Saturday 6 September 2008

Pembunuhan Barack Obama & Tangisan Kulit Putih Amerika


Berita-berita media massa dunia akhir Agustus 2008: Polisi Amerika menangkap tiga orang yang diduga merencanakan pembunuhan terhadap kandidat presiden Amerika Barak Obama.
Sejarah Amerika: sepanjang sejarahnya Amerika mengalami empat kali pembunuhan terhadap presidennya dengan ditembak, plus tiga kali dugaan kuat pembunuhan atas presiden dengan cara diracun.


Ancaman terbesar bagi warga kulit putih Amerika bukanlah kemungkinan terpilihnya Barack Obama menjadi Presiden Amerika. Ancaman yang jauh lebih besar adalah kemungkinan pembunuhan terhadapnya menjelang dan sesudah terpilihnya Obama menjadi presiden.
Sebagaimana telah menjadi perhatian para aktifis gerakan kulit putih, terpilihnya Obama tidak terpisahkan dengan perubahan kondisi demografi Amerika yang sangat signifikan, yaitu semakin menurunnya prosentase warga kulit putih Amerika dari 90% tahun 1970 menjadi 60-an% saat ini dan akan menjadi minoritas tahun 2042. Salah satu penyebabnya adalah undang-undang imigrasi yang terus-menerus diperbaharui untuk membuka pintu Amerika bagi jutaan imigran asing setiap tahunnya.
Obama sendiri, kalaupun terpilih, bukanlah penyebab runtuhnya dominasi kulit putih Amerika. Ia hanyalah efek dari sebuah upaya sistematis untuk menghancurkan kekuatan kulit putih di seluruh dunia. Selain Amerika warga kulit putih telah kehilangan kekuasaan di Afrika Selatan dan Zimbabwe (kini dipimpin oleh warga kulit hitam dan warga kulit putih secara sistematis terusir dari tanahnya), juga di Eropa yang seperti Amerika dibanjiri dengan imigran asing setiap tahun. Di Amerika sendiri penduduk kulit putih tersingkir dari beberapa kota utama dan memilih tinggal di pinggiran kota, seperti misalnya di New Orleans.
Meski Obama mendukung gerakan sistematis itu, ia bukanlah aktor utama yang mengkontrol media massa mengkampanyekan gerakan represi terhadap warga kulit putih. Media massa diam seribu bahasa menyaksikan jutaan warga kulit putih yang secara kualitatif memiliki kemampuan lebih, disingkirkan dari bangku kuliah, lapangan kerja, dan promosi jabatan. Kini lapangan kerja pemerintahan seperti Kantor Pos (US Postal System) yang merupakan instansi pemerintah paling kualified dalam hal kesejahteraan karyawan, mempekerjakan kulit hitam 3x lebih banyak dari prosentasi mereka dalam populasi.
Dapat dilihat dengan jelas betapa kulit putih diperlakukan diskriminasi dalam lapangan kerja di pabrik-pabrik, penerimaan mahasiswa, program-program paska sarjana, pendidikan kedokteran, hingga promosi profesor di universitas-universitas. Namun tidak ada sedikitpun keluhan dari media massa maupun para politisi atas pelanggaran hak asasi warga kulit putih. Sebaliknya jika ada sedikit saja kasus diskriminasi terhadap warga non kulit putih, media massa dan politisi berteriak sangat keras.
Meski Obama mendukung diskriminasi terhadap kulit putih (ia adalah anggota gereja yang menyerukan gerakan anti orang kulit putih, meski kemudian keluar demi menjaga kredibilitasnya menjelang pemilu), ia hanya mengikuti sebuah gerakan sitematis yang juga telah dilakukan para presiden pendahulunya, termasuk media massa. Namun dengan Obama menjadi presiden, gerakan ini akan semakin kuat. Namun di sisi lain kesadaran warga kulit putih atas hak-haknya di Amerika juga akan mencapai momentum.
Selain “penyingkiran” kulit putih dari kekuasaan (para pimpinan kulit putih yang masih berkiprah hanyalah boneka semata), “para penguasa di balik layar” Amerika juga telah menerapkan berbagai peraturan yang menguatkan negara sekaligus melemahkan rakyat. Hal ini adalah untuk mengantisipasi kesadaran warga kulit putih yang suatu saat pasti akan terjadi dan kemudian melakukan perlawanan. Undang-undang Patriot Act (UU yang mengijinkan aparat keamanan menyadap seluruh sarana komunikasi tanpa kecuali) dan Real ID Act (UU yang memungkinkan pengontrolan mobilitas tiap individu) dan UU pembatasan pemilikan senjata api (hal yang sebenarnya dijamin dalam konstitusi Amerika) adalah salah satu upaya “penguasa di balik layar” Amerika untuk memperkokoh kedudukannya di hadapan rakyat khususnya warga kulit putih.
UU lainnya yang tidak kalah keras adalah UU hate crimes (kejahatan kebencian). Dengan UU terakhir ini setiap ekspresi ketidaksukaan terhadap hal-hal sensitif seperti sentimen ras dan homoseksual, dapat dikenakan hukuman penjara walau dengan dalih yang sangat subyektif. Misalnya saja Anda meludah di dekat seorang waria atau Yahudi dan waria atau Yahudi tersebut tersinggung, meski Anda tidak bermaksud menghina mereka. Maka Anda dapat ditangkap polisi berdasar laporan sang waria atau si Yahudi. Di Kanada UU seperti ini telah menimpa sepasang suami-istri yang harus kehilangan anak-anak mereka yang masih kecil. Hanya karena suami istri tersebut sering mengenakan lambang swastika di lengan anak-anak mereka, maka pengadilan memutuskan memisahkan anak-anak tersebut dari orang tuanya dengan alasan menghindarkan mereka dari pengaruh kebencian ras.
UU kejahatan kebencian tentunya diperlukan karena Amerika secara de facto dikuasai oleh etnis Yahudi yang minoritas (sekitar 3% saja dari populasi). Majalah Vanity Fair mengkonfirmasi hal ini dengan menempatkan lebih dari separoh daftar manusia paling berpengaruh di dunia tahun 2007 lalu adalah berdarah Yahudi. Sekitar 50% pejabat tinggi pemerintahan Presiden George W. Bush berdarah Yahudi. Prosentase itu bahkan lebih tinggi pada masa kepresidenan Bill Clinton. Clinton bahkan pernah membuat kebijakan yang kontroversial dengan memberikan kewarganegaraan kepada seorang imigran Israel pada hari pertama memegang jabatan presiden. Tidak lama kemudian orang yang sama diberi jabatan tinggi di pemerintahan hingga jabatan terakhirnya adalah duta besar.
Bayangkan bila Presiden SBY memberi jabatan duta besar kepada seorang anggota keluarga Punjabi (keluarga keturunan India yang sudah puluhan tahun tinggal di Indonesia), tentu akan menjadi skandal besar di Indonesia.
Pembunuhan terhadap Obama (tidak perlu heran karena Amerika sangat berpengalaman dalam hal pembunuhan terhadap presidennya), akan memberikan legitimasi kuat bagi para “penguasa di balik layar” Amerika untuk semakin mencengkeramkan kekuasaannya atas warganya. Hal ini sama seperti serangan atas menara WTC menjadi alasan Amerika menyerang Afghanistan dan Irak, tidak peduli ditentang oleh mayoritas rakyatnya sendiri.
Lihatlah bagaimana tidak ada satupun calon presiden yang berani menentang perang Irak. Mereka yang menentang agenda perang para “penguasa di balik layar” tersebut tersingkir secara otomatis meski didukung rakyat sekalipun. Contohnya adalah senator Ron Paul.

No comments: