antaranya adalah Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, Sang Pemula, dan Arus Balik. Pada ketiga buku tersebut Pramoedya menggambarkan tokoh-tokoh antagonis yang sama: berdarah Arab sebagai identitas pemeluk Islam. Dalam buku Arus Balik Pramoedya bahkan menjadikan tokoh antagonis berdarah Moor yang berasal dari Andalusia (Spanyol semasa diperintah Islam) sebagai sentral cerita. Meski ia agak respek terhadap Patih Unus, raja Islam Demak yang menyerang Portugis di Malaka, namun ia sangat sinis dengan politik Islamisasi Pulau Jawa oleh Raja Demak Trenggono dan menggambarkan pahlawan penakluk Jakarta sekaligus seorang “anggota” Wali Songo, Fatahillah, sebagai seorang petualang oportunis belaka.
Menurut Pramoedya, panaklukan Jakarta tidak lain terjadi karena Portugis tidak serius mempertahankan Jakarta setelah didudukinya. Terakhir, dengan keji, Pramoedya menuduh Trenggono sebagai seorang gay yang mati dibunuh oleh pasangan gay-nya sendiri. Padahal, bahkan orang Malaysia, menghormati namanya dengan mengabadikannya pada nama sebuah daerah: Trengganu.
Sementara dalam buku Sang Pemula, digambarkan RM Tirtoadisoeryo sebagai seorang pejuang yang berpandangan sosialis ekstrim yang menghalalkan cara-cara kekerasan. Padahal dalam kenyatannya RM Tirtoadisoeryo adalah seorang muslim yang turut mendirikan organisasi perjuangan Sarikat Islam. Sebagai seorang pejuang Islamis sudah barang tentu ia memiliki pandangan hidup dan perilaku Islami yang jauh dari kekerasan. Namun oleh Pramoedya hal tersebut dimanipulir sehingga timbul kesan bahwa Tirtoadisoeryo adalah seorang sosialis ekstrim. Fakta yang terjadi kemudian adalah Sarikat Islam terpecah menjadi dua, yaitu SI Putih dan SI Merah. Yang terakhir adalah SI yang telah terpengaruh dengan ajaran sosialis-komunis.
Dan fakta yang lebih mengejutkan lagi adalah bahwa Pramoedya kemungkinan besar adalah seorang antek Yahudi. Buktinya nama Bintang Timoer yang menjadi nama surat kabar yang dipimpinnya semasa Orde Lama adalah nama sebuah loge, atau semacam mason, yaitu perkumpulan yang didirikan Yahudi untuk mengendalikan dunia melalui golongan elit masyarakat yang secara tidak sadar dikendalikan Yahudi.
Dalam berbagai wawancara dengan media massa, Pramoedya selalu mengungkapkan pandangan hidupnya yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan. Dengan pandangan hidup itu, hukum dan undang-undang menjadi sesuatu yang tidak berarti, terutama bila berhadapan dengan berbagai isu yang sengaja dihembuskan melalui berbagai media, seperti HAM, demokrasi, pluralisme, kebebasan berekspresi, SARA, anti-semit, dan sekularisme.
Meski bagi sebagian negara independen seperti China, Korut, Iran, Kuba dan Venezuela isu-isu seperti itu tidak cukup berarti, namun bagi mayoritas negara-negara dunia yang tergantung kepada Amerika, termasuk Indonesia, isu itu masih sangat manjur. Buktinya RUU APP yang sudah disetujui pemerintah dan DPR dan didukung oleh mayoritas rakyat Indonesia, gagal diundangkan karena penolakan segelintir orang yang menganggap RUU tersebut bertentangan dengan kebebasan berekspresi. Tidak dapat dibantah lagi, kekuatan Amerika melalui media massa dan antek-antek imperalisnya yang menguasai berbagai posisi strategis di Indonesia telah membuat pemerintah berpikir dua kali untuk mengundangkan RUU APP.
Benar, para pemuja kebebasan itu secara de facto kini telah menjadi penguasa Indonesia. Tidak mengherankan jika mereka menjadi sangat arogan dan sombong. AT, wartawan Tempo dan aktivis LSM yang mengusung bendera Koalisi Anti Kekerasan dalam sebuah acara diskusi di Metro TV tentang isu “Preman Berjubah”, beberapa kali memaki lawan diskusinya dari Majelis Muslim Indonesia.
Penulis juga masih ingat bagaimana Ayu Utami, penulis novel “porno” Saman, meremehkan Rhoma Irama dalam kasus perselisihan antara Rhoma dan penari “porno” Inul Dharatista. Pada sebuah acara infotaintment, Ayu meremehkan Rhoma dengan mengatakan: “Siapa sih dia (Rhoma)?”. Gadis kemarin sore yang baru menulis dua novel seperti Ayu, sangatlah tidak pantas menempatkan diri di atas Rhoma Irama, artis yang kebesarannya tidak tertandingi oleh artis manapun di Indonesia. Namun hanya karena merasa “benar” dengan paham kebebasan berekspresi yang dimilikinya, Ayu telah menjadi sombong dan lupa dengan jati dirinya sendiri.
Pada saat tulisan ini dibuat, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) baru saja memberikan penghargaan Tasrif Award kepada Gus Dur dan Gadis Artamevia karena penolakannya atas RUU-APP. Alasan AJI aksi penolakan Gus Dur dan Gadis telah memberikan “pencerahan” bagi masyarakat Indonesia dalam memandang berbagai masalah-masalah sosial yang kontroversial, khususnya masalah pornografi. Sama seperti aksi-aksi dukungan kepada “tukang fitnah” agen rahasia asing, Sydney Jones oleh beberapa waktu lalu oleh beberapa tokoh demokrasi nasional, aksi AJI dan “orang-orang yang disukainya” itu telah menunjukkan benang merah siapa sebenarnya AJI, sebuah organisasi yang “mengharamkan” bantuan pemerintah namun “menghalalkan” bantuan asing (Yahudi?).
INTELEKTUAL BAYARAN
(Michael Collin Piper dalam The High Priest of War)
Beberapa waktu lalu seorang teman, dosen Fakultas Teknik USU yang juga doktor oceanografi satu-satunya di Sumatera, meminjamiku buku bestseller karya Bernard Lewis berjudul The Crisis of Islam, Holy War and Unholy Terror sebagai balasan karena aku telah meminjaminya buku biografi BJ Habibie. “Supaya kita bisa belajar mengetahui kelemahan sendiri dan belajar dari keberhasilan bangsa lain,” katanya saat menyerahkan buku tersebut.
Karena penasaran dengan nama besar Bernard Lewis, yang sebagaimana sesama ilmuwan neo-konservatif seperti Samuel Huntington maupun Francis Fukuyama sering menjadi rujukan kalangan intektual Indonesia dan banyak disebut namanya di media-media massa nasional, aku tidak sabar untuk segera melalap halaman demi halaman buku tersebut. Namun baru dalam bab pengantar aku langsung menemukan pandangannya yang “kurang obyektif”. Meski berusaha menyembunyikan pandangannya yang sebenarnya tentang Islam dan berusaha bersikap netral sebagaimana seharusnya seorang ilmuan, impuls-impuls kebencian terhadap Islam sesekali tidak dapat disembunyikannya.
Pada tahap ini aku langsung memutuskan untuk mengakhiri eksplorasi pemikiran Bernard Lewis karena bagiku membaca buku Bernard Lewis sama saja belajar Islam pada seorang kafir yang terus menunjuki jidat muridnya seraya berkata: “Kalian orang-orang Islam adalah kafir.”
Namun alhamdulillah aku tidak perlu membaca langsung semua karya-karya Bernard Lewis untuk mengetahui pikiran-pikirannya yang sebenarnya terutama setelah membaca artikel Adian Husaini dalam majalah Islamia berjudul “Bernard Lewis dan Apologia Barat”.
Menurut Adian, pandangan Lewis terhadap Islam didasari pada asumsi dasar bahwa Islam adalah musuh sebagaimana pandangan Lewis dalam bukunya : “… a significant sumber of Muslim – notably but not exclusively those whom we call fundamentalist – are hostile and dangerous, not because we need enemy but because they do).
Adian menambahkan, pandangan-pandangan Lewis terhadap Islam sangat jauh dari obyektif. Misalnya saja ia hanya melihat Muslim lebih berpihak pada Jerman yang telah mengirim orang Yahudi ke Palestina daripada Inggris yang ingin mengeluarkan Yahudi dari Palestina. Ia juga melihat Muslim lebih berpihak kepada Uni Sovyet daripada Amerika dan Barat, padahal Sovyet banyak berperan dalam pendirian negara Israel. Padahal fakta yang sebenarnya adalah Inggris dan Amerika lah yang menjadi bidan kelahiran Israel dan sekaligus sebagai penjaganya. Inggrislah yang mengeluarkan Deklarasi Balfour yang menjadi pijakan pokok kelahiran negara Yahudi, dan Amerika mengamankan kepentingan Israel dalam forum internasional selain bantuan senjata dan uang yang tidak terbatas. Sebaliknya Uni Sovyet lah yang telah mempersenjatai negara-negara Arab dalam perangnya melawan Israel baik dalam Perang Arab-Israel tahun 1967 maupun tahun 1973.
Lewis pun secara terus terang menyarankan pemerintah Amerika mengulingkan rejim-rejim Arab maupun Muslim lainnya yang tidak mau bekerjasama dengan Amerika dan Barat. Ia juga menuduh orang Islam telah berlaku tidak fair dalam menilai Barat. Menurutnya, alih-alih melihat kesalahan sendiri, orang-orang Islam suka melihat kesalahan Barat. Misalnya saja, sebut Lewis, orang-orang Islam begitu marah pada kasus pembantaian pengungsi Palestina di kamp Sabra dan Shatilla, namun cuek pada pembantaian pengikut ikhwanul muslimin oleh Presiden Syria Hafez Assad.
Hampir semua aspek disinggung Lewis hanya untuk menunjukkan kelemahan orang-orang Islam. Ia misalnya menyinggung kemenangan pejuang Afghanistan atas Uni Sovyet hanya terjadi karena bantuan senjata dan dukungan strategis Amerika. Ia juga menyebutkan dengan nada sinis bagaimana orang-orang Turki Ottoman terkagum-kagum dengan kemegahan kapal perang Inggris. Mungkin untuk mengingatkan bahwa kalau mau Inggris sudah “menyudahi” keberadaan khilafah terakhir Islam itu lebih awal beberapa ratus tahun sebelum kehancuran kerajaan Turki di awal abad 20.
Lewis adalah ilmuwan yang pertama kali memunculkan wacana tentang clash of civilization dalam artikelnya di majalah Athlantic Monthly berjudul “The Roots of Muslim Rage” tahun 1990, jauh sebelum Samuel Huntington mempopulerkannya dalam buku Clash of Civilization and Remaking the World Order. Sedangkan Francis Fukuyama yang terkenal dengan bukunya The End of History adalah salah seorang penandatangan petisi yang mendesak penyerangan atas Irak paska Tragedi WTC. Mereka bertiga adalah yang memberikan “justifikasi ilmiah” atas sebagian besar kebijakan politik kaum neo-konservatif, terutama yang bertentangan dengan kepentingan dunia Islam.
Michael Collin Piper dalam bukunya The High Priest of War menjuluki Bernard Lewis sebagai “embah-nya orang-orang fanatik anti-Arab”. Mungkin tulisan Anis Shivani dalam sebuah artikel di majalah Counterpunch dapat menggambarkan sosok sebenarnya tentang Bernard Lewis. Menurut Anis, selain fanatik anti-Arab dan anti-Islam, Lewis sebenarnya “kurang wawasan” tentang Islam. Anis menulis:
Dalam artikel ini (“The Roots of Muslim Rage”, pen.) Lewis menolak semua penjelasan yang sangat gamblang – misalnya saja kegagalan politik Amerika – dan mencari “sesuatu yang lebih dalam” sehingga “semua permasalahan menjadi tidak terselesaikan”, tanpa menjelaskan apa “yang lebih dalam” itu. Ia menolak anggapan bahwa imperalisme sebagai penyebab terjadinya “kemarahan” ummat Islam yang berujung pada munculnya gerakan perlawanan bersenjata, dan justru menuduh bahwa terorisme memiliki konotasi religius dalam Islam.
Pada beberapa bukunya seperti The Arabs in History (1950), The Emergence of Modern Turkey (1961), Semites and Anti-Semites (1986), The Jews of Islam (1984), dan Islam and the West (1993), Lewis telah menyusun sebuah katalog apa yang ia pandang sebagai “penyakit dunia Islam yang tak terobati”. Pada buku terbarunya (What When Wrong, pen.), Lewis membuka analisisnya tentang “apa yang salah (dalam dunia Islam, pen.)” pada kemunduran militer Turki Ottoman pada abad XVI dan beberapa abad selanjutnya. Interpretasi Lewis tentang Islam sangat terfokus pada dinasti Ottoman, sangat sedikit menyinggung peradaban Islam di Asia Selatan, Asia Tenggara, Asia Tengah, Persia, Afrika Utara, dan dengan interpretasi yang sempit itu ia mengekstrapolasi seluruh sejarah ummat Islam.
Meski analisa Lewis sangat bias, namun kenyataannya ia sangat dipuja-puja oleh kalangan politisi pro-Israel. Pada bulan April 2003 The New York Times menyebutkan bahwa buku Lewis, What When Wrong telah memberikan pengaruh yang besar bagi kebijakan politik luar negeri Amerika, terutama melalui Wakil Presiden Dick Cheney. The New York Times juga mengungkapkan bahwa beberapa waktu sebelum Tragedi WTC, Lewis dikontrak oleh Menteri Pertahanan Amerika Donald Rumsfeld dan deputinya, Paul Wolfowitz dalam suatu proyek untuk mengevaluasi bagaimana kerajaan-kerajaan besar di masa lalu mempertahankan kekuasaannya. Paul Wolfowitz (pernah jadi dubes Amerika di Jakarta) sendiri dalam sebuah sambutan acara khusus yang diadakan untuk memberikan penghargaan bagi Lewis yang diadakan di Israel mengatakan:
Bernard Lewis secara brilian telah menempatkan beberapa hubungan dan isu di Timur Tengah dalam konteks yang lebih luas, dengan sangat obyektif, orisinil dan pemikiran-pemikiran –yang selalu independen. Bernard telah mengajarkan kita untuk memahami kompleksitas dan pentingnya sejarah Timur Tengah dan menggunakannya untuk memandu kita ke arah mana kita akan menuju untuk membangun dunia yang lebih baik bagi generasi mendatang.
Lamis Andoni, seorang veteran wartawan yang selama 20 tahun meliput Timur Tengah menyatakan bahwa Lewis tidak hanya memberikan justifikasi sejarah bagi kebijakan perang pemerintahan George W Bush, juga menjadi “bapak idiologi” kebijakan politik re-kolonisasi Arab yang dimulai dengan serangan ke Irak. Menurut Lamis, dengan menyatakan “rakyat Arab dan Iran telah gagal mencapai modernisasi dan jatuh ke dalam jurang kebencian dan kemarahan”, Lewis telah mendorong kebijakan imperialis Amerika dan memberikan landasan moral yang dibutuhkan Presiden Bush untuk melaksanakan kebijakan “serangan pendahuluan” dan “perubahan penguasa” di dunia Islam.
Dalam kenyataannya, tambah Lamis, Lewis tidak hanya aktif menulis dan berkomentar, namun juga aktif dalam kegiatan-kegiatan lobbi untuk menekan pemerintah untuk lebih aktif mendukung Israel dan menyerang Arab. Sebagai contohnya, tulis Lamis, pada bulan Februari 2001 (sebelum Tragedi WTC) Lewis turut menandatangani petisi bersama Donald Rumsfeld, Paul Wolfowitz dan lain-lain yang isinya mendesak Presiden Clinton untuk melakukan serangan militer ke Irak, termasuk, bila perlu, menggunakan metode bom karpet yang sangat keji. Selain itu satu orang putranya juga aktif AIPAC, sebuah organisasi lobby Yahudi yang sangat berpengaruh di Amerika.
Thursday, 24 July 2008
Legenda Cawan Suci
Pada pertengahan tahun 2005 aku mendapatkan kesempatan menyelenggarakan event Diskusi Novel The Da Vinci Code. Terlepas dari “kesuksesan” acara itu baik dilihat dari banyaknya peserta dan antusiasme peserta mengikuti acara, aku mendapatkan sebuah pengalaman yang unik namun juga menyakitkan. Seorang kawan yang membantu mempublikasikan acara itu mendapatkan dampratan keras dari seseorang muslim yang taat dilihat dari cara berpakaiannya. Orang tersebut marah-marah karena kawanku dianggap menyebarkan ajaran sesat dengan menganggap Isa Al Masih beristri dan punya keturunan.
Pandangan pria tersebut merupakan pandangan umum ummat Islam di dunia hatta para ulama, yaitu menganggap nabi Isa tidak memiliki istri dan keturunan. Padahal pandangan tersebut tidak memiliki dalil baik akli maupun nakli-nya. Justru dalil nakli menunjukkan sebaliknya. Misalnya saja Al Qur’an surat Ar Rad: mengatakan: “Sesungguhnya kami telah menurunkan beberapa Rosul sebelum kamu (Muhammad). Kepada mereka kami berikan istri-istri dan keturunan…..”
Nabi Isa adalah seorang laki-laki dewasa yang normal. Sudah seharusnya kita tidak menuduhkan hal-hal yang aneh mengenai dirinya. Kalau memang Allah memberikan ketetapan lain yang khusus terhadapnya, yaitu hal kehidupan selibatnya, tentu hal itu ditetapkan secara jelas dalam Al Qur’an atau minimal melalui hadits Rosulullah. Namun tidak ada satupun nash yang menyebutkan hal itu.
Saya memberikan contoh analog sbb. Pada dasarnya semua makanan adalah halal dimakan. Karena Allah berkehendak untuk menguji keimanan manusia, Ia mengharamkan sebagian kecil makanan untuk dimakan. Namun karena keharaman suatu makanan adalah hal khusus, maka Allah memberikan ketentuan yang jelas dan tegas agar manusia tidak kecele. Dalam Al Qur’an disebutkan makanan-makanan haram tersebut, di antaranya adalah babi, darah, khamr, dan binatang yang disembelih tidak atas nama Allah.
Tuesday, 22 July 2008
DUNIA YANG SERBA PARADOKS
Kenapa Inggris membantu Amerika? Karena para bos partai buruh Inggris, termasuk PM Tony Blair, sebagaimana para mantan PM Inggris lainnya, adalah para eksekutif atau komisaris perusahaan-perusahaan kapitalis Amerika. Ada cerita menarik tentang paradoks komunis-kapitalis. Dahulu pada saat para pemimpin komunis di depan rakyatnya mengutuki negara-negara kapitalis Amerika dan Eropa, keluarga mereka dengan santai berlibur di sana. Bukti nyatanya adalah keluarga pemimpin komunis Uni Sovyet Josep Stalin dan Molotov sampai saat ini hidup di Amerika. Keluarga DN Aidit pun (tokoh komunis Indonesia) dalam pengasingannya tinggal di Eropa, dan Pramoedya Ananta Toer (budayawan komunis Indonesia) mendapat berbagai penghargaan di negara-negara barat termasuk hadiah pribadi dari Presiden Amerika Jimmy Carter.
Bagaimana mengenai kebijakan pemerintah SBY-JK yang menaikkan harga BBM hingga 100% paska kenaikan harga minyak dunia? Cukup kiranya dikemukakan bahwa sebelum terjadi kenaikan harga minyak dunia ada sebuah pertemuan rahasia Bilderberger Group, sekelompok pengusaha dan pejabat tinggi negara-negara maju Amerika dan Eropa, yang merekomendasikan kenaikan harga minyak dunia demi mendongkrak pendapatan mereka seraya menanamkan kekuasaan politik mereka. Pertemuan kelompok ini tahun 2006 bahkan merekomendasikan harga minyak dunia hingga 150 dolar AS per-barel. Ini berarti rakyat Indonesia harus siap-siap lagi menghadapi kenaikan BBM lagi hingga 100%.
Mengapa RUU APP mandek di tengah jalan? Tidak lain karena para kapitalis asing dan dan jaringannya di Indonesia yang menguasai bisnis seks dan hiburan akan terancam penghasilannya jika UU itu diterapkan. Mengapa pembangunan PLTN ditentang? Tidak lain karena para kapitalis asing dan para kompradornya takut Indonesia tumbuh menjadi negara kuat dan tidak lagi tergantung kepada negara-negara maju. Mengapa pembangunan di Indonesia terasa timpang khususnya antara Jawa-luar Jawa? Tidak lain karena para kapitalis pemberi pinjaman itu menginginkan adanya bom waktu disintegrasi di Indonesia yang sudah mulai terasa akhir-akhir ini. Wallahualam bi sawab.(Dimuat di Harian Batam Pos, 2007)