Saturday 19 September 2015

Rusia: Tidak Ada Kompromi di Suriah

Indonesian Free Press -- Sampai sebelum tulisan ini dibuat IFP hanya bisa menebak-nebak motif sebenarnya dari 'langkah gambit' Rusia mengerahkan kekuatan militernya di Suriah beberapa waktu terakhir. (Terakhir Amerika menuduh Rusia telah mengirimkan 4 pesawat tempur ke pangkalan udara di Latakia yang sudah diperluas dan diperkuat dengan sistem pertahanan udara, senjata-senjata artileri dan personil marinir Rusia). Namun, sebuah laporan di New York Times tanggal 23 Juli 2015 menjadi jawaban atas pertanyaan itu.

Dalam laporan itu dituliskan, "Para pejabat pemerintah (Amerika) yang telah melakukan negosiasi selama berbulan-bulan dengan para pejabat Turki, mengatakan hari Kamis bahwa mereka telah mencapai kesepakatan untuk mengerahkan pesawat-pesawat berawak dan nir-awak untuk menyerang ISIS dari pangkalan udara NATO di Incirlik dan Diyarbakir. Perjanjian itu disebut oleh seorang pejabat senior sebagai 'pengubah permainan'."

Lebih lanjut laporan itu memaparkan tentang dampak kesepakatan Amerika-Turki itu. Dengan perjanjian itu maka Amerika bisa melibatkan diri dalam konflik di Suriah dengan menggunakan pesawat-pesawat tempurnya, dan hal itu akan meningkatkan tekanan terhadap regim Bashar al Assad dan berdampak pada kejatuhannya. Apalagi dengan Turki yang turut mengerahkan pasukan daratnya ke Suriah dengan dalih menjaga 'zona pengaman' untuk melindungi pengungsi.

Inilah yang disebut 'pengubah permainan', setelah konflik yang berlangsung selama 4 tahun yang disponsori Amerika dan zionis internasional gagal menggulingkan Bashar al Assad. Itulah sebabnya para pejabat Amerika, beberapa waktu terakhir, kembali meneriakkan 'pergantian regim Bashar al Assad' sebagai solusi pemecahan konflik di Suriah.

Namun Presiden Rusia Vladimir Putin tahu persis skenario ini. Dan ia, belajar dari jatuhnya sekutunya Libya, tidak ingin melakukan kompromi dengan membiarkan sekutu strategisnya yang lain untuk jatuh. Bagi Putin, Suriah bahkan jauh lebih berharga dibandingkan Libya karena di sinilah Rusia memiliki satu-satunya pangkalan militer di luar negeri, yaitu pangkalan laut di Tartus yang terletak beberapa kilometer di selatan Latakia, di tepian Laut Mediterania.

Mengantisipasi rencana Amerika itu Putin pun melakukan langkah cepat dengan mengirimkan kekuatan militernya ke Latakia, yang sampai saat ini berhasil menginterupsi rencana Amerika itu. Dengan langkah itu Putin seolah mengatakan kepada Amerika: "Kami tahu rencana Anda dan kami akan melakukan apapun untuk mengamankan kepentingan kami."

Para pejabat Amerika, yang awalnya bingung dengan langkah 'mengejutkan' Rusia ini, telah berulangkali menanyakan maksud Rusia ini kepada para pejabat Rusia. Setelah mendapat penjelasan 'diplomatis' yang kurang memuaskan, para pejabat Amerika pun melanjutkan dengan ancaman-ancaman halus. Menlu AS John Kerry, misalnya, menyebut langkah Rusia itu 'membahayakan' dan terus menyerukan 'perubahan regim', alias penggulingan Bashar al Assad.

Namun menarik juga untuk mengetahui, mengapa Putin rela mempertaruhkan dirinya dalam konflik di Suriah? Karena meskipun Rusia mengerahkan ratusan pesawat tempurnya dan kapal-kapal perangnya ke Suriah, hal itu tidak akan memenangkan perang mengingat bahwa pertempuran ditentukan oleh kekuatan di darat. Dalam hal ini Rusia percaya pada kekuatan Iran. Seperti telah dilaporkan IFP, ribuan milisi dari Iran, Irak dan Hizbollah Lebanon telah berada di Suriah dan terlibat pertempuran bahu-membahu dengan pasukan Suriah. Mereka berperan besar dalam menjaga kekuasaan Bashar al Assad sehingga tetap bertahan setelah bertahun-tahun digempur oleh ribuan tentara bayaran dan teroris asing yang diorganisir Amerika, Israel, Turki, Yordania dan Saudi. Dan Iran masih memiliki jutaan milisi Basij hingga pasukan khusus Pengawal Revolusi yang telah dikenal tangguh dalam pertempuran jangka panjang sebagaimana Perang Iran-Irak tahun 1980-1988.

Kini 'bola' berada di tangan Amerika. Apakah akan meneruskan rencananya membangun 'zona pengaman' dan 'zona larangan terbang' di Suriah sebagai kamuflase untuk melindungi kelompok teroris ISIS dan Al Nusra sembari menghancurkan kekuatan militer Suriah, namun dengan risiko terlibat perang proxi melawan Rusia, atau membatalkannya.

Sayangnya, kemungkinan terakhir itu tampaknya sulit terwujud, dan dengan kata lain konflik Suriah akan semakin keras. Zionis internasional telah memutuskan untuk menghancurkan Suriah dan negara-negara Arab lain, menjadi negara-negara kecil berdasarkan etnis dan agama. Dan hal ini terungkap dengan jelas dalam tulisan Michael E. O’Hanlon dari Brookings Institute dengan judul yang sangat provokatif: “Deconstructing Syria: A new strategy for America’s most hopeless war”:

"Rencana ini tidak secara eksplisit menyebut tentang penggulingan Assad, atau menolaknya untuk kembali memerintah. Wilayah-wilayah baru yang otonom akan dibentuk dengan aspirasi yang jelas, yaitu menolak diperintah oleh Assad atau penggantinya. Dengan rencana ini Assad tidak menjadi target militer, melainkan wilayah yang dikuasainya yang menjadi target. Dan jika Assad terlalu lama menunda rencana pelarian, ia tidak bisa menghindar dari bahaya (ingat kasus Moammar Khadaffi; IFP)."

Apa yang menjadi rencana itu juga menjadi pengejawantahan dari apa yang disebut penulis Israel Shahak “The Zionist Plan for the Middle East”.(ca)

6 comments:

abu bakar said...

Biarkan Russia berbicara
28 September
Podium united nation
Dari sputniknew
Masa yang tepat dari super power
Putin

Unknown said...

Koreksi Bung Adi. Menlu As John Kerry. Bukan Jim Kerry yang seperti anda ketik.

abu bakar said...

sesuatu yang dahsyat dinantikan

As reported by the DEBKAfile, an unspecified number of R-166-0.5 (ultra) high-frequency signals (HF/VHF) vehicles have been spotted on Highway 4, which links Latakia province to the ISIS-held interior of the war-ravaged country. Often referred to as “mobile war rooms” by the Israeli and Western armies, a "large convoy" of the R-166-0.5 command and control vehicles were accompanied by a yet to be released number of BTR-82 armored personnel carriers (APC) chock full of Russian Marines. The R-166-0.5 enables communication with forces located on battlefields as far as 620 miles (1,000 kilometers) distant using their high frequency and ultra-high frequency signals.

In what some are calling yet another diplomatic thumb directly in the eye of Barack Obama, Iranian special forces have reportedly landed in Syria to join with the relative handful of Russian Naval Infantry already in-country to aid the regime's strongman retain power. As reported by Mark Rivett-Carnac of the Reuters news service via Time magazine, and also by Johnlee Varghese of theInternational Business Times (IBT) India edition, both on Sept. 11, 2015, a mixed force of approximately 1,000 Iranian Marines and members of the Iranian Revolutionary Guards Corps are within a figurative stone's throw from the roughly 100 Russian Naval Infantry (Marines) who recently touched down in the war-torn nation.

http://www.examiner.com/article/syria-1-000-iranian-marines-link-up-with-100-russian-marines-for-c

cahyono adi said...

Trims teman-teman atas atensinya yang luar biasa, termasuk informasi tambahan yang berharga.

Unknown said...

Menurut saya, seperti pernyataan di atas bahwa perang darat sebagai penentu kemenangan. Artinya pasukan rusia tidak berencana untuk benar benar perang. Mereka hanya mau melindungi pasukan darat yang di komandani iran dari gangguan as cs saat melumat isis.

abu bakar said...

Menurut satu laporan general qasem sulaimani telah berada di Moscow pada 8 September lalu merangka sesuatu