Wednesday 13 February 2013

DAMASKUS, 173 TAHUN YANG LALU

"Di sini terbaring jenasah Pendeta Thomas dari Sardinia, Missionari Capuchin, dibunuh oleh orang-orang yahudi pada tgl 5 Februari 1840." Tulisan dalam bahasa Arab dan Italia yang terpahat di batu nisan Pendeta Thomas di Damaskus, Syria.



Hari Raya Purim, yang merupakan salah satu hari raya terbesar yahudi, jatuh pada tgl 15 Februari 1840. Pada tgl 5 Februari 1840 Pendeta Thomas, seorang pendeta Katholik asal Sardinia (kala itu masih masuk dalam wilayah administrasi Perancis) yang bertugas di Damaskus, hilang secara misterius setelah mengadakan perjalanan ke kawasan yang dihuni orang-orang yahudi. Pembantunya bernama Ibrahim yang mencoba mencarinya juga hilang misterius.

Konsul Perancis di Damaskus, Comte Ratti-Menton pun mulai mengadakan penyelidikan dengan bantuan kepala polisi Pasha. Setelah beberapa hari polisi pun menangkap 7 orang yahudi. Mereka semua mengaku telah membunuh Pendeta Thomas dan pembantunya, sebagian baru mengaku setelah mendapat siksaan.  Motif pembunuhan, aku mereka, adalah ritual berdarah.

Empat orang di antara terdakwa mendapat pengampunan setelah  bersedia menjadi saksi untuk mengungkap tuntas kasus pembunuhan, yaitu Mousa Abou-el-Afieh, Aslan Farkhi; Suliman, dan Mourad el Fathal. Kesaksian mereka membongkar tuntas kasus tersebut hingga menyeret 16 orang yahudi lainnya ditangkap karena keterlibatan mereka.

Beberapa terdakwa Mourad el Fathal, Mousa Abou-el-Afieh, Isaac  Arari dan Aaron Arari, menyebutkan dengan rinci bagaimana dalam upacara-upacara keagamaan yahudi dibutuhkan darah manusia yang ditampung dari sayatan di leher korban. Selanjutnya darah dikirim kepada pemimpin agama yahudi atau rabi. Oleh rabi, darah tersebut dioleskan pada roti yang disajikan dalam upacara keagamaan yang dilaksanakan pada hari-hari raya yahudi.

Atas kesaksian tersebut pemimpin agama yahudi tertinggi di Syria, Grand Rabbi Yakub el Entabi dihadapkan ke persidangan. Ia mengakui kebenaran yang dikatakan el Fathal dan kawan-kawan. Ia bahkan mengakui telah menerima darah Pendeta Thomas. Pada akhir persidangan sebanyak 14 orang yahudi dinyatakan bersalah, 10 di antaranya dijatuhi hukuman mati dan 2 orang meninggal selama persidangan.

Sampai tahap ini tidak ada yang bisa menyelamatkan para terdakwa dari hukuman. Apalagi dengan pengakuan mereka yang bisa menunjukkan dengan tepat lokasi dimana mayat Pendeta Thomas dan pembantunya dikuburkan. Namun super elit saat itu, para bankir internasional yahudi, menghendaki para terdakwa itu dibebaskan dan seperti akan kita lihat nanti, keinginan mereka terpenuhi.


SERANGAN BALIK YAHUDI


Menurut undang-undang Kekhalifahan Turki kala itu (kala itu Syria merupakan wilayah Keemiran Mesir yang merupakan bagian dari Kekhilafahan Ottoman Turki), penyiksaan dengan meng¬gunakan alat pemukul "bastinado" merupakan metode yang sah untuk membuat orang-orang yahudi mengakui kejahatan mereka.  Namun para elit yahudi internasional menggunakan cara penyiksaan itu sebagai alasan untuk mementahkan dakwaan dengan dalih bahwa para terdakwa terpaksa melakukan pengakuan bohong karena tidak tahan menanggung siksaan.

Segera setelah muncul laporan tentang penggunaan “bastinado” dalam interogasi kasus ini, media-media massa barat kala itu langsung berteriak-teriak mempertanyakan keabsahan penyidikan, mengabaikan fakta-fakta hukum yang sangat gamblang tentang keterlibatan para tersangka dalam pembunuhan. Mereka juga menyerang kredibilitas Konsul Perancis Comte Ratti-Menton yang memimpin penyidikan. Selanjutnya mereka pun memprovokasi masyarakat barat dengan sentimentisme anti-yahudi dengan tuduhan-tuduhan bahwa telah terjadi penindasan terhadap orang-orang yahudi.

Selain agitasi melalui media massa, kekuatan uang yahudi internasional juga menggalang berbagai aksi massa berjudul “demokrasi” menuntut pembebasan para tersangka pembunuhan Pendeta Thomas. Sebagai contoh di London, diadakan rapat umum yang digelar di Mansion House dimana muncul istilah “Tuduhan Berdarah” yang disematkan pada kasus penyidikan pembunuhan Pendeta Thomas. Langkah serupa juga digelar di kota-kota besar di Eropa seperti Paris, New York, Philadelphia dan kota-kota lainnya.

Selain itu uang juga menunjukkan kekuasaannya dalam kasus ini. Elit global yahudi Moses Montefiore dari Inggris dan Cremieux serta Munck dari France atas nama kaum yahudi di Eropa berangkat ke Mesir dan menemui Kadif (Emir) Mesir Mehmet Ali. Mereka menawarkan sejumlah besar uang kepada Emir dengan imbalan  pembebasan para tersangka, dan mereka mendapatkan apa yang diinginkan. Setelah para tersangka dibebaskan, orang-orang yahudi langsung berseru kepada khalayak di semua tempat bahwa Kadif Mesir telah membatalkan tuntutan terhadap para pelaku pembunuhan Pendeta Thomas dan pembantunya, Ibrahim.

Namun pernyataan tertulis Emir Ali tentang pembebasan tersebut bertolak belakang dengan pernyataan orang-orang yahudi itu: pembebasan para tersangka disebabkan karena Emir Ali merasa tidak berdaya menghadapi pengaruh kekuatan kaum yahudi yang sangat dominan di Eropa.

“Dan karena kekuatan mereka yang besar itu, tidaklah bijaksana jika menolak permintaan mereka,” tulis Emir Ali dalam fatwa pembebasan para pelaku pembunuhan. Emir Ali tidak pernah membatalkan putusan pengadilan dan mengubah tuntutan hukum. Ia hanya mengakui pengaruh kekuasaan yahudi.

Menurut sumber-sumber tertulis, Emir menerima 500.000 piastre. Jewish Encyclopaedia (1903, Vol. IV, p. 420) menulis bahwa “ketiga orang kaya yahudi telah membuat Emir Ali mengakui ketidak-salahan para tersangka”. Namun mantan rabbi Chevalier P. L. B. Drach menulis dalam buku The Harmony between the Church and the Synagogue (1844, Paris, p. 79) : "Uang telah memainkan peran penting dalam masalah ini."

Namun Kadif Mesir masih mempunyai atasan dan keputusannya belum memiliki ketetapan hukum. Maka orang-orang yahudi pun melobi Sultan Turki Abdul Majid. Sama dengan Emir Mesir, Sultan pun tidak berdaya menghadapi kekuasaan orang-orang yahudi sehingga mengeluarkan fatwa pembebasan terhadap para pelaku pembunuhan. Namun kali ini Keluarga Rothschild yang merupakan keluarga paling berpengaruh di dunia turut memainkan peran dengan gelon¬toran uang yang jauh lebih besar.

Selain itu, karena Pendeta Thomas adalah seorang pejabat Vatikan, gelontoran uang suap diduga kuat juga mengalir ke Tahta Suci di Roma.

Kekuatan elit yahudi global juga melakukan tekanan keras agar laporan-laporan tentang pengadilan tersebut tidak bisa diakses oleh publik. Sebuah buku karangan Achille Laurent yang merupakan karya ilmiah pertama yang menuliskan kasus tersebut tidak bisa lagi ditemukan. Namun Gougenot des Mousseaux berhasil menuliskan laporan tentang kasus tersebut dalam buku berjudul Le Juif, le Judaisme et la Judaisation des Peuples Chretiens yang sebagian besar isinya berasal dari karya Laurent. Buku inipun sudah tidak bisa lagi ditemukan di perpustakaan-perpustakaan publik kecuali di perpustakaan pribadi. Bahkan Gougenot sendiri kemudian tewas secara misterius tidak lama setelah bukunya selesai ditulis, 9 jam setelah menerima ancaman pembunuhan.

Sir Richard Burton, seorang petualang terkenal sekaligus Konsul Inggris di Damaskus 30 tahun setelah pembunuhan Pendeta Thomas, melakukan studi mendalam tentang kasus tersebut serta kebiasaan ritual berdarah yang dilakukan orang-orang yahudi. Hasilnya adalah karya ilmiah berupa buku berjudul The Jew, the Gypsy and El Islam, diterbitkan oleh Hutchinson tahun 1898.

Satu hal lagi, untuk menindas setiap pikiran manusia ten¬tang pembunuhan ritual yahudi, para elit yahudi internasional menciptakan istilah yang “mujarab” sebagaimana istilah “enti-semit” yang mampu membuat orang ketakutan untuk melakukan hal-hal yang menyinggung kepentingan kaum yahudi. Istilah itu adalah “blood libel” atau “fitnah berdarah”.



Sumber: "Jewish Ritual Murder"; Arnold Lesse; online paper.

Catatan:
Selengkapnya tentang "Pembunuhan Ritual" dan kejahatan-kejahatan konspirasi lainnya, silakan tunggu di buku "Konspirasi Iblis" mendatang.

No comments: