Tuesday, 29 March 2016

IBLIS TUTUL DARI GUMALAPURAM


Indonesian Free Press -- KARENA keganasannya binatang pemangsa manusia ini dijuluki oleh pemburu terkenal Kenneth Anderson se­bagai iblis (devil), sementara warga lokal menyebutnya sebagai shaitan atau setan. 
 
Seperti sudah disebutkan tentang macan tutul pe­mangsa manusia, binatang ini dalam hal keganasan adalah me­lam­paui harimau dan binatang-binatang pemangsa manusia lain­nya. Hampir tidak ada harimau ataupun singa pemangsa manusia yang mendobrak pintu dan melompati jendela dan membunuh mangsanya di dalam rumahnya seperti macan tutul.
Dalam satu peristiwa, macan tutul ini bahkan melakukan hal yang tampak mustahil. Suatu hari, gagal mendobrak pintu, jendela dan dinding gubuk calon mangsanya, macan tutul ini meloncat ke atap rumah dan mendobrak atap yang rapuh dengan berat badannya. Setelah berada di dalam rumah, ia menyerang dan membunuh salah satu di antara penghuninya yang terdiri dari sepasang suami istri dan 2 orang anaknya. Namun karena gagal membawa pergi mangsanya karena tertutupnya dinding dan pintu oleh batu besar dan balok-balok kayu, ia kemudian membunuh seluruh penghuni gubuk itu.
Macan tutul ini tercatat telah membunuh 42 orang warga Gumalapuram dan menciptakan terror di wilayah kekuasaannya yang mencapai 250 mil persegi. Sebelum senja, warga buru-buru masuk ke rumahnya masing-masing dan menutup pintu dan jendela rapat-rapat. Sebagian warga yang rumahnya hanya berupa gubuk-gubuk sederhana bahkan memperkuatnya dengan batu-batu besar dan balok-balok kayu. Tidak ada kegiatan di luar rumah sama sekali karena adanya macan tutul ini, bahkan untuk keperluan buang hajat. Hal ini mengakibatkan kondisi sanitasi sangat buruk dan wabah penyakit pun mengancam seluruh wilayah kekuasaan binatang pemangsa ini. Hanya di pagi dan siang hari kondisi menjadi relatif normal, meski untuk bepergian ke luar du­sun, warga akan berjalan beramai-ramai.

Kenneth Anderson memutuskan untuk memburu binatang ini setelah men­­dapat undangan dari Jepson, pejabat District Magistrate setempat, untuk memburu binatang ini. Lokasi pilihan pertama perburuan adalah Gumalapuram atau Gummalapur yang menjadi basis wilayah kekuasaan bina­tang ini dan tempat terjadinya serangan paling memilukan terhadap empat anggota keluarga sekaligus. Ini adalah sebuah dusun di Desa Thally Taluk, Distrik (Kecamatan) Krishnagiri, negara bagian Tamil Nadu, India. Dusun ini terletak 72 km di sebelah barat kota Krishnagiri dan 334 km dari ibukota negara bagian Chennai (Madras). Meski termasuk dalam wilayah Tamil Nadu, dusun ini sebenarnya lebih dekat dengan ibukota Negara Bagian Kartanaka, Bangalore yang terletak di sebelah utaranya.
Dalam bukunya yang diterbitkan tahun 1954, “Nine Maneaters and One Rogue”, Kenneth An­der­son tidak menyebutkan waktu ketika ia melakukan perburuan. Namun di­per­kirakan perburuan ini terjadi se­kitar tahun 1950 atau beberapa tahun setelah Perang Dunia II dan se­belum kemerdekaan India tahun 1947. Perburuan ini merupakan salah sa­tu dari perburuan Anderson yang menarik. Namun sayangnya Anderson tidak memberikan keterangan secara lebih detil tentang macan tutul ini, tentang kondisi geografis sekitar tempat perburuan macan tutul ini, serta suasana kronoligis perburuan. untuk dirangkai menjadi sebuah kisah per­buruan yang jauh lebih menarik.
Awalnya Anderson kesulitan untuk mendapatkan informasi tentang macan tutul itu dan ker­jasama warga yang dibutuhkannya dalam memburu binatang pe­mang­sa ini. Warga yang menganggap binatang ini adalah pen­jel­maan setan, ketakutan untuk membantu Anderson karena percaya binatang itu akan mengetahui tindakan mereka dan melakukan tindakan balas dendam kepada mereka. Kalau pun mereka akhirnya memberikan informasi yang dibutuhkan, mereka melakukannya dengan sembunyi-sembunyi dan dengan cara berbisik.

Tanpa dukungan warga, malam hari pertama di dusun itu dihabiskan Anderson dengan menunggu binatang pemangsa itu di luar satu-satunya rumah di dusun itu yang memiliki tinggi dinding mencapai 12 kaki (4 meter). Itu dilakukannya sebagai perlindungan untuk mengan­tisipasi serangan dari belakang. Sedangkan untuk mengantisipasi se­rangan dari atas, atap rumah itu ditutupi dengan semak-semak berduri. Meski tidak ada bulan malam itu, Anderson masih bisa mendapatkan bantuan cahaya dari jutaan bintang di langit yang memberikan cahaya remang-remang. Pada pukul 18.00 seluruh warga telah berada di balik pintu yang terkunci rapat, sementara Anderson duduk di atas kursi dengan hanya ditemani senjata yang terkokang di tangan, termos berisi teh panas, selimut, satu botol air minum, beberapa potong biskuit, dan lampu senter. Satu-satunya hiburan adalah pipa tembakau yang selalu setia menyertainya dalam setiap perburuan. Macan tutul, sebagaimana harimau dan binatang-binatang kucing besar lainnya, tidak memiliki penciuman yang baik sehingga asap tembakau tidak akan mengganggu perburuan.
Selama penantian, perhatian Anderson lebih banyak ditujukan ke arah barat-daya, dimana dua bukit yang diselimuti hutan lebat menjulang be­be­rapa kilometer dari dusun itu. Di sini, ia tidak bisa mengandalkan ban­tuan binatang-binatang penghuni hutan yang mendeteksi kedatangan binatang pemangsa dan mengeluarkan peringatan. Setelah cahaya bin­tang sudah mulai memberikan efek cahaya yang cukup baik, pada pu­kul 7.15, kepercayaan diri Anderson muncul dan mulai berfikir untuk me­mancing macan tutul. Ia pun sengaja batuk-batuk dan ber­cakap-ca­kap sendiri dengan suara keras, berharap macan tutul itu men­de­ngar­nya dan mendatangi. Selama beberapa waktu Anderson mela­ku­kan ak­­si tersebut sambil melangkah dan mengamati sudut-sudut dusun. Namun segera menyadari bahwa ia mengundang bahaya, karena macan tutul itu bisa menyerangnya dari berbagai sudut. Menyadari hal itu, dengan terburu-buru ia berjalan kembali ke kursi duduknya. Di sini ia merasa lebih aman.
Lewat tengah malam, dipengaruhi oleh fakta bahwa ia belum beristirahat sejak ia meninggalkan rumahnya di Bengalore, Anderson merasa mengantuk. Teh hangat dan pipa tembakau tidak bisa membantunya mencegah kantuk. Anderson pun membasuh mukanya dengan air dingin di dalam botol, kemudian melakukan melakukan senam kecil untuk melancarkan kembali peredaran darahnya. Selanjutnya ia kembali berbicara sendiri dengan keras. Kali ini lebih untuk menjaganya tetap terbangun.
Pada pukul 3.30 dinihari muncul hal yang ditakutnya Anderson, ketika awan tebal menyelimuti langit dan menutupi bintang-bintang yang men­jadi satu-satunya sumber pencahayaan yang diandalkan Anderson. Maka untuk mencegahnya menjadi serangan maut yang tidak bisa di­an­tisipasi, Anderson menyalakan lampu senternya tiap setengah menit dan menyo­rot­kan­nya ke berbagai sudut tempat. Namun hingga fajar menyingsing macan tutul itu tidak menunjukkan tanda-tanda keda­tangannya. Setelah warga satu demi satu keluar dari rumahnya, Anderson pun tertidur, menebus rasa kantuk yang tidak terlampiaskan semalaman.
Bagun dari tidur setelah tertidur beberapa jam, Anderson men­dapat­kan warga telah jauh lebih kooperatif. Keberhasilannya bertahan di luar semalaman, serta tindakannya berbicara sendiri di malam hari yang sunyi membuat warga menganggap Anderson sebagai seorang sadhu atau orang suci, atau seorang dukun pintar yang bisa berbicara dengan roh halus. Mereka pun tanpa ragu lagi memberikan berbagai informasi tentang binatang pemangsa ini. Menurut warga, macan tutul itu selalu berpindah tempat operasi dan tidak pernah melakukan serangan berurutan di satu tempat. Dan karena telah hampir sebulan tidak ada lagi korban serangan, Anderson memperkirakan serangan berikutnya bakal terjadi di Gumalapuram. Maka ia memutuskan untuk menunggunya di sini. Terlebih lagi, karena macan tutul bersembunyi di siang hari dan hanya beroperasi di malam hari, maka kecil kemung­kinannya untuk mencarinya di siang hari. Selain itu ia juga mendapat informasi bahwa macan tutul itu mengalami cidera di kaki kanan depannya, yang bisa diketahui dari jejak kakinya yang lebih banyak menumpukan berat badannya ke bagian kaki kirinya.
Selama makan siang, Anderson memikirkan cara yang paling efektif untuk memancing kedatangan macan tutul, tanpa harus mengorbankan keselamatan dan kenyamanannya seperti malam sebelumnya. Dan kemudian ia mendapatkan ide yang menurutnya tepat.
Rencana itu adalah memasang boneka manusia di dalam rumah yang pintunya sengaja dibuka untuk menarik kedatangan macan tutul pemangsa. Sementara itu Anderson akan bersembunyi di sudut rumah di balik tumpukan kotak kayu. Rencana ini pun mendapat dukungan penuh warga dan dengan segera menetapkan rumah yang akan digunakan untuk menjebak macan tutul pemangsa. Rumah itu ber­se­belah­an dengan rumah yang pernah dimasuki macan tutul pemangsa dan membunuh ke-empat penghuninya.  Kemudian sebuah boneka ma­nu­sia pun dibuat dari jerami yang diikat bersama bantal bekas dan  ditu­tupi dengan sari dan jaket. Boneka ini diletakkan di atas kursi yang berhadapan langsung dengan pintu yang terbuka.
Kemudian, setelah merasa mendapatkan dukungan penuh dari warga yang merasa lebih percaya diri dengan keberadaan seorang sadhu di dekat mereka, Anderson meminta penghuni dua rumah yang paling dekat dengan rumah jebakan itu untuk begadang dan saling berbicara demi menarik perhatian macan tutul. Permintaan ini awalnya ditolak keras oleh mereka, namun dengan jaminan penuh Anderson untuk datang menolong jika macan tutul itu menyerang, mereka pun akhirnya menyetujui.
Pada pukul 18.00 semuanya sudah berada di tempat masing-masing sesuai rencana, termasuk suara-suara percakapan dari kedua rumah. Namun hingga dinihari dan percakapan-perca­kapan itu berhenti, tidak ada tanda-tanda kehadiran macan tutul pemangsa.

Malam berikutnya rencana itu kembali diulang, dengan pertimbangan bahwa cepat atau lambat macan tutul itu akan datang. Pada pukul 18.00 hingga tengah malam situasinya adalah pengulangan malam sebelumnya. Kemudian pada pukul 01.00 dinihari, angin keras tiba-tiba muncul menerjang dan setelah itu suara tiupan angin menerjang pepohonan dan atap-atap rumah terdengar semakin kuat. Kemudian, cahaya bintang yang menerobos pintu yang terbuka pun menghilang seiring langit yang tertutup awan, disusul kemudian dengan suara rintik hujan. Pada saat itu suara-suara percakapan orang di kedua rumah yang berdekatan itu telah berhenti.
Macan tutul adalah binatang yang tidak menyukai air dan hal itu mendorong Anderson berfikir bahwa binatang itu tidak akan datang se­per­ti malam sebelumnya sehingga ia pun mengendorkan kewas­padaannya dan mulai tertidur.

Seberapa lama Anderson tertidur, ia tidak mengetahui dengan pasti ketika tiba-tiba saja ‘indera keenam’-nya membangunkannya, menga­barkan bahwa bahaya tengah mendatangi. Ia langsung mengalihkan perhatiannya pada pintu dan cahaya bintang remang-remang yang masuk melalui pintu tersebut. Kemudian, ketika ia meng­kon­sen­tra­si­kan pandangan dan pendengarannya, ia melihat boneka manusia yang menjadi umpan, bergerak-gerak. Selanjutnya, tiba-tiba saja boneka itu menghilang dari pandangan disertai dengan suara eraman macan tutul. Anderson mengetahui erangan itu adalah bentuk kemarahan macan tutul setelah mangsa yang diserangnya ternyata adalah boneka jerami.
Menyalakan lampu senter yang terikat dengan senjata, seketika An­derson melompat dan menyingkirkan tumpukan kotak kayu. Saat melompat itu, ia nyaris menabrak boneka yang menghalangi, meng­halangi pergerakannya dan memberi kesempatan macan tutul untuk menyelinap keluar.
Anderson mengejar macan itu hingga keluar rumah, namun tidak ditemukannya binatang pemangsa itu meski ia telah menyorotkan lampu senter ke seluruh sudut , termasuk ke atap-atap rumah. Berjalan keluar dengan disertai perasaan tegang, Anderson kemudian menyisir lorong-lorong jalan dusun de­ngan lampu sorotnya. Namun, meski seluruh sudut dusun telah dijelajahinya binatang itu menghilang seperti hantu.
Jengkel dengan kelalaiannya sendiri yang mengakibatkannya gagal menembak binatang pemangsa itu meski telah berada hanya beberapa meter darinya, Anderson justru semakin teguh tekadnya untuk meng­akhiri teror  binatang ini.
Pagi harinya Anderson melacak jejak kaki macan tutul pemangsa dari titik dimana ia memasuki dusun hingga ia meninggalkannya. Dari jejak kaki itu dipastikan kebenaran informasi tentang kondisi fisik macan tutul yang mengalami cacat di bagian depan kakinya. Hal inilah yang diduga kuat menjadi penyebab macan tutul menjadi binatang pemangsa setelah kesulitan memburu binatang-binatang buruan seperti biasanya. Namun kemudian Anderson mendapatkan informasi lebih penting lagi tentang penyebab macan tutul itu menjadi pemangsa manusia setelah mengetahui bahwa setahun berselang terjadi wabah kolera yang memakan banyak korban. Menganggap wabah itu sebagai  bentuk kutukan, warga hanya membuang mayat-mayat korban wabah itu ke hutan dan tanpa menguburnya atau meng­kre­masinya. Banyaknya mayat itu menjadi sumber makanan tambahan cuma-cuma bagi macan tutul dan dari sinilah ia mengenal rasa daging manusia. Kemudian setelah kakinya terluka dan mem­buatnya kesu­litan menangkap binatang buruan, ia pun mengalihkan sepe­nuhnya mangsanya kepada manusia.
Selanjutnya, setelah menimbang bahwa macan tutul tersebut tidak akan melakukan aksinya berturut-turut di satu tempat, terlebih de­ngan pengalamannya bertemu dengan Anderson, ia memutuskan untuk berpindah perburuan ke Devarabetta, sebuah dusun berjarak 18 mil di sebelah barat-daya Gumalapuram, melintasi dua buah bukit yang diliputi hutan lebat dimana macan tutul tersebut sebelumnya telah memangsa lima orang dan belum didatangani lagi olehnya selama sebulan terakhir. Setelah makan siang, Anderson pun berjalan menuju Devarabetta, melintasi jalan yang membelah kedua bukit yang di tengah-tengahnya mengalir sungai kecil. Di sini Anderson melihat jejak kaki harimau jantan besar yang beberapa waktu sebelumnya telah menyeberangi sungai. Pada pukul 17.00 Anderson tiba di Devarabetta, pada saat seluruh warga bersiap-siap untuk meng­urung diri di dalam rumahnya.
Sebagaimana awalnya di Gumalapuram, Anderson pun mengalami ke­sulitan untuk mengorek informasi tentang macan tutul pemangsa. Na­mun dari sebuah perbincangan singkat, warga memperkirakan macan tutul akan datang tidak lama lagi setelah kedatangan terakhir sebulan berselang. Kemudian, seperti malam pertama di Gumalapuram, Anderson memutuskan untuk menunggu di luar rumah yang paling tinggi dindingnya di dusun, dengan pung­gung membelakangi dinding untuk menghindari serangan dari be­lakang. Dan untuk melindungi diri dari serangan dari atas, atap ru­mah itu dilapisi dengan semak-semak berduri yang didapatkan de­ngan susah payah. Hanya dengan perlindungan senjata saja warga mau ber­jalan ke sudut dusun untuk memotong semak-semak berduri.
Devarabetta adalah dusun yang lebih kecil dibandingkan Guma­la­puram, namun letaknya yang sangat dekat dengan hutan mem­be­rikan keuntungan bagi Anderson untuk mengetahui kedatangan macan tutul pemangsa dari suara-suara binatang hutan yang mendeteksi keda­tangan binatang pemangsa.

Malam turun dengan cepat dengan bulan baru yang masih terlalu kecil untuk memberikan sinarnya. Binatang-binatang malam, baik dari jenis burung-bu­rung maupun serangga, menggantikan suara saudara-sau­da­ra me­reka di siang hari. Pada pukul 8.30 teriakan rusa sambar yang mendeteksi kedatangan binatang pemangsa terdengar dari tengah hutan. Anderson pun meningkatkan kewaspadaan. Beberapa menit kemudian terdengar auman harimau yang ia yakin adalah harimau yang jejaknya ia lihat saat berjalan melintasi hutan.
Waktu berlalu dan kemudian di tengah-tengah jalan yang melintas tepat di tengah dusun Anderson melihat sesuatu bergerak. Cahaya remang-remang dari jutaan bintang dan bulan sabit muda tidak bisa memberikan penerangan yang jelas untuk mengetahui apakah benda itu. Apakah itu adalah macan tutul pemangsa? Tapi mengapa ia berjalan tepat di tengah-tengah jalan? Tidak seperti saudara tuanya harimau yang lebih percaya diri, bukankah ia terkenal dengan sifatnya yang pemalu dan tidak suka menampakkan diri saat mengin­tai mang­sanya? Kalaupun harus berjalan di jalan ia lebih suka berjalan di ping­giran, sejauh mungkin menyembunyikan diri dari penglihatan ma­nu­sia. Tiga puluh meter darinya, binatang itu masih berjalan di tengah ja­lan tanpa berusaha menyembunyikan diri. Namun masih belum jelas ju­ga apakah binatang itu. Baru setelah jaraknya dari Anderson hanya se­kitar 20 meter, benda itu mulai menampakkan wujud sebenarnya. Ia a­da­lah seekor anjing pariah, atau anjing jenis piaraan yang hidupnya meng­­gelan­dang sendirian karena tidak ada tuan yang mau meme­liha­ranya.
Merasa iba dengan anjing yang tampak kurus dan kelaparan, Ander­son memanggilnya dan memberikan sepotong biskuit dan sandwitch. Mungkin karena kelelahan setelah berhari-hari berjalan mencari ma­kan, anjing itu tertidur di bawah kaki Anderson. Anderson pun mem­biarkannya dan melanjutkan pengintaian.
Lewat tengah malam suara burung malam kembali terdengar. Detik demi detik, menit demi menit dan jam demi jam berlalu tanpa sedikit pun Anderson mengendorkan perhatiannya. Tiba-tiba terdengar suara kawanan burung plover dari pinggir dusun. Pada saat bersamaan, anjing pariah di bawah kaki Anderson terbangun, menegakkan kepala namun kemudian kembali tertidur seperti tidak ada apapun yang perlu dikhawatirkan.
Namun beberapa menit kemudian anjing ini tiba-tiba bangkit dari tidurnya. Telinganya bergerak-gerak dan mengeram-eram dengan matanya tertuju pada jalan yang membelah dusun ke arah suara burung plover tadi.
Anderson pun memusatkan pandangannya ke arah itu dan ia melihat se­suatu yang bergerak. Menempatkan jari tangan kirinya di atas tom­bol lampu senter, Anderson menunggu benda itu bergerak lebih dekat. Me­nit demi menit pun berlalu dan pada menit ke 15, menurut per­hitungan Anderson, benda itu kembali bergerak, melompat ke atap se­buah gubuk sekitar 20 meter dari Anderson. Di sekitar tempat itu se­mua rumah dan gubuk berdiri berderetan dan Anderson mem­per­ki­ra­kan macan tutul itu tengah mengintai dirinya daripada mengincar peng­huni gubuk.
Menyadari dirinya tengah terancam, Anderson pun mundur kembali ke dinding rumah yang memberinya perlindungan dari serangan dari arah belakang. Demikian juga dengan atap yang sudah dilapisi semak berduri menjadi perlindungan baginya. Dengan jari tangan kanan siap menarik pelatuk senapan dan jari tangan kiri di atas tombol lampu senter Anderson pun siap menghadapi segala kemungkinan. Beberapa detik kemudian terdengar bunyi  gemeresek di atas atap, meng­indikasikan macan tutul itu berusaha menerobos semak-semak berduri yang diletakkan di atas atap. Namun kemudian suara itu meng­hilang, mengindikasikan macan tutul membatalkan niatnya me­nerobos semak-semak itu.

Lima belas menit berlalu dengan ketegangan menyelimuti diri Anderson. Matanya tidak berhenti menyisir segala sudut pandangan , berusaha menemukan macan tutul itu berada saat hendak memulai serangannya sehingga ia memiliki kesempatan untuk menembaknya sebelum binatang pemangsa itu meraih tubuhnya.
Kemudian dengan tanpa diduga, anjing pariah yang selama ke­te­gang­an itu berlangsung tampak gelisah dan mengerahkan seluruh panca indranya mengamati segala situasi, berlari ke tengah jalan dusun dan menyalak ke sudut rumah yang bersebelahan dengan rumah tempat Anderson berlindung. Tindakan berani anjing itu membuat Anderson mengetahui bahwa macan tutul itu tengah bersiap untuk menye­rang­nya dari arah yang ditunjuk anjing pariah itu. Benar saja, beberapa detik kemudian macan itu melompat, melewati sudut rumah dan bergerak langsung ke arahnya untuk melakukan terkaman. Namun, Anderson yang sudah mengantisipasinya menekan tombol lampu senter dan dalam waktu yang hampir bersamaan mengarahkan sena­pannya dan manarik pelatuk Winchester 0.405-nya. Peluru senapan itu menembus dada macan tutul itu, namun energi kinetik yang dibawa macan itu dengan kecepatan lari dan berat badannya terlalu kuat untuk dihentikan oleh tembakan peluru. Macan itu tetap mengarah kepa­da­nya. Secepat kilat Anderson mengelak dari tumbukan badan macan itu, dan saat macan itu berada di sampingnya, Anderson kembali melontarkan peluru senapannya, dua kali berturutan.
Macan tutul itu pun tumbang dan tidak bangun lagi. Ekornya menegang dan rahangnya terbuka mengeluarkan erangan yang penghabisan saat anjing pariah yang telah menyelamatkan Anderson itu menancapkan gigi-giginya di tenggorokan binatang pemangsa manusia itu.

Berakhirlah sudah teror sang ‘iblis tutul dari Gumalapuram’. Ketika menguliti binatang pemangsa manusia ini Andeson mendapatkan bah­wa cacat di kaki depan binatang ini disebabkan oleh duri landak yang menancap hingga menembus tulang dan tidak bisa dike­luar­kan­nya. Meski lebih cerdik dibandingkan harimau saat memangsa landak, yaitu dengan menyerang sisi bawah binatang berbulu tajam ini yang relatif kurang terlindungi, tetap saja kecerobohan kecil bisa mem­buat­nya menderita dan bisa mengubahnya menjadi binatang paling membahayakan bagi manusia.
Anderson membawa pulang anjing pariah itu dan memberinya nama Nipper. Anderson bersyukur telah menolong binatang ini dengan beberapa potong makanan, karena binatang ini kemudian mem­balas­nya dengan balasan yang tidak ternilai, yaitu nyawanya.
***

 Catatan: tulisan ini adalah bagian dari buku yang tengah ditulis blogger Inndonesian Free Press.

1 comment:

kasamago said...

si Nipper serasa makhluk yg diturunkan Tuhan bagi Anderson...
ditunggu kisah berikutnya.


kasamago.com | Yakena.com