Sunday, 3 August 2008
ISLAM & SEJARAHNYA
Prof. Syafi’i Ma’arief, tokoh Islam liberal mantan pimpinan Muhamaddiyah dalam kolomnya di majalah Gatra edisi awal Agustus 2008 lalu menulis topik yang sangat menarik, yaitu hitamnya sejarah Islam. Menurutnya selama ini ummat Islam tidak banyak banyak mengetahui sejarah Islam yang penuh dengan hal-hal negatif. Kalaupun ada sebagian orang Islam mengetahui, mereka cenderung menyembunyikan fakta-fakta sejarah tersebut karena tidak dapat menerima kontradiksi yang sangat besar dengan keyakinan umat Islam yang telah berakar kuat selama belasan abad. Sebagian bahkan takut dicap kafir untuk mengungkapkan fakta-fakta sejarah sebenarnya, misalkan dengan menulis buku atau menyatakan pendapatnya secara terbuka tentang fakta-fakta sejarah yang kontroversial tersebut.
Di akhir tulisannya Prof. Syafi’i dengan sinis menantang para pengusung bendera khilafah (mungkin maksudnya orang-orang Hizbut Tahrir dan orang-orang yang memperjuangkan tegaknya khilafah Islam) untuk membaca sejarah Islam dengan baik. Tampaknya Prof. Syafi’i yakin setelah membaca sejarah itu, para pengusung bendera khilafah itu akan berubah pikirannya untuk tidak mempercayai kekhilafahan Islam karena dalam sejarahnya penuh dengan noda hitam dan bercak darah.
Hanya sayangnya, sebagai seorang tokoh Islam, Syafi’i nyaris tidak menyisakan kebaikan dalam sejarah kekhilafahan umat Islam yang telah berlangsung selama 15 abad. Tidak saja ummat Islam sunni, ummat Islam syiah pun, menurut pandangan Syafi’i dilingkupi dengan sejarah yang kelam. Misalnya ia menuduh cucu Rosulullah yang merupakan salah satu Imam kaum Syiah, Hasan bin Ali, menerima imbalan materi (disebutkan imbalan tertentu) setelah berdamai dengan Mu’awiyah yang merupakan musuh bebuyutan ayahnya, Ali bin Abi Thalib. Sedangkan tuduhan negatif yang terkait dengan keyakinan kaum sunni adalah pendapatnya bahwa seluruh khalifah Islam jaman dahulu, kecuali sedikit di antaranya, adalah orang-orang yang dzalim dan tamak.
Aku sependapat dengan Prof. Syafi’i kecuali pendapat tentang Hasan bin Ali yang akan akan aku bahas kemudian. Sejarah Islam setelah wafatnya Rosul memang penuh dengan noda hitam dan bercak darah pembunuhan, pemberontakan, pengkhianatan. Tidak perlu membaca buku-buku sejarah buatan orang-orang orientalis atau orang-orang Syiah yang dianggap kafir. Buku-buku sejarah klasik dan modern Islam sendiri seperti karangan Ibnu Ishak, Ibnu Katsir, dan Haikal mencatat noda-noda hitam itu.
Bagaimana dengan tulisan Ibnu Katsir tentang peristiwa Hurrah, yaitu peristiwa penyerbuan tentara Jazid bin Mu’awiyah, anak Mu’awiyah dan cucu Abu Sufyan, terhadap Kota Madinah akibat pemberontakan penduduk Kota Nabi yang sebagian diantaranya adalah para sahabat utama dan para tabi’ini? Tentara Jazid, yang sebagian di antaranya juga adalah sahabat dan tabi’in, merampok, membunuhi penduduk Kota Nabi dan memperkosa para wanitanya dengan keji hingga satu tahun setelah itu di Kota Nabi terdapat sekitar 1.000 anak kecil yang lahir tanpa jelas siapa ayahnya?
Lalu siapa yang bisa membantah peristiwa perusakan Ka’bah oleh Jazid, putra Mu’awiyah yang oleh sebagian ummat Islam dipuji-puji setinggi langit (tanpa dasar) sebagai sahabat utama dan seorang penulis wahyu Rosul?
Aku tidak akan menyinggung peristiwa Karbala dan penindasan yang dilakukan para khalifah terhadap keluarga Rosulullah, yang kebenarannya diketahui oleh semua orang Islam. Atau penindasan yang dilakukan para khalifah terhadap para ulama hingga dari empat Imam atau ulama besar Islam: Hanafi, Syafi’i, Maliki, dan Hambali, tiga diantaranya meninggal dibunuh oleh para khalifah dan satu sisanya nyaris meninggal karena disiksa. Tapi bagaimana dengan kelakuan Khalid bin Walid? Seorang sahabat utama Rosul yang lain? Dua kali ia membunuh orang muslim dan memperkosa jandanya hingga membuat Umar bin Khatab marah dan menyebutnya “musuh Allah” dan Abu Bakar terpaksa membayar diyat? Detil ceritanya disebutkan oleh semua buku sejarah Islam klasik, tapi Khalid tetap dipuji-puji sebagai seorang sahabat yang adil.
Aku cukupkan di sini saja karena aku takut dianggap Syiah dan dihalalkan darahku untuk dibunuh meski aku bukan orang Syi’ah karena tidak memahami keyakinan Imam ke 12 yang ghoib serta menganggap ritual penyiksaan diri mereka adalah bi’dah warisan budaya penyembah berhala.
Mengenai Hasan bin Ali cukup aku ingatkan bahwa ia adalah ahlul bait yang oleh Allah telah disucikan sesuci-sucinya (QS: Al Ahzab 33). Kebijakannya berdamai dengan Mu’awiyah adalah demi kepentingan ummat, tanpa reserve apapun setelah menyadari Mu’awiyah yang lebih lihai berpolitik, termasuk dengan ancaman dan bujukan, mampu menarik dukungan lebih banyak ummat. Reserve yang Hasan minta hanyalah agar Mu’awiyah dan keluarganya menghentikan kebiasaan menghujat keluarga Rosul di depan mimbar yang terbukti kemudian terus dilanggar Muawiyah dan penerusnya. Kebijakan damai tersebut sama seperti kebijakan ayahnya, Ali bin Abi Thalib, yang membiarkan Abu Bakar, Umar dan Usman menduduki jabatan khalifah, meski secara batin merasa lebih berhak. Saat Abu Bakar dibai’at, Ali sebenarnya mempunyai kekuatan untuk merebutnya karena dukungan Bani Hasyim, Bani Umayah (keluarga Abu Sufyan) dan kaum Anshar keluarga Sa’ad bin Ubadah (Sa’ad, seorang sahabat utama pemuka kaum Anshar, meninggal di pengasingan tanpa pernah membai’at Abu Bakar). Hanya karena memenuhi amanat Rosul untuk tidak menumpahkan darah sesama muslim, Ali rela menahan diri.
Bagi yang tidak percaya dengan fakta ini dapat melihat Shahih Bukhari (kitab yang derajat validitasnya dianggap paling tinggi setelah Al Qur’an) bab bai’at Ali terhadap Abu Bakar. Saat itu, sekitar enam bulan sejak Abu Bakar memegang jabatan khalifah, Ali mendatangi Abu Bakar untuk membai’atnya. Namun dalam pembicaraan antar keduanya ia masih berusaha mengingatkan Abu Bakar tentang haknya atas jabatan khalifah.
“Kamu mengetahui bahwa kami lebih berhak atas urusan itu (jabatan khalifah),” kata Ali kepada Abu Bakar. Abu Bakar menjawab bahwa ia tidak merebut jabatan khalifah dari Ali, namun ia hanya menerima amanah umat yang telah membai’at-nya.
Mengenai keadilan semua sahabat Rosul sebenarnya tidak memiliki nash yang kuat. Nash yang ada justru mendelegitimasi keyakinan itu. Saya sebutkan beberapa di antaranya:
“Dan di antara orang-orang di sekelilingmu itu (penduduk kota dan orang-orang badui) terdapat orang-orang yang keterlaluan dalam kemunafikan. Engkau (Muhammad) tidak mengetahui mereka. Kamilah yang mengetahui mereka.” (QS. At Taubah: 101)
Rosul juga bakal terkejut di akhirat kelak menjumpai di antara penghuni neraka adalah para sahabat dekatnya. Sama seperti Nabi Isa (tertulis dalam kitab Injil), Rosul akan berkata kepada Allah di akhirat: “Aku menjadi saksi atas mereka selama aku berada di tengah-tengah mereka. Kemudian setelah Engkau wafatkan aku, Engkaulah yang mengawasi mereka” (QS. Al Maidah: 117). (Tafsir seperti ini terdapat dalam Shahih Bukhari).
Kebanyakan orang takut mengakui hitamnya sejarah Islam karena seolah-olah menganggap Rosul gagal menjalankan misinya. Padahal tidak ada hubungan yang mutlak antara tugas Rosul dengan keimanan umatnya, sama seperti halnya tugas nabi-nabi sebelumnya dengan keimanan ummatnya. Bukankah tugas Rosul hanya menyampaikan? Dan bukankah hampir semua Rosul terdahulu di”khianati” umatnya? Sebagian di antaranya bahkan dibunuh oleh umatnya?
Meski sejarah hitam melingkupi umat Islam sepeninggalnya, Rosul tetap berhasil dalam misinya. Karena Rosul-lah maka ajaran tauhid yang telah punah kembali hidup di muka bumi hingga sekarang, setelah umat-umat sebelumnya (Yahudi dan Nasrani) gagal menjaganya. Terlepas dari kehidupan mereka yang kelam karena pertikaian, umat Islam sepeninggal Rosul adalah orang-orang yang menyembah Allah yang Esa, bukan lagi berhala.
Mengenai hal itu Rosul pernah berkata: “Aku tidak khawatir kalian akan kafir sepeninggalku. Aku hanya khawatir kalian akan bertikai memperebutkan dunia.” (Shahih Bukhori).
Aku punya tetangga yang sekitar setahun terakhir ini aktif dalam kegiatan-kegiatan komunitas yang menamakan diri kaum salafi. Sejak itu tetanggaku itu nampak aneh di mataku. Pertama ia mengharamkan musik hingga di rumahnya kini tidak lagi ada TV ataupun perlengkapan audio-visual lainnya. Selanjutnya ia menolak undangan tetangga mengikuti untuk kenduri. Dan yang terakhir ia melarang anaknya yang sekolah di SD Muhamaddiyah untuk mengikuti pelajaran tarikh atau sejarah Islam.
Aku tidak tahu alasan mengapa larangan mengikuti pelajaran sejarah itu dilakukan. Tapi aku yakin karena takut, atau ditakut-takuti, untuk mengakui hitamnya sejarah Islam.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
2 comments:
pencerahan yg bagus, terima kasih
Post a Comment