Sunday 15 May 2011
PARADOKS EKONOMI LIBERAL AMERIKA
Apa yang akan Anda lakukan jika Anda mendapatkan kredit tanpa bunga senilai Rp 1 triliun? Tidak perlu repot-repot, Anda cukup mendepositokan uang itu dan Anda akan mendapat untung, katakanlah 8% darinya, atau sekitar Rp 80 miliar, setahun. Setelah beberapa tahun, dengan tanpa bekerja, kekayaan Anda sudah cukup untuk menghidupi Anda dan keturunan Anda beberapa generasi.
Lalu bagaimana jika Anda mendapatkan kredit tanpa bunga sebesar Rp 20.000 triliun? Silahkan hitung sendiri keuntungan Anda dan pikirkan apa yang Anda bisa dapatkan dengan keuntungan itu.
Dan "kredit" nyaris tanpa bunga senilai Rp 20.000 triliun itu-lah yang didapatkan oleh bank raksasa Amerika, Citigroup --- perusahaan induk dari Citibank yang baru saja membunuh seorang nasabah dan menipu beberapa nasabah lainnya di Indonesia dan menolak meminta ma'af, dari bank sentral Amerika paska krisis keuangan tahun 2008 lalu. Keuntungan dari kredit tanpa bunga itu kemudian dibagi-bagikan kepada pemilik saham, eksekutif dan karyawan, dengan nilai yang sangat fantastis tentu saja. Sementara di sisi lain jutaan warga Amerika kehilangan pekerjaan dan harta benda mereka karena krisis keuangan tersebut. Sebagian dari mereka, kalangan kelas menengah yang baru saja kehilangan pekerjaan dan harga bendanya itu kini tinggal di perkampugan-perkampungan tenda di pinggir-pinggir kota di seluruh Amerika.
Itulah sekelumit dari drama kehidupan yang mewarnai rakyat Amerika akhir-akhir ini, akibat pemerintahan yang telah berubah menjadi ZOG (zionist occupied goverment). "What a f--k way of life in America". Dan dalam skala yang lebih kecil Indonesia pun mengalami paradoks kehidupan seperti itu, dalam kasus Bank Century, kasus BLBI dll, dan saya jamin akan terus berulang.
Para anggota parlemen Amerika kini terbengong-bengong dengan "paradoks ekonomi liberal" yang terjadi di Amerika, paska dibolehkannya Congress mendapatkan data-data transaksi yang dilakukan Bank Sentral setelah hampir satu abad menjadi bagian misteri bank sentral.
Dana "bailout" triliunan dolar yang dikeluarkan bank sentral pada saat krisis keuangan global tahun 2008 lalu ternyata mengalir tak terkendali. Alih-alih menyehatkan perekonomian Amerika, sebagian dari dana tersebut mengalir ke bank-bank di Mexico, Bahrain, Jerman, Pulau Cayman, dan perusahaan mobil Jepang, dan tentu saja ke kantong para pemilik dan eksekutif perbankan dan jasa keuangan.
Citigroup sebagaimana telah disebut, dan Morgan Stanley mendapat lebih dari $2 triliun, Goldman Sach sebesar $800 miliar, dan bank-bank serta perusahaan Amerika lainnya dengan jumlah bervariasi. Semua dana "bailout" itu memang dikeluarkan oleh bank sentral, tapi harus dikembaliken oleh pemerintah dengan tambahan bunga. Pemerintah sendiri selanjutnya membebankannya kepada seluruh rakyat Amerika melalui pajak.
Banjir uang tersebut tentu saja menjadi rejeki nomplok para bankir Amerika. Ratusan juta hingga miliaran dolar pun masuk ke kantong pribadi para bankir tersebut, berupa pembagian keuntungan maupun bonus. Sekali lagi ratusan hingga miliaran dolar masuk ke kantong pribadi. Silakan dikalikan sekitar 9.000 untuk mendapatkan nilainya dalam rupiahnya. Namun itu semua tidak cukup. Keluarga para bankir tersebut pun mendapat bagian dari "bailout" yang dikeluarkan bank sentral dan pemerintah.
Adalah Waterfall, sebuah perusahaan tidak terlalu besar yang mendapat talangan alias "bailout" senilai $220 juta. Sangat kecil dibandingkan yang diperoleh Morgan Stanley meski tetap saja sangat besar nilainya, sekitar Rp 2 triliun lebih. Tapi tunggu dulu, perusahaan itu dimiliki oleh Christy Mack dan Susan Karches.
Christy adalah istri dari John Mack, presdir Morgan Stanley. Sedangkan Susan adalah mantan istri dari Peter Karches, sahabat karib Macks yang juga menjadi eksekutif puncak Morgan Stanley. Kedua wanita itu tidak memiliki track record sebagai pengusaha yang serius kecuali aktif di beberapa yayasan.
Nama teknis program talangan yang diterima Waterfall adalah TALF, Term Asset-Backed Securities Loan Facility. Namun definisi sebenarnya adalah: “giving already stinking rich people gobs of money for no fucking reason at all” alias "menyiramkan uang kepada orang-orang kaya dari pajak yang dibayarkan rakyat miskin".
Ada satu cerita menarik saat gubernur bank sentral Amerika Ben "Shalom" Bernanke menjawab pertanyaan anggota Congress dalam suatu acara dengar pendapat tentang program "bailout". Saat itu belum ada UU yang mengharuskan bank sentral membuka informasi kepada Congress. Saat ditanya debitur mana saja yang telah menerima "bailout" yang baru dikeluarkan bank sentral sebesar $500 miliar. Bernanke menjawab "lupa".
"God damned! $500 miliar dan Anda tidak tahu siapa saja yang menerima dana itu!"
Setelah terus didesak, Bernanke berkukuh menyembunyikan nama perusahaan penerima "bailout" dengan alasan "dampak sistemik" --- sebagaimana Sri Mulyani saat membela diri soal "bailout" Bank Century beberapa waktu lalu. Tentu saja Bernanke, sebagaimana Sri Mulyani, berbohong.
Pada Agustus 2009 John Mack melakukan langkah mengejutkan saat menjadi CEO Morgan Stanley. Meski ia bergaji relatif kecil menurut ukuran seorang CEO bank raksasa, yaitu "hanya" $800,000 atau sekitar Rp 7,5 triliun setahun, Mack membeli properti super mewah seharga $13,5 juta atau sekitar Rp 130 miliar. Properti itu berupa rumah mewah berumur 107 tahun di Upper East Side, New York, yang dilengkapi dengan garasi berkapasitas 12 mobil. Pembelian itu dilakukan saat Amerika dilanda krisis keuangan.
John dan Christy Mack adalah pasangan menarik. John, seorang keturunan Lebanon, berwajah dan bertubuh jelek. Ia dijuluki “Mack sang Pisau” karena kegemarannya memecat pegawainya. Christy Mack bertubuh kurus. Tanpa pengalaman menjadi seorang pengusaha, ia aktif di dunia pengobatan alternatif dan menjadi seorang master Reiki, pengobatan alternatif Jepang. Yang menarik lainnya dari Christy adalah bahwa saudara perempuannya menikah dengan Charlie Rose, seorang "penjahat keuangan" Amerika yang cukup terkenal.
Adalah menarik, mengapa pemerintah dan Bank Sentral Amerika mau mengalirkan dana tak ternilai kepada pasangan itu.
Hanya 2 bulan sebelum Mack membeli property mewah di New York tersebut di atas, sang istri bersama rekannya Susan, mengajukan permohonan dana talangan untuk perusahaan Waterfall. Dengan mudah bank sentral menggelontorkan $220 juta kepada mereka yang sebagian besar di antaranya digunakan untuk membeli beberapa produk "loans" dan "mortgage". "Loans" tersebut di-setting sedemikian rupa sehingga Christy dan Susan dijamin mendapatkan 100% keuntungan yang diperolah dan hanya menanggung 10% kerugian jika terjadi, 90% sisanya ditanggung pemerintah.
Kita melihat praktik-praktik kejahatan kecil dan raksasa dalam "bailout" di atas, dari Waterfall sekelas $220 juta hingga Citigroup dan Morgan Stanley yang $2 triliun. Semua terjadi secara bertahap. Jika sebuah praktik kejahatan kecil dibiarkan, bahkan didukung dengan bailout, maka selanjutnya nilai kejahatannya akan terus bertambah.
“Free money for shit (kotoran),” kata Barry Ritholtz, penulis buku "Bailout Nation" tentang "bailout".
Inilah program "bailout" yang dikeluarkan pemerintahan Barack Obama dan Bernanke, juga Sri Mulyani dan Boediono dalam kasus Bank Century. Alih-alih menyelamatkan perekonomian karena perusahaan-perusahaan bangkrut, pengangguran melonjak dan orang-orang kehilangan rumah dan barang-barang kredit yang cicilannya gagal bayar, atau menyelamatkan nasabah yang dananya raib dirampok pemilik bank, triliunan dana talangan itu justru mengalir ke kantong orang-orang yang telah menyebabkan terjadinya krisis.
Ref:
"The Real Housewives of Wall Street"; Matt Taibbi; Rolling Stone Magazine; dalam thetruthseeker.co.uk; 28 April 2011
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment