Indonesian Free Press -- Kerajaan Saudi seperti yang ada saat ini sebenarnya terbagi dalam dua periode yang masing-masing berjarak sekitar satu abad. Yang sayangnya tanpa banyak diketahui umat muslim, kerajaan Saudi pernah eksis di semenanjung Arabia pada akhir abad 18 dan awal abad 19.
Kisahnya diawali dengan Muhammad bin Abdul Wahhab (1703-1791), pendiri ajaran Wahabisme, yang mengembara di padang pasir mencari perlindungan setelah diusir dari kampung halamannya sendiri karena mengajarkan ajaran yang dianggap sesat. Pengembaraan itu berakhir pada tahun 1741 ketika ia diterima oleh sebuah suku badui Arab yang dipimpin oleh Ibnu Saud, yang terkesan dengan ajaran Wahhabi. Tidak hanya itu, Ibnu Saud yang cerdik melihat peluang untuk menjadi penguasa Arab dengan menggunakan ajaran baru itu, setelah sebelumnya hanya menjadi kepala suku badui yang tidak jelas asal usulnya.
Dan benar perkiraan Ibnu Saud, 'agama baru' yang diajarkan Abdul Wahhab itu diterima oleh orang-orang awwam yang tidak banyak mengerti tentang Islam namun gampang diindoktrinasi dengan kepercayaan-kepercayaan baru. Dengan pengikut wahabi itu, Ibnu Saud pun mulai mewujudkan ambisinya. Ia menyerang suku-suku badui sekitar dengan dalih 'jihad' dan menegakkan agama, dan memaksa semua orang untuk menjadi pengikut ajaran wahabi. Mereka yang menolak dicap sesat dan dihukum mati dan harta bendanya disita.
Pada tahun 1790 kelompok ini telah berhasil menguasai sebagian besar wilayah Semenanjung Arabia dan berulangkali menyerang Madinah, Makkah, Suriah dan Irak.Di tahun 1801 kelompok ini menyerang kota suci kaum Syiah di Karbala Irak. Setelah berhasil menduduki kota ini, mereka membantai ribuan penduduknya, termasuk wanita dan anak-anak. Bangunan-bangunan suci kaum Syiah pun dihancurkan, termasuk makam Imam Hussein cucu Nabi Muhammad.
Seorang perwira Inggris Letnan Francis Warden yang menyaksikan penyerbuan itu menulis: "Mereka menghancurkan semuanya di Karbala, termasuk makam Hussein... Melakukan pembantaian sepanjang hari dengan sangat keji atas lebih dari 5.000 penduduk kota..."
Sedangkan Osman Ibn Bishr Najdi, sejarahwan Arab pendukung regim wahabi Saudi dalam bukunya berjudul "Gelar Kejayaan Sejarah Najd” menulis dengan bangga: "Kami menduduki Karbala dan membantai dan menjadikan penduduknya sebagai budak, kemudian memuji Allah Penguasa Dunia, dan kami tidak akan meminta ma'af untuk itu. Kepada orang-orang kafir kami katakan, perlakuan serupa untuk mereka."
Tidak salah jika sejarahwan Mesir Ahmad Subhy Mansour, menyebut Wahhabisme sebagai "idiologi paling kejam yang dihasilkan oleh Semenanung Arab, yang ditujukan kepada kaum Muslim non-wahhabi dan non Muslim".
Pada tahun 1803 Abdul Aziz, pengganti Ibnu Saud, menduduki kota Mekkah yang menyerah dengan seluruh warganya dilanda ketakutan dan kepanikan, sebagaimana juga penduduk kota Madinah. Selain membantai warga yang tidak mau mengikuti ajaran Wahhabi, termasuk para ulama, pengikut Abdul Wahhab juga menghancurkan semua bangunan dan makam bersejarah di Makkah dan Madinah.
Pada bulan November 1803, seorang Shiah yang dendam dengan perlakukan orang-orang Wahabi di Karbala, membunuh Raja Abdul Aziz sehingga ia digantikan oleh anaknya, Saud bin Abd al Aziz, yang melanjutkan penaklukan-penaklukan di Semenanjung Arabia.
Pada tahun 1812 Khilafah Usmani Turki yang sebelumnya menguasai Jazirah Arab akhirnya mengirim pasukan yang sebagian besar berasal dari Mesir, untuk menumpas gerakan Wahabi. Pada tahun 1814 Saud bin Abd al Aziz meninggal karena demam tinggi. Namun penggantinya, Abdullah bin Saud, tidak bisa menyelamatkan diri dari kemarahan penguasa Turki atas apa yang telah dilakukannya. Ia dibawa ke Istanbul dan disiksa serta dipermalukan di depan umum selama 3 hari. Kemudian ia digantung dan kepalanya dipenggal. Tidak hanya itu saja, jantungnya dikeluarkan dari tubuhnya, dan kepalanya ditembakkan sebagai peluru meriam.
Pada tahun 1815 seluruh kekuatan Wahhabi berhasil dihancurkan oleh pasukan Usmani yang dipimpin Muhammad Ali, dan pada tahun 1818 ibukota negara wahabi, Dariyah, dihancurkan. Sisa-sisa pengikut wahhabi menyingkir ke pedalaman dan mengorganisir kekuatan di bawah tanah.
Pada akhir abad 19 dan awal abad 20, Khilafah Usmani Turki telah melemah. Pengikut-pengikut Wahhabi pun kembali muncul ke permukaan dengan dukungan kolonialis Inggris yang mengirimkan Lawrence of Arabia, seorang agen inteligen yang licik, untuk mengorganisir kembali kelompok Wahhabi dan menumbangkan Khilafah Usmani.
Tidak ada orang Islam yang membantai sesama muslim, kecuali mereka adalah musuh-musuh Islam. Dan hal ini mengkonfirmasi tuduhan berbagai pihak bahwa pendiri gerakan wahabi adalah orang-orang yahudi.(ca)
Ref: The roots of terrorism in Saudi Wahabi doctrine and the Muslim Brotherhood, DR. Ahmed Mansour, ahl-alquran.com, 2007
1 comment:
Salam kenal...
Usai membaca artikel diatas silahkan berlanjut ke sini;
"1. Rakyat Saudi yang tetap dibina dalam pemahaman ortodoks, berpeluang kontradiksi dengan kebijakan modernisasi kerajaan. Ini tentu menimbulkan bara api dalam sekam yang mudah meletup.
2. Untuk meminimalisir resiko, dilakukan pengawasan ketat terhadap warga negara dan cenderung represif, terutama pada kelompok yang anti-kerajaan
3. Latar belakang yang suram membuat warga negara hidup dalam ketakutan.
4. Amerika Serikat, penyanjung demokrasi dan HAM. Bak mati kutu di depan Saudi karena kerajaan ini masih loyal memberikan minyaknya."
http://genghiskhun.com/resensi-buku-kudeta-mekkah-sejarah-yang-tak-terkuak
Post a Comment