Wednesday 3 December 2008

SKEMA PONZI DALAM KRISIS KEUANGAN GLOBAL


Tulisan ini mencoba menguak akar permasalahan krisis keuangan global yang gejalanya dimulai dengan krisis kredit perumahan sederhana (sub-prime mortgage) Amerika pertengahan 2007 lalu, melalui analisis sederhana dari apa yang disebut dengan Skema Ponzi. Skema Ponzi adalah sebuah istilah untuk praktek kotor dalam bisnis keuangan
dengan janji pemberian keuntungan berlipat ganda yang jauh lebih tinggi (jauh lebih tinggi dari keuntungan bisnis riel) bagi investor yang mau menyimpan dana investasinya lebih lama di perusahaan investasi (sekuritas, bank, asuransi ataupun investment banking). Para invesor umumnya tidak tahu dan tidak mau tahu darimana perusahaan membayar keuntungan yang dijanjikan.

Praktik ini pada awalnya berjalan mulus, yaitu investor mendapatkan keuntungan yang dijanjikan. Investor pun berbondong-bondong membeli produk investasi yang ditawarkan.
Namun seiring semakin banyaknya investasi yang ditanam, kewajiban perusahaan keuangan pun menumpuk tinggi. Pada satu titik gelombang dana investasi yang masuk pun tidak mampu mengimbangi kewajiban yang harus dibayarkan perusahaan. Lewat titik tersebut perusahaan pun mengalami kerugian yang semakin lama semakin tinggi nilainya seiring dengan banyaknya kewajiban yang harus dibayarkan.

Yang terjadi sebenarnya adalah dana investasi yang masuk digunakan untuk berjudi (bahasa keren-nya investasi) dengan melakukan perdagangan derivatif di pasar uang, pasar modal, pasar komoditi, membiayai proyek pengembangan, atau bahkan investasi bentuk lain yang tidak pernah dibayangkan orang seperti membiayai kudeta di negara dunia ketiga dengan imbalan mendapatkan proyek pembangunan di negara tersebut. Investasi ini tentu saja tidak menjamin keuntungan. Sebagian dana investasi itu juga digunakan untuk membayar gaji yang luar biasa tinggi kepada manajemen dan pemilik perusahaan --- di Amerika gaji CEO perusahaan investasi mencapai puluhan hingga ratusan juta dollar setahun atau berkali-kali lipat gaji presiden Amerika ---.
Pada kondisi dimana perusahaan merugi terus-menerus maka terjadi tiga kemungkinan. Pertama CEO dan pemilik melarikan diri dengan membawa dana investasi. Kedua perusahaan meminta perlindungan hukum dengan mengajukan skema kebangkrutan dan harus menyelesaikan kewajibannya melalui proses pengadilan perdata. Ketiga terjadi skandal dimana penyidik menemukan unsur penipuan dan menangkap para CEO dan pemilik perusahaan.

Hal itulah yang umumnya terjadi di mana-mana di seluruh dunia. Namun di Amerika terdapat kekecualian. Ketika perusahaan investasi bangkrut, mereka meminta perlindungan kepada pemerintah, bank sentral dan politisi untuk mendapatkan dana talangan (bailout). Pemerintah, Congress dan Bank Sentral, alih-alih membela rakyat dan menangkap para CEO perusahaan investasi dengan dalih penipuan, justru menyediakan dana talangan yang ironisnya dibiayai dengan berhutang kepada perusahaan investasi (sebagian kecil lainnya dengan berhutang kepada kreditor luar negeri). Kemudian untuk pembayaran hutan tersebut tentu saja dibebankan kepada rakyat melalui pajak. Dana talangan yang dikeluarkan pemerintah bersama bank sentral telah mencapai 2 triliun dollar, belum termasuk dana talangan senilai $700 miliar yang telah disetujui Congress bulan Oktober lalu.

Perlu dicatat disini bahwa meski beberapa perusahaan keuangan kolaps, perusahaan yang lain justru mendapatkan limpahan dana karena menang dalam perdagangan derivatif. (Secara fisik tidak ada dana masyarakat yang hilang tertelan bumi atau menguap di udara. Sama dengan kondisi di perbankan dimana dalam setiap hari ada bank yang menang kliring dan ada yang kalah kliring). Biasanya perusahaan keuangan yang menang maupun yang kalah dalam perjudian perdagangan derivatif itu memiliki kepemilikan silang oleh segelintir orang atau keluarga. Jikapun beberapa perusahaan itu bangkrut, mereka masih menangguk untung dari perusahaan lainnya yang untung. Apalagi jika pemerintah dan bank sentral turun tangan memberi talangan yang nilainya ratusan miliar hingga triliunan dolar (tidak bisa dibayangkan nilainya dalam rupiah), keuntungan mereka berlipat-lipat.

Perusahaan-perusahaan itu dikelola oleh para eksekutif profesional yang terikat dalam jalinan pertemanan. Para eksekutif itu juga menjalin pertemanan dengan para pejabat pemerintah dan politisi yang biasanya adalah rekan se-almamater atau se-tempat kerja magang. Dan bagi para eksekutif, pejabat pemerintah maupun para politisi, para pemilik perusahaan keuangan adalah “Patron” atau “Tuan” yang telah banyak berjasa membantu karier mereka. Bahkan bagi para kandidat presiden, donasi para kapitalis itu merupakan faktor utama penjamin lolosnya mereka ke kursi kekuasaan. Tidak peduli sang presiden adalah seorang penganut agama yang saleh seperti Jimmy Carter, seorang playboy seperti Bill Clinton, ataupun “Sang Messiah” Barack Obama.
Hal yang lebih parah terjadi pada Bank Sentral (The Fed). Murni dimiliki oleh para pemilik perusahaan keuangan tanpa selembar sahampun dimiliki pemerintah, jabatan Gubernur dan Dewan Gubernur mutlak ditentukan para pengusaha keuangan dengan presiden hanya sebagai tukang stempel dan pengambil sumpah saja.

Itulah yang terjadi dalam drama komedi krisis keuangan Amerika yang kemudian memicu terjadinya krisis keuangan global saat ini. Para eksekutif perusahaan investasi itu setelah melarikan dana investasi masyarakat: menjadi Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral, menjadi penasihat ekonomi presiden, menjadi narasumber kehormatan stasiun televisi bisnis, menjadi rektor universitas terkenal, atau menjadi direktur baru perusahaan investasi yang bangkrut dan dinasionalisasi pemerintah.

Mencengangkan bukan? Hal inilah yang mendasari Mark Pittman, seorang wartawan Bloomberg News pada tanggal 20 Mei lalu mengajukan tuntutan kepada Bank Sentral untuk membuka informasi tentang alokasi dana-dana talangan yang telah dikeluarkan termasuk termin-terminnya berdasar UU Kebebasan Informasi (Freedom of Information Act).

Berdasar undang-undang Bank Sentral sudah harus memberikan jawaban pada 18 Juni 2008. Pada tanggal 19 Juni Bank Sentral meminta waktu untuk memberikan jawaban sampai tanggal 3 Juli 2008. Pada tanggal 8 Juli Bank Sentral memberi kabar bahwa jawaban sedang diproses. Pada tanggal 15 Agustus Bank Sentral memberikan informasi bahwa tuntutan Bloomberg akan ditolak secara resmi pada akhir September 2008. Namun sampai saat ini tidak ada satupun jawaban resmi yang diberikan Bank Sentral. Maka pada tanggal 7 November lalu Bloomberg mengajukan tuntutan hukum kepada dewan gubernur Bank Sentral disertai pernyataan sbb:

“Dokumen-dokumen yang kami minta merupakan dasar pemahaman atas kebijakan pemerintah terkait terjadinya krisis keuangan terbesar sejak Depresi Besar. Dampak krisis tersebut terhadap rakyat Amerika sangat besar dan akan terus berlanjut. Ratusan perusahaan menghentikan produksinya dan masalah ekonomi telah menjadi isu utama dalam pemilihan presiden baru-baru ini. Sebagai respons terhadap krisis Bank Sentral telah mendongkrak bantuan dana kepada institusi-institusi keuangan. Untuk mendapatkan informasi atas penggunaan dana masyarakat dan untuk menjaga kepentingan pembayar pajak, pemberi pinjaman (Bank Sentral) diharuskan membuat laporan post collateral yang ternyata tidak dilakukan.”

Saat ini belum ada kabar kejelasan mengenai tuntutan hukum tersebut.

Sampai dilakukannya reformasi sistem keuangan Amerika, maka rakyat pembayar pajak Amerika hanya terperangkap dalam permainan Skema Ponzi para pelaku bisnis keuangan. Di sisi lain di seluruh dunia para pengusaha dan karyawan sektor riel yang benar-benar menghasilkan barang dan jasa, para petani yang menghasilkan beras, nelayan yang menyediakan ikan serta para tukang yang membangun rumah, terus-menerus dilanda ketidakpastian masa depan.

Keterangan gambar: Charles Ponzi, seorang spekulan yang namanya menjadi dasar istilah Skema Ponzi.

No comments: