Wednesday, 8 October 2008

PERSEPEKTIF LAIN KRISIS KEUANGAN GLOBAL


Selama setahun terakhir media massa dunia disibukkan dengan berita tentang krisis keuangan yang melanda dunia. Dimulai dengan krisis kredit perumahan pertengahan tahun lalu di Amerika, pemberian talangan kepada beberapa perusahaan keuangan seperti Bear Stearns, Freddie and Fannie, AIG, Washington Mutual, mencapai intensitas yang tinggi dengan peristiwa bangkrutnya Lehman Brothers, dan membukit pada kontroversi undang-undang pemberian bailout (dana talangan) senilai $700 miliar. Sampai saat ini pun negara-negara dunia masih disibukkan dengan masalah krisis keuangan ini yang tidak dapat diprediksikan kapan akan berakhir.

Undang-undang bailout pada awalnya ditolak lembaga legislatif Amerika (Congress) akhir September lalu karena adanya resistensi masyarakat yang menganggap undang-undang itu bertentangan dengan prinsip keadilan di mana rakyat harus menanggung kerugian para pemilik modal. (Perlu diingat dana talangan didapat pemerintah dengan menjual obligasi yang pelunasannya menggunakan pajak yang dibayar rakyat). Namun secara kontroversi, seminggu kemudian diajukan kembali oleh pemerintah dan disetujui Congress.

Dalam hal ini media-media massa dunia, yang didominasi oleh segelintir group media utama dunia umumnya melihat dari satu perspektif yaitu bahwa krisis ini disebabkan oleh miss management perusahaan-perusahaan keuangan Amerika akibat miss regulation pemerintah Amerika terdahulu (sebelum Presiden Bush) yang hanya bisa dipulihkan dengan memberikan dana talangan ratusan hingga ribuan miliar dolar atau dunia akan terancam resesi. Sebagai contoh harian New York Times, koran paling berpengaruh di Amerika, pada 28 September lalu menulis bahwa krisis keuangan yang melanda Amerika disebabkan oleh kebijakan yang dibuat Presiden Ronald Reagan yang memberi kebebasan terlalu longgar kepada pelaku pasar keuangan. Dan ketika Congress menolak undang-undang bailout, media massa seiring dengan pemerintah Amerika dan pemimpin negara-negara kapitalis lainnya serentak mengembangkan opini yang menyudutkan Congress seraya mengancam adanya bahaya krisis ekonomi global akibat keputusan itu.

Dalam tulisan ini penulis ingin melihat dari perspektif lain. Pertama adalah kebijakan yang memberikan kebebasan yang sangat besar kepada pelaku pasar keuangan sehingga sulit untuk dikontrol adalah kebijakan pemerintahan paska Ronald Reagan, tepatnya pemerintahan George W. Bush. Pada tahun 2004 para eksekutif bank investasi berhasil mendesak komisi pengawas pasar modal SEC (Securities & Exchange Comission) untuk melonggarkan persyaratan modal cadangan minimum sehingga bank-bank dapat meningkatkan kredit jauh lebih tinggi dengan rasio kredit-modal hingga mencapai rasio 33:1. Dengan kebijakan tersebut bank-bank lebih leluasa meningkatkan kreditnya, namun dengan risiko yang jauh lebih besar.

Ironisnya para bankir yang mendesak SEC melonggarkan aturan rasio kredit-modal yang berujung pada krisis keuangan itu justru dipimpin oleh Henry Paulson, menteri keuangan perancang kebijakan bailout yang saat itu menjadi eksekutif Goldman Sach. Menariknya di Goldman Sach pula Gubernur Bank Sentral Saul Bernanke yang turut mendorong undang-undang bailout, membangun karier.

Kedua adalah efektifitas kebijakan bailout mengatasi krisis finansial. Selain para aktifis sosial yang menentang kebijakan bailout sebagai ketidakadilan di mana rakyat harus menanggung kerugian para investor, bankir dan pemilik modal besar, para ekonom juga ramai-ramai menolak kebijakan tersebut. Alasan pertama adalah kebijakan tersebut bertentangan dengan prinsip ekonomi liberal yang mengharamkan intervensi pemerintah dalam mekanisme pasar. Alasan kedua adalah mengenai jumlah dana talangan yang dibutuhkan untuk mengatasi krisis yang menurut mereka jauh lebih tinggi dari yang diusulkan pemerintah sebesar $700 miliar. Dalam hal ini Marc Faber, investor dari Swiss dalam sebuah wawancara televisi dengan Bloomberg mengatakan, kerusakan sektor keuangan Amerika membutuhkan dana talangan hingga $5 triliun. Sedangkan ekonom terkenal Nouril Roubini dalam blog-nya mengeluhkan tidak dilibatkannya para ekonom dalam pembahasan undang-undang bailout. Selain melanggar prinsip keadilan, kebijakan bailout tersebut disebutkannya tidak akan berarti banyak terhadap perekonomian yang tengah runtuh, seperti menggarami air laut. Alasan ketiga adalah tidak adanya jaminan dana talangan tersebut akan digunakan untuk memperbaiki likuiditas perusahaan-perusahaan penerima dana talangan dan justru digunakan untuk hal-hal lain yang memperparah krisis seperti menambah kredit dan belanja konsumsi, atau lebih parah lagi dikorupsi.

Alih-alih menyetujui bailout, para ahli ekonomi mengusulkan regulasi sektor keuangan yang lebih ketat di pasar keuangan disertai kebijakan fiskal yang tepat sebagaimana pernah dilakukan Presiden Rossevelt pada saat terjadi peristiwa Depresi Besar tahun 1930-an. Namun meski ribuan fax yang berisi penentangan terhadap rencana bailout telah dikirim masyarakat ke Congress dan puluhan ekonom telah menyampaikan keberatannya di media-media independen serta situs-situs internet, opini mereka tersingkir oleh media massa utama. Dan akhirnya Congress, di bawah tekanan pemerintah dan pemilik modal serta opini publik yang dikembangkan media massa, menyerah dan mensahkan undang-undang bailout meski sebelumnya menolak keras. Mekanisme penetapan undang-undang itu sendiri sangat kontroversi. Tanpa proses standar sebuah rancangan undang-undang yang meliputi hearing, pembahasan-pembahasan, diskusi-diskusi, uji publik dan sebagainya. Para anggota Congress tiba-tiba saja diminta menyetujui atau menolak draft undang-undang melalui pemungutan suara.

Biang beladi
Krisis keuangan Amerika berawal dari macetnya sektor kredit perumahan sederhana (subprime mortgage) akibat permainan spekulatif perdagangan derivatif para pelaku pasar keuangan. Transaksi jenis ini mempunyai beberapa sifat berbahaya sekaligus: bermotif spekulasi, nilai kumulatif yang tidak terbatas, dan tidak tercatat oleh otoritas pengawas pasar modal.

Selembar saham dan obligasi merupakan secarik kertas berharga yang mewakili kepemilikan aset suatu perusahaan. Selembar uang merupakan secarik 'kertas berharga' yang mewakili kepemilikan sejumlah emas atau barang riel berharga lainnya di bank sentral. Derivatif merupakan secarik 'kertas yang mewakili sejumlah kertas berharga'. Perdagangan derivatif merupakan perdagangan 'kertas yang mewakili sejumlah kertas berharga' berdasarkan ukuran-ukuran tertentu seperti future, option, call, index, hingga ramalan cuaca dan ramalan politik. Derivatif merupakan transaksi spekulatif alias judi.

Transaksi seperti ini belum banyak diatur dalam regulasi pasar modal di dunia. Dan karena tidak mewakili barang riel, derivatif dapat diperdagangkan berkali-kali tanpa batas hingga nilai perdagangannya jauh melampaui total produksi barang dan jasa.

Para ahli berbeda pendapat tentang jumlah kumulatif perdagangan derivatif global. Sebagian memperkirakan antara 300 sampai 500 triliun dolar. Namun sebagian lainnya memperkirakan nilainya mencapai ribuan triliun dolar. Dibandingkan GNP global yang diperkirakan antara 40-50 triliun dolar bagaikan setetes air di dalam kolam. Konsekuensinya adalah kolapsnya sektor keuangan dapat dengan cepat menyerap produksi barang dan jasa tanpa sisa sehingga masyarakat dengan tiba-tiba dapat kehilangan kekayaannya. Contoh paling gamblang adalah krisis moneter yang melanda Indonesia tahun 1997-1998 yang tiba-tiba menurunkan pendapatan perkapita rakyat Indonesia secara drastis, sekaligus menganjlokkan produksi barang dan jasa yang berakibat menaikkan angka pengangguran, dan menambah utang luar-negeri.

Derivatif telah menjadi alat efektif para pemilik modal untuk mengeruk kekayaan dengan cepat di atas penderitaan rakyat. Sebagaimana halnya George Soros dan para konglomerat hitam Indonesia mengeruk keuntungan puluhan miliar dolar dari penderitaan rakyat Indonesia selama krisis moneter 1997-1998.

Dalam konteks Amerika, dana masyarakat yang tertampung di perusahaan-perusahaan keuangan mortgage(kredit perumah) dipindahkan ke perusahaan keuangan lain melalui perdagangan derivatif. Setelah likuiditas perusahaan keuangan itu kering (sengaja dikeringkan. Contohnya Lehman Brothers, Bear Stearns, Freddie and Fannie, AIG, Washington Mutual), mereka kolaps dan menuntut dana talangan pemerintah. Ironisnya dana talangan itu didapat pemerintah dengan meminjam ke perusahaan keuangan yang telah mendapat limpahan dana masyarakat dari perusahaan mortgage (contohnya Bank of America, Citicorps, Goldman Sach, dll).

Konsekuensinya sungguh tragis: eksekutif Lehman Brother mendapat gaji, pensiun dan tunjangan besar, Goldman Sach mendapat keuntungan ganda, pemerintah Amerika bertambah utangnya hingga mencapai 11 triliun dolar saat ini, dan rakyat Amerika seperti jatuh ditimpa tangga: kehilangan rumah dan masih harus membayar pajak untuk dibayarkan sebagai cicilan utang pemerintah kepada Goldman Sach.

Perlu dicatat lagi, Menteri Keuangan Paulson dan Gubernur Bank Sentral Amerika Bernanke adalah para mantan eksekutif Goldman Sach. Orang Jawa yang bingung mengatakan: opo tumon?

Catatan: tulisan ini dimuat di Harian Waspada Medan, 5 November 2008.

1 comment:

Unknown said...

Ass wrwb, salam persaudaraan
Pak Adi, saya baru membuka blog anda dan saya senang membaca tulisan anda yg lsg ke sasaran, tanpa tedeng aling aling (kata orang jawa). Jika berkenan sy mohon dikirim softcopy artikel2 anda, termasuk artikel ini ke se_nin2004@yahoo.com.
Jazakallohu khairan katsiro
Sentot Isnyoto