Monday 11 January 2016

Erdogan dan Salman Pecundang Terbesar

Indonesian Free Press -- Bagi seseorang yang memimpikan menjadi seperti seorang Sultan Kerajaan Ottoman, sebagaimana Presiden Turki Reccep Erdogan, situasi yang dihadapinya sekarang tentu tidak pernah diimpikannya: menjadi 'anak buah' Saudi Arabia, negara bawahan Turki di masa Kesultanan Ottoman.

Namun demikianlah kenyataannya. Turki hanya bisa menjadi anak buah dalam koalisi anti-terror 34 negara Islam yang digalang Saudi Arabia, tidak berbeda dengan negara-negara kecil Mauritania, Komoro dan Mali.

“Dengan setuju menjadi anggota sebagaimana Komoros, Mali dan Niger, dibawah kepemimpinan Saudi Arabia, Turki telah mengubur klaimnya sebagai pemimpin negara-negara Sunni melawan Iran, sebagaimana pada abad 16 ketika Kesultanan Ottoman bersaing melawan Imperium Safavids.

Ini adalah peran yang sangat tidak tepat bagi sebuah negara dengan sejarah besar, yang selalu dibangga-banggakan oleh penguasa Turki saat ini," tulis situs berita Rusia Sputnik News, Ahad (10 Januari), berjudul 'End of Erdogan’s Power Grab? Turkey May Be the Middle East’s Biggest Loser'.

Sementara itu situs Al Monitor yang berbasis di Amerika, menulis tentang 'orang kuat, Erdogan, yang kini tengah melemah' karena kegagalannya memberikan kontribusi positif bagi penyelesaian konflik di Suriah. Al Monitor menambahkan, 'kejatuhan' Erdogan semakin dalam setelah ia dengan terbuka mengakui bahwa 'Turki membutuhkan Israel', beberapa tahun setelah Erdogan secara demonstratif menunjukkan kepada dunia Islam bahwa kemesraan Turki-Israel telah berakhir di bawah kepemimpinannya.

Setelah keberhasilannya membangun citra diri sebagai pemimpin besar Turki, yang puncaknya adalah keberhasilannya mempermalukan Presiden Israel Shimon Peres dalam sebuah pertemuan ekonomi di Davos, Swiss, tahun 2009, keberuntungan seolah terus-menerus meninggalkan Erdogan.

Dimulai dengan serangan Israel terhadap kapal Mavi Marmara dan membunuh 9 warga Turki tahun 2010. Ini adalah tamparan sangat keras terhadap Erdogan, karena terbukti ternyata ia sama sekali tidak berdaya di hadapan Israel. Israel, negara antagonis terkemuka dan wakil iblis sebenarnya di muka bumi, sangat tidak suka Erdogan bertindak pongah di hadapan mereka dengan mempermalukan Shimon Peres di muka umum. Maka balasan Israel jauh lebih menyakitkan.

Israel tahu, Turki anggota penting NATO yang membuat Erdogan bahkan berani menembak jatuh pesawat tempur Rusia sekaligus menghadapi risiko perang nuklir sekalipun dengan Rusia. Namun Israel juga tahu, zionis internasional-lah yang mengendalikan NATO, dan saat harus memilih, NATO akan mencampakkan Turki dan memilih Israel.

Ketika Erdogan mencoba mengembalikan harga dirinya dengan berkoar-koar akan memimpin armada kemanusiaan Turki memasuki Gaza, Israel dengan santai mengatakan, 'Kami akan tenggelamkan kapal yang ditumpangi Erdogan'. Maka, Erdogan pun mundur ke belakang. Dan ketika akhirnya Erdogan mengatakan 'Turki membutuhkan Israel' dalam penerbangan pulang dari kunjungan ke Saudi Arabia di penghujung tahun lalu, Erdogan mengumumkan bahwa ia hanyalah 'bawahan' Israel.

Keberuntungan yang tidak berpihak pada Erdogan bertambah setelah sekutu strategisnya, Mohammad Moersi, terjungkal dari kursi kekuasaan sebagai Presiden Mesir tahun 2013. Dan semuanya menjadi hancur setelah ia gagal dalam petualangan di Suriah. Hampir lima tahun bahu-membahu bersama Amerika, Israel, Saudi, Qatar, dan negara-negara NATO ia gagal menjungkalkan seorang Bashar al Assad yang didukung Iran, Hizbollah, dan kemudian Rusia. Dan akhirnya, setelah menembak jatuh pesawat tempur Rusia tanggal 24 November 2014 dan Rusia membalas dengan menempatkan rudal-rudal S-400 dan S-300 dan mengintensifkan serangan udaranya terhadap kepentingan-kepentingan Turki di Suriah, maka Turki pun harus mundur dari Suriah dan mengalihkan perhatiannya ke Irak.

"Turki, setelah menjadi pengikut Saudi dalam koalisi melawan Iran seraya memperbaiki hubungannya dengan Israel, negara musuh terbesar Iran, tidak hanya menguburkan klaimnya sebagai kekuatan regional, namun juga harus menjalankan peran regional anti-Iran yang tidak pernah disandang sebelumnya," tambah laporan Al Monitor.

Dan status Turki sebagai pecundang semakin nyata setelah kelompok milisi Kurdish Democratic Union Party (PYD) menyeberangi Sungai Eufrat dan koridor Azaz-Jarablus di Suriah. Ini adalah wilayah yang sebelumnya dikuasai Turki melalui kaki tangannya di Suriah, yang menjadi penghubung perbatasan Turki dengan kota strategis Aleppo, sekaligus semakin menghancurkan pengaruh Turki di Suriah.

Erdogan sebelumnya telah memberi ultimatum tidak akan membiarkan milisi-milisi Kurdi menyeberangi Sungai Eufrat. Namun keberadaan Rusia di Suriah membuatnya tidak bisa melakukan apapun dan sekaligus membuktikan bahwa ia hanyalah 'macan ompong'.

Predikat Erdogan sebagai 'pecundang besar' hanya bisa disaingi oleh Pangeran Salman dari Saudi, Menteri Pertahanan dan Wakil Putra Mahkota yang sekaligus menjadi penguasa 'de facto' Saudi. Hampir setahun ia memimpin koalisi Arab menyerang Yaman yang miskin, namun tidak ada tanda-tanda sedikit pun bahwa ia akan memenangkan pertempuran. Sebaliknya, pasukan dan milisi Yaman kini mengancam wilayah-wilayah perbatasan Saudi. Dan dengan biaya yang tidak bisa lagi ditanggungkan oleh pendapatan minyak Saudi, terutama setelah harga minyak dunia anjlok ke titik terendah, Saudi haus memikirkan jalan damai.

Dalam kegalauan menghadapi kegagalan di Yaman dan Suriah, bersamaan dengan ketakutan oleh pengaruh Iran yang semakin kuat paska keberhasilan perjanjian nuklir Iran dengan negara-negara maju tahun lalu, Pangeran Salman pun kalap dan merancang Tragedi Mina yang menewaskan belasan pejabat penting Iran dan ribuan jemaah haji dari berbagi negara sebagai 'collateral damage'. Tidak berlebihan jika Patrick Cockburn, wartawan senior Inggris menyebut Pangeran Salman sebagai 'pemuda naif dan impulsif yang bermain api'.

Tidak puas dengan itu semua, Pangeran Salman pun memerintahkan hukuman mati kepada Sheikh Nimr, ulama kharismatik Shiah Saudi. Tujuannya adalah memancing kemarahan Iran hingga Iran kalap dan menyerang Saudi. Bila ini terjadi, Saudi sudah siap dengan koalisi 34 negara-negara sekutunya. Dengan ditambah kekuatan zionis internasional yang didukung ratusan hulu ledak nuklir Amerika dan Israel, maka Saudi berharap bisa menghancurkan Iran.

Namun Iran tidak gegabah. Dengan kesabaran luar biasa Iran menghadapi situasi dengan tenang. Pada saat yang sama, Erdogan dan Pangeran Salman pun semakin terkuak kejahatannya yang pada akhirnya menempatkan mereka sebagai 'pecundang terbesar dunia' dekade ini.(ca)

3 comments:

kasamago.com said...

Kebenaran pasti menang..


http://kasamago.com/netflix-masuk-ke-indonesia-bagaimana-pengaruhnya/

Anonymous said...

sangat menarik--dimanakah pemimpin sunni sekarang ini apa mau mereka

Anonymous said...

ada tuduhan lagi dahsyat--eropah sadar
"Turkey has been a major crossroads for narcotics, weapons and human trafficking to Europe for decades," Gould and Fitzgerald said.
Turkey is linked to several Islamist groups and shares mutual enemies with ISIL, Behlul Ozkan, assistant professor at Marmara University in Istanbul, wrote in his article for Politico in late-December.
"Radicals in Syria have regularly received military supplies from Saudi Arabia and Qatar via Turkey, with the full knowledge of the CIA," he wrote.
Ozkan underscored that it has been long claimed that ISIL has taken advantage of Iraq and Syria’s "porous borders" as well as the black market created by the ongoing conflicts there to sell its oil to Turkey and other countries in the region.
"ISIL is entirely an organized crime operation in partnership with the Erdogan family," security consultant and Veteran’s Today senior editor Gordon Duff told Sputnik earlier in January. "The Erdogan family and their friends run organized crime in Austria, in Germany, in the Netherlands… which includes human trafficking on a massive scale, narcotics trafficking [and] credit card fraud."
Turkey might have claimed that it was fully committed to fighting ISIL, but in fact one of Ankara’s main priorities is preventing Syrian Kurds from gaining autonomy, journalist Stuart Rollo told RT.
"Well, Ankara's main priority is to prevent separatism within Turkey, which are Kurdish political parties and forces, and also to establish, to strengthen, the Sunni Arab opposition in Syria and to make sure that they are in a position to dictate the terms of whatever peace eventually does come to Syria," Rollo noted.
http://en.farsnews.com/newstext.aspx?nn=13941023001556