Thursday, 8 September 2011

Misteri Sri Mulyani dan Mafia Berkeley


Oleh: Didin Abidin
rakyatmerdekaonline.com, Jum'at, 19 Agustus 2011 , 11:27:00 WIB


JIKA Sri Mulyani menjadi Presiden Republik Indonesia, apa yang akan terjadi? Korporasi besar akan menyambut dengan suka cita. Lembaga keuangan internasional akan makin leluasa menyetel kebijakan ekonomi Indonesia, dan kepentingan Amerika akan kian mendapat tempat, entah di bidang ekonomi-binis, khususnya konsesi tambang-tambang minyak dan mineral yang bernilai ratusan juta dolar, atau dari segi politik untuk mengimbangi raksasa China di Asia.

Pemilihan presiden masih jauh, baru akan diselenggarakan tahun 2014. Tapi, para pendukung Sri Mulyani sudah merapatkan barisan dengan membentuk partai SRI (Serikat Rakyat Independen) dan langsung mendeklarasikan mengusung Sri Mulyani, mantan Menteri Keuangan, sebagai calon presiden dari partai itu untuk 2014.

Sebagai partai baru, SRI akan sulit menembus electoral treshold yang diperkirakan berkisar antara 3- 5 persen. Tapi itu bukan masalah. Dengan kampanye gencar yang dilakukan para pendukungnya, bisa saja Sri Mulyani menjadi alternatif capres mengingat tidak adanya tokoh yang menonjol sebagai capres dari parpol. Memang, ada Prabowo Subianto dari Gerindra, Aburizal Bakrie dari Golkar, Hatta Rajasa dari PAN. Tapi, mereka, selain memiliki kelebihan, juga sarat dengan berbagai kekurangan yang bisa dijadikan senjata andalan oleh lawan-lawan politik untuk 'menghabisinya'.

Titik lemah Prabowo adalah soal HAM terkait penculikan aktivis di masa Orde Baru. Sisi gelap Aburizal Bakrie belepotan dengan kasus lumpur Lapindo, di samping usianya yang sudah tua, sedangkan aspek negatif Hatta Rajasa terendus punya keterlibatan dalam kasus korupsi KRL hibah dari Jepang yang merugikan negara Rp 11 miliar. Prestasi Hatta Rajasa sebagai Menko Perekonomian juga di bawah standar. Ingat, bagaimana berlarut-larutnya eksekusi transaksi divestasi Newmont karena Menteri Pertambangan dan Energi Darwin Saleh lamban merespons surat Menteri Keuangan Agus Marto (yang sudah melayangkan tiga surat!). Harusnya persoalan seperti itu tidak perlu muncul ke permukaan jika Menko Perekonomian sigap mengkoordinasikan persoalan tadi.

Berdasarkan peta kekuatan politik yang ada, yang punya kans untuk memajukan capres adalah Golkar, Demokrat, dan PDIP. Partai menengah seperti PKS dan PAN harus berkoalisi jika ingin mengusung capres. Karena minimnya tokoh yang bisa dielus-elus sebagai jagoan dalam pilpres mendatang, fenomena Sri Mulyani menjadi sangat menarik. Apalagi Sri Mulyani mendapat dukungan dari Amerika Serikat untuk menjadi RI-1, sebagaimana disampaikan oleh para purnawirawan perwira tinggi TNI.

Kenapa Amerika begitu bersemangat mendukung Sri Mulyani? Boleh jadi karena Sri Mulyani adalah kader terbaik Mafia Berkeley. Seperti diketahui, Mafia Berkeley adalah para ekonom yang mendapat pendidikan di University of California, Berkeley, AS. Tokoh utamanya adalah Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, Emil Salim. Widjojo yang menjadi Ketua Bappenas/Menko Ekuin menjadi poros utama dalam sirkulasi elite di Kementrian Keuangan, Bappenas, dan Bank Indonesia.

Generasi kedua Mafia Berkeley adalah Boediono (kini Wapres), Soedradjad Djiwandono, dan Adrianus Mooy. Ketiganya sempat berkarier di Bappenas sebelum menjadi Menmud Perdagangan dan Gubernur BI (Djiwandono dan Mooy), sedangkan Boediono menjadi Direktur (sekarang setingkat Deputi Gubernur) BI, dan kemudian menjadi Ketua Bappenas, lalu Menko Perekonomian.

Arus utama kebijakan ekonomi Mafia Berkeley adalah mengintegrasikan ekonomi Indonesia pada kapitalisme global lewat Konsensus Washington (pola kebijakan ekonomi yang diracik Bank Dunia-IMF dan AS). Kebijakan warisan Mafia Berkeley adalah deregulasi sektor perbankan di tahun 1983, hingga pihak asing bisa menguasai saham bank hingga 99 persen seperti saat ini. Liberalisasi terus terjadi di berbagai sektor, hingga ke bisnis ritel. Di negara asalnya, hypermarket hanya boleh berdiri jauh di luar kota. Tapi, di Indonesia mereka leluasa berjejalan di tengah kepadatan penduduk kota. Privatisasi terus didengungkan di berbagai sektor yang strategis, termasuk irigasi dan suplai air bersih.

Integrasi ekonomi Indonesia dengan kapitalisme global akan membuat posisi Indonesia makin marginal karena semua manfaat dan nilai tambah dari sumber daya yang berlimpah di negara pinggiran seperti Indonesia akan terus disedot ke pusat kapitalisme seperti Amerika. Ini sangat nyata dari industri migas dan tambang emas. Blok Cepu yang kaya minyak dan berakhir masa kontraknya, di masa Presiden SBY diserahkan kepada Exxon-Mobil Oil selama 25 tahun. Padahal, Pertamina punya kemampuan untuk mengelola Blok Cepu. Sama ketika Soeharto memberikan 'upeti' Freeport kepada AS di masa lalu, Presiden SBY pun mempersembahkan Blok Cepu ke Amerika ketimbang dikelola oleh Pertamina.

Kembali ke 'prospek' Sri Mulyani jika menjadi RI-1. Jelas sebagai kader Mafia Berkeley terbaik, Sri Mulyani akan mengikuti jejak kebijakan para seniornya. Berbagai kepentingan AS akan leluasa dijalankan di Tanah Air, baik di bidang ekonomi maupun politik. AS berkepentingan untuk mengamankan investasinya di tambang-tambang minyak dan tambang mineral logam. Sedangkan di bidang politik, AS berkepentingan membendung kekuatan politik dan militer China yang makin perkasa di Asia, menyusul kekuatan ekonominya yang sangat luar biasa belakangan ini.

Melihat rekam jejaknya selama ini, Sri Mulyani cenderung akan lebih berpihak pada kepentingan korporasi raksasa ketimbang usaha kecil dan menengah (UKM). Ingat, Sri Mulyani pernah menjadi komisaris di PT Astra International Tbk dan di perusahaan multinasional PT Unilever Indonesia Tbk. Selama menjadi menteri (di Bappenas dan Kementrian Keuangan), Sri Mulyani tidak pernah menunjukkan kepedulian--apalagi keberpihakan--kepada UKM dan koperasi.

Sri Mulyani lebih sering mondar-mandir ke Bursa Efek Indonesia (BEI) tapi tidak pernah berkunjung ke sentra-sentra UKM dan koperasi. BEI hanya terdiri dari ratusan perusahaan besar dengan investor yang jumlahnya cuma sekitar 300.000 saja. Sedangkan UKM dan koperasi berjumlah jutaan yang menjadi tumpuan hidup golongan menengah bawah. Jika punya keberpihakan kepada kepentingan rakyat di tingkatan akar rumput, mestinya Sri Mulyani ketika duduk di pos Bappenas lebih lantang berbicara dan mengatur anggaran bagi kepentingan UKM dan koperasi.

Saran dan kebijakan ekonomi IMF-Bank Dunia akan mudah diserap dan diterapkan Sri Mulyani di Indonesia. Padahal, selama ini kebijakan ekonomi yang diracik IMF-Bank Dunia telah membuat Indonesia terperosok ke jurang kehancuran ketika Krisis Moneter menerjang negara kita pada tahun 1997.

Jika Sri Mulyani menjadi RI-1, harapan Indonesia untuk menjadi negara yang kuat dan mandiri di bidang ekonomi akan semakin jauh. Sebaliknya, perusahaan multinasional dan korporasi raksasa akan kian kuat mencengkeramkan kukunya. Di bawah Sri Mulyani, UKM dan koperasi akan semakin terpinggirkan.[***]



Didin Abidin adalah pengamat ekonomi, mantan wartawan ekonomi-bisnis, mantan Pemred di beberapa media cetak dan online.

No comments: