Saturday, 30 August 2008
Lagi, Ironi Amerika
"Having used this freedom-shibboleth,we shall erase that word from the lexicon; when we come into our kingdom. Freedom of the Press, of speech, of association and conscience must disappear forever . . We define freedom as the right to do that which the law allows; this serves our aim very well, for we shall make the laws!" (Protocols Learned Elders of Zion)
Anda mungkin pernah menonton film yang mengisahkan sebuah negara yang dipimpin oleh sekelompok penguasa bengis. Untuk mengawasi rakyatnya setiap saat sehingga tidak punya kesempatan untuk memberontak, mereka mencangkokkan satu alat pelacak pada tubuh semua rakyatnya. Sehabis menonton film itu mungkin Anda akan mendesah: ah hanya sebuah film.
Tunggu dulu, itu bukan hanya sebuah cerita film bohong-bohongan. Sebuah negara akan menerapkan hal yang sama dengan penguasa bengis dalam film tersebut: menanamkan chip dalam tubuh semua warga negaranya sehingga bisa dilacak keberadaan mereka setiap saat. Chip yang ditanamkan dalam tubuh tersebut disebut Radio Frequency Identity (RFID), dan undang–undang yang mendasari penanaman chip tersebut adalah “undang-undang identitas sebenarnya”, Real ID Act. Adapun negara yang menerapkan undang-undang tersebut adalah Amerika, negara yang selama ini mengklaim sebagai kampiun demokrasi.
Belum reda dari kegemparan-kegemparan yang dibuat oleh karya-karya kontroversial yang dibuat oleh Pat Robertson, Michael Moore, John Perkins, dan Collins Piper, tahun lalu dunia dikejutkan lagi dengan karya film dokumenter berjudul “America: From Freedom to Fascism” karya sutradara Aaron Russo. Film ini mengupas tuntas proses pembusukan Amerika dari sebuah bangsa demokratis menjadi negara paling fasis dalam sejarah manusia, lebih fasis dari regim-regim fasis yang terkenal dalam sejarah: Hitler-Jerman, Mussolini-Italia. Pada akhir filmnya Aaron menghimbau rakyat Amerika untuk melakukan “pemberontakan” dengan menyerukan beberapa hal berikut:
• Penghapusan sistem Bank Sentral.
• Penghapusan sistem penghitungan suara elektrik dalam pemilu, hal kontroversial yang mengantarkan kemenangan presiden Bush tahun 2000.
• Penghapusan sistem politik yang dimonopoli oleh dua partai politik: Demokrat dan Republik.
• Mengkaji kembali dasar-dasar hukum penerapan pajak penghasilan yang diterapkan.
• Mendorong sistem hukum yang independen.
• Mengembalikan cadangan emas Amerika ke tempat semula (Fort Knox) dan mengauditnya.
• Menolak undang-undang Patriot Act yang telah mengkebiri kebebasan warga dengan mengijinkan aparat keamanan menyadap semua sarana telekomunikasi milik masyarakat.
• Menolak beberapa RUU “penindas kebebasan” lainnya yang bakal disyahkan, yaitu, Real ID Act.
Baru-baru ini di Indonesia dan di sebagian besar dunia tengah beredar luas buku berjudul “Dinasti Bush, Dinasti Saud” karya Craig Unger. Buku ini patut dicurigai karena isinya melegitimasi Tragedi WTC sebagai aksi terorisme yang didalangi Osama bin Laden. (Tragedi WTC sebagai rekayasa Amerika sendiri untuk melegitimasi politik ekapansi Amerika di dunia, terutama timur tengah, sudah terlalu telanjang). Yang membuat buku ini menarik adalah karena mengupas hubungan dekat antara keluarga Presiden George Bush dengan keluarga kerajaan Arab Saudi, keluarga Saud dan menyimpulkan Amerika saat ini di bawah kendali kerajaan Saudi.
Tentunya kesimpulan itu bagaikan jauh panggangan dari api dan menyembunyikan fakta sebenarnya. Apa yang menjadi daya tekan Arab Saudi terhadap Amerika sehingga dapat “menguasai” Amerika? Saudi tidak mempunyai kelompok penekan (lobby) yang kuat di Amerika. Saudi tidak mempunyai jaringan inteligen yang kuat di Amerika. Saudi tidak memiliki jaringan media yang kuat di Amerika. Kalaupun keluarga Bush berada dalam “genggaman” keluarga Saud karena hutang jasa, itu jauh dari cukup untuk membuat Amerika “ditaklukkan”, karena bahkan keluarga Bush sendiri tidak ada apa-apanya dibandingkan orang-orang Yahudi. Dalam suatu masa, Presiden George Bush Sr, bahkan nyaris menjadi presiden lain yang dibunuh agen-agen Yahudi setelah Abraham Lincoln dan John F Kennedy.
Dalam buku The Other Side of Deception yang dirilis tahun 1994, mantan agen Mossad, Victor Ostrovsky mengungkapkan, Mossad merencanakan membunuh Presiden Bush dalam sebuah konperensi internasional di Madrid tahun 1991 karena “berkhianat” terhadap kepentingan Israel dengan menarik pasukan Amerika dari Irak usai Perang Teluk I. Modusnya dengan melepaskan tiga tiga orang “teroris” Palestina di Madrid, melepasnya di lokasi konperensi dan membunuhnya sekaligus bersama Presiden Bush. Rencana itu gagal karena Ostrovsky membocorkan rencana itu kepada rekan Presiden Bush, Senator Pete McClosky yang selanjutnya menyampaikannya ke Dinas Keamanan. Hanya karena kekuatan Yahudi di Amerika, rencana jahat itu tidak terekspos ke media massa. Tapi yang jelas Presiden Bush gagal memperpanjang kekuasaannya dan harus menyerahkan kursinya kepada Bill Clinton setelah orang-orang Yahudi menarik dukungan terhadapnya.
Anda mungkin pernah menonton film “Clear and Present Danger” yang dibintangi aktor Harrison Ford. Dalam film itu digambarkan seorang opsir dinas inteligen asing Amerika, CIA, menemukan konspirasi jahat yang melibatkan rekannya, pimpinannya hingga presidan Amerika. Pada akhirnya sang pejabat CIA berhasil membongkar kejahatan itu meskipun telah digertak oleh Presiden Amerika sekalipun. Cerita itu mirip dengan satu kasus sebenarnya yang telah terjadi di CIA dimana seorang opsirnya menemukan sebuah konspirasi jahat yang tidak saja membahayakan rakyat Amerika, namun juga masyarakat dunia. Namun berbeda dengan cerita di film, dalam kasus yang sebenarnya ini sang opsir tewas dalam kasus pembunuhan yang tidak pernah terungkap. Begini ceritanya:
Pada tahun 1970-an orang-orang Yahudi, baik di Israel maupun Amerika merasa cemas terhadap kemungkinan tercapainya perdamaian antara Amerika dan Uni Sovyet setelah 30 tahun lebih terlibat “Perang Dingin”. Dengan perdamaian itu maka dipastikan perlindungan Amerika kepada Israel sebagai “sekutu terpercaya penangkal komunisme di Timur Tengah” akan menurun sehingga pada akhirnya keamanannya terancam oleh negara-negara Arab yang memusuhinya. Untuk itu lobby Yahudi merasa perlu merubah konstelasi politik dunia sehingga “Perang Dingin” tetap terus berlanjut dengan intensitas yang tinggi. Namun hal itu mendapatkan kendala dari CIA sebagai penyuplai resmi data inteligen Uni Sovyet ke dalam negeri Amerika sebagai bahan perumusan kebijakan luar negeri Amerika. Ini tidak lain karena CIA, berdasarkan analisisnya, menganggap Uni Sovyet tidak dalam posisi siap untuk melakukan konfrontasi dengan Amerika di belahan dunia manapun.
Langkah awal untuk “menyingkirkan” CIA dilakukan tahun 1974 melalui pernyataan Prof. Albert Wohlstetter, seorang ilmuwan University of Chicago yang dikenal sebagai arsitek strategi nuklir Amerika sekaligus pendukung kuat Israel, yang isinya mengecam analisa inteligen CIA yang meremehkan kemampuan Sovyet. Berdasarkan pernyataan Wohlstetter itulah orang-orang Yahudi, baik yang ada di birokrasi pemerintah maupun di Kongres yang dimotori oleh Senator Henry M Jackson dan Richard Perle, menuntut penyidikan atas hasil analisa CIA tersebut. Atas desakan tersebut Presiden Ford pada tahun 1976 membentuk komisi independen yang bertugas mengevaluasi analisa yang dibuat oleh seksi internal CIA, National Intelligence Officers atau disebut “Tim A”. Adapun komisi independen tersebut disebut sebagai “Tim B”. Tim baru tersebut dipimpin oleh Yahudi kelahiran Rusia dan profesor di Harvard, Richard Pipes. Anggota lainnya termasuk Paul Wolfowitz. Untuk menjembatani “Tim A” dan “Tim B”, George Bush Sr yang saat itu Direktur CIA, menunjuk John Paisley.
Pada tahun 1978 “Tim B” menyelesaikan laporan evaluasi dengan kesimpulan yang bertolak belakang dengan kesimpulan “Tim A”, yaitu: Uni Sovyet, karena alasan ancaman krisis bahan bakar, merencanakan invasi atas Iran atau negara-negara teluk lainnya yang saat itu menjadi sekutu Amerika.
Meski laporan tersebut rahasia, tapi Paisley berhasil mendapatkan kopinya. Selanjutnya ia bermaksud membuat laporan tandingan yang isinya mengkonter analisa “Tim B”. Namun sebelum ia menyelesaikan laporannya, ia ditemukan tewas terbunuh. Menurut keterangan Richard Clement, mantan pimpinan Inter-agency Committee on Counter Terorism (Komite Antar-Lembaga untuk Kontra Terorisme) pada masa Presiden Reagan, sebagaimana dimuat di majalah The Spotlight, kalangan inteligen sebenarnya mengetahui Paisley dibunuh oleh dinas inteligen Israel, Mossad. Namun karena pengaruh Yahudi, tidak seorangpun, termasuk anggota Kongres, berani membuka suara.
Setelah pembunuhan Paisley, “Tim B” semakin berkuasa menentukan arah kebijakan politik luar negera Amerika. Menurut John Ehrman dalam sebuah laporan ilmiahnya: The Rise of Neoconservatism: Intellectual and Foreign Affairs, “Tim B” berhasil membentuk Committee of Present Danger sebagai kepanjangan tangan mereka. Komisi ini pada dasarnya hanya mewakili kepentingan lobby Yahudi, industrialis militer dan birokrat neo-konservatif pendukung Israel. Para anggota “Komisi B” sangat aktif mendukung Ronald Reagan pada masa kampanya. Dan setelah Presiden Reagan meraih kursi presiden, “Tim B” secara resmi menjadi “Tim A”.
Penulis masih ingat, pada tahun 1980-an pernah terbit buku yang cukup menggemparkan masyarakat barat. Buku itu berjudul “Inside the Sovyet Army” karangan seorang mantan perwira KGB yang membelot ke Inggris. Penulis beruntung mendapatkan buku tersebut di toko buku bekas di Yogya saat masih kuliah. Buku itu sangat menghebohkan saat dirilis karena menyatakan pasukan Uni Sovyet tengah bersiap untuk melalukan invasi ke Eropa Barat. Sebagai gambaran kesiapan tersebut disebutkan beberapa unit pasukan tank Sovyet tidak pernah menghentikan mesinnya untuk menjaga kondisi tetap hangat sehingga setiap saat dapat digerakkan untuk melakukan penyerangan. Buku itu juga melebih-lebihkan kekuatan militer Sovyet. Selain jumlahnya yang di luar perkiraan inteligen barat, salah satunya mengungkapkan bahwa tiap tentara Uni Sovyet memiliki kemampuan fisik dan mental yang jauh di atas kemampuan tentara barat dimana mereka mampu bertempur berhari-hari tanpa suplai makanan dan minuman. Kini penulis tahu buku tersebut sebagai salah satu bagian dari skenario menipu masyarakat barat terutama Amerika, agar terus mengucurkan dananya untuk Israel.
Kini kita tahu bagaimana Yahudi telah menguasai Amerika. Ingin bukti lebih kuat lagi? Faktanya adalah tidak ada satu Presiden Amerika pun yang berani disumpah di bawah kitab Injil Perjanjian Baru kecuali kitab Perjanjian Lama. Mengapa? Karena orang-orang Yahudi tidak mengakui Perjanjian Baru.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment