Tuesday 12 August 2008

TANDA-TANDA KERUNTUHAN AMERIKA


Pada tanggal 17 Desember 2007 David M. Walker, Kepala Kantor Akuntabilitas Pemerintah (Semacam BPKP di Indonesia. Bekerja untuk lembaga legislatif, pen.) mengeluarkan laporan di hadapan badan legislatif Amerika, Congress. Dalam laporan itu ia mengatakan bahwa “pemerintah tidak dapat melakukan kontrol efektif dan sesuai standar hukum atas laporan keuangannya”. Dengan kata lain laporan keuangan pemerintah tidak lolos audit.

Selain itu Walker juga melaporkan bahwa total kewajiban pemerintah yang harus ditanggung per- 30 September 2007 mencapai 53 triliun dolar (hutang yang merupakan sebagian dari kewajiban pemerintah mencapai 9 triliun, pen.). Atau kalau dirupiahkan mencapai sekitar Rp 500.000 triliun. Jumlah yang tidak pernah dibayangkan siapapun.
Tidak lama kemudian Walker pun mengundurkan diri dari jabatannya. Mungkin karena kecewa dengan kinerja keuangan pemerintah, atau karena shock melihat jumlah hutang pemerintah yang “maha besar” itu.

Dan ironi hutang pemerintah itu terus berlangsung. Pemerintah Amerika dalam anggaran belanjanya tahun ini menganggarkan defisit sebesar 410 miliar dolar. Di antara belanja pemerintah yang besar adalah membayar bunga hutang sebesar 200 miliar dolar (hanya sebagian dari jumlah bunga yang harus dibayar, sehingga dengan sistem bunga berganda kewajiban semakin menumpuk dari tahun ke tahun, pen) dan biaya perang Irak-Afghanistan sebesar 840 miliar dolar.

Defisit belanja pemerintah itu darimana dipenuhi kalau tidak dengan hutang. Beberapa tahun terakhir, dengan jumlah defisit yang samakin besar dari tahun ke tahun, pemerintah mengatasinya dengan menjual obligasi. Selain para kapitalis besar, obligasi itu ironisnya dijual kepada pemerintah Cina atau pemerintah negara lain yang dimusuhi Amerika.

Sebagian pengamat menganggap jumlah defisit belanja pemerintah sebenarnya jauh lebih besar lagi kalau memperhitungkan biaya sesungguhnya operasi intelejen Amerika di seluruh dunia. Mereka memperhitungkan sebagian besar biaya tersebut dibiayai melalui praktek ilegal seperti perdagangan senjata gelap dan obat bius. Skandal Iran Contra pada jaman pemerintahan Reagan misalnya, telah membuka borok praktik ilegal semacam itu. Sebagian pengamat intelejen memperkirakan nilai perdagangan obat bius yang dikelola CIA untuk membiayai operasinya di luar negeri mencapai 800 miliar dolar.
Selain itu asumsi pertumbuhan ekonomi 2,7% yang digunakan pemerintah jelas jauh dari harapan akibat krisis ekonomi yang melanda terkait krisis kredit perumahan yang melanda Amerika. Akibatnya secara riel defisit belanja pemerintah sebenarnya jauh lebih besar dari 410 miliar dolar.

Masalahnya adalah sampai kapan negara-negara luar mau membantu Amerika? Tidak ada makan siang gratis, demikian istilah di dunia bisnis. Inggris harus menyerahkan hegemoni ekonomi dan politiknya kepada Amerika karena kesulitan keuangan menghadapi Perang Dunia I dan II. Sangat boleh jadi Amerika pun terpaksa harus menyerahkan hegemoninya kepada Cina, Jepang atau Uni Eropa tidak lama lagi.

Masalah keuangan Amerika tidak saja berasal dari defisit APBNnya, tapi juga dari melorotnya nilai tukar dolar. Saat ini nilai tukar dolar terhadap franc Swiss adalah 1:1. Padahal pada tahun 1970 1 dolar seharga 4,2 franc Swiss. Pada tahun 1970 1 dolar adalah seharga 360 yen Jepang. Saat ini 1 dolar hanya seharga 100 yen.
Indikator ekonomi Amerika semakin runyam lagi bila ditambahkan lagi dengan defisit neraca perdagangan yang semakin besar dari tahun ke tahun. Tahun lalu saja diperkirakan defisit perdagangan Amerika mencapai 700 miliar dolar. Laporan dari Manufacturing and Technology News baru-baru ini menyebutkan pada tahun 2007 nilai total impor nasional mencapai 14% dari GDP sementara produksi industri manufaktur nasional (sebagian saja yang diekspor) hanya mencapai 12% dari GDP.

Melorotnya nilai dolar, ditambah sistem keuangan yang kacau dan defisit APBN serta defisit neraca perdagangan yang semakin meningkat dari tahun ke tahun tentu menjadi pertimbangan negatif bagi negara-negara donor (Amerika sudah menjadi negara pengutang alias negara dunia ketiga, pen). Para pendonor tentu juga memperhitungkan, keuangan Amerika tidak selamanya dapat mempertahankan diri selamanya.

Ironisnya kekhawatiran itu tidak nampak di mata para kandidat presiden mendatang. Kandidat dari Partai Republik McCain bahkan sesumbar akan mempertahankan pasukan Amerika di Irak hingga 100 tahun lagi. Padahal baru lima tahun saja berperang di Irak, Amerika sudah menghabiskan biaya 3 tiliun dolar. Dana dari mana lagi?
Ilmuan kritis, Noam Chomsky, pernah menulis bahwa rakyat Amerika (kecuali sebagian kecil yang kritis) mengira mereka menguasai dunia. Kenyataannya adalah sebaliknya, dunia menguasai Amerika. Sang Superpower bahkan tidak mampu lagi membiayai hidupnya sehari-hari.

Keadaan semakin runyam saja jika mempertimbangkan indikator-indikator sosial. Baru-baru ini otoritas energi negara bagian California melakukan aksi pemadaman listrik selama beberapa jam. Menyusul pemadaman listrik besar-besaran selama beberapa hari di sebagian negara bagian Amerika tahun 2005 lalu, aksi tersebut menandai dimulainya krisis energi Amerika. Jutaan imigran gelap dari negara dunia ketiga terutama Meksiko juga menjadi persoalan yang sangat serius dan menjadi isu panas dan mengancam perpecahan kalangan pembuat kebijakan tertinggi.
Bencana Katrina yang melanda kota New Orleans dan merengut korban ribuan orang serta penanganan paska-bencana yang amburadul juga menunjukkan kemampuan pemerintah yang lemah dalam menangani masalah-masalah sosial warganya.

Amerika juga terancam perpecahan etnis. Sebagian kalangan kulit putih yang merupakan etnis mayoritas, merasa keberadaannya terancam oleh etnis Yahudi, kulit hitam dan kulit berwarna. Di beberapa kota besar, orang-orang kulit putih tersingkir dari pusat-pusat kota dan pindah ke pinggiran kota. Dan terutama terhadap etnis Yahudi, sebagian kalangan kulit putih merasa terancam karena etnis minoritas itu telah menguasai seluruh sendi kehidupan masyarakat Amerika.

Suatu saat, ketika nilai dolar demikian rendah, orang akan meninggalkannya. Saat itu pula Amerika tidak akan mendapat kepercayaan lagi untuk memperoleh pinjaman dari negara lain, bahkan untuk sekedar menutupi hutangnya. Ditambah banyaknya pengurangan tenaga kerja dan tutupnya perusahaan akibat resesi, saat itu mungkin saja negara Amerika sudah terpecah-pecah menjadi beberapa negara kecil, atau bahkan tinggal kenangan sejarah. Dan pasukan Amerika, atau diplomat Amerika yang merajalela di Irak, Afghanistan, Kosovo, Indonesia dan di seluruh penjuru dunia lainnya, tinggal segerombolan orang yang terlantar di negeri orang.

No comments: