Sunday, 25 October 2009

Runtuhnya Moral Pasukan NATO di Afghanistan


Berbagai laporan mengenai kondisi di medan perang Afghanistan akhir-akhir ini telah menunjukkan runtuhnya moral di kalangan pasukan NATO dan hilangnya harapan mereka untuk dapat meraih kemenangan. Mereka juga banyak yang mempertanyakan tujuan apa mereka harus mempertaruhkan nyawanya di negeri orang.

Pada tgl 8 Oktober lalu media massa Inggris London Times mempublikasikan beberapa komentar dari personil militer Amerika di Afghanistan termasuk mereka yang berasal dari satuan tempur elit 10th Mountain Division yang selama tiga bulan terakhir terlibat dalam pertempuran sengit melawan gerlyawan Afghanistan di propinsi Wardak, sebelah selatan Kabul. Dari 1.500 pasukan di satuan itu, 19 orang tewas dalam pertempuran, 1 orang tewas bunuh diri, dan 100 menderita luka-luka serius. Patroli-patroli mereka telah dihantam oleh 180 ledakan ranjau berdaya ledak tinggi (improvised explosive devices). Lebih dari 100 serangan bom berhasil dideteksi sebelum meledak.

Ironisnya mereka sangat jarang bertemu langsung dengan para gerilyawan yang membaur dengan masyrakat setempat yang mereka pikir mendukung tentara pendudukan.

Seorang kapten dari batalion artileri mengatakan, "Semua tentara yang Anda ada merasa putus asa. Mereka merasa telah mempertaruhkan nyawanya untuk kemajuan yang absurd. Mereka capai, stress, bingung dan hanya ingin pulang."

Seorang kapten lainnya mengatakan kepada Times: "Banyak tentara memandang diri mereka sebagai sesuatu yang tidak berguna dan marah dengan keberadaan mereka di sini. Mereka merasa sangat depresi dan putus asa dan hanya ingin kembali ke tengah-tengah keluarganya. Angka perceraian melonjak tajam. Penyakit Post Traumatic Stress Disorder jauh di luar skala kewajaran. Ada ratusan tentara cacat yang dipulangkan dan menjadi beban keluarganya."

Erika Cheney, seorang psikolog ketentaraan mengatakan, "Mereka lelah, frustasi, takut. Kebanyakan mereka takut melakukan patroli."

Seorang prajurit muda, Raquime Mercer, mengatakan, "Kita telah kalah. Itu yang saya rasakan. Saya masih belum memahami mengapa kita berada di sini. Saya ingin mengetahui pasti alasan mengapa saya harus menanggung resiko terluka atau bahkan meninggal. Pertanyaan besar para prajurit adalah apa yang bisa kita lakukan untuk menghentikan perang ini? Menangkap seorang musuh? Menyerang sebuah obyek sasaran? Tentara lebih membutuhkan jawaban mengenai alasan perang ini daripada menghancurkan Taliban yang kami lihat sangat mustahil dilakukan. Sangatlah sulit menangkap seorang musuh yang tidak terlihat."

Rasa frustrasi, ketakutan dan korban yang berjatuhan di antara tentara pendudukan bisa mendorong terjadinya aksi-aksi balas dendam yang di luar kendali oleh para tentara pendudukan terhadap penduduk sipil. Hal ini telah biasa terjadi pada perang-perang kolonial jaman dahulu.

Seorang tentara spesialis Eric Petty mengatakan kepada the Times, "Para tentara sangat marah kehilangan rekan-rekan mereka yang akan menolong penduduk sipil yang ternyata memusuhi mereka. Kami telah memberikan banyak bantuan kepada mereka dan mereka tetap memusuhi kami. Mereka mengatakan tidak ada gerilyawan Taliban. Namun saat Anda baru berjalan 10 langkah, gerilyawan menembaki Anda dari rumah mereka."

Kondisi yang sama dihadapi oleh tentara Inggris yang beroperasi di propinsi Helmand. Kesatuan tentara di sana, 2nd Rifles, telah kehilangan 100 anggotanya dari total 500 anggotanya sejak April. Tingkat kematian itu sama dengan masa-masa paling intensif dalam Perang Dunia II.

Seorang kopral mengatakan, "Tidak seorang pun dengan sukarela bersedia melakukan patroli keluar. Dan saya tidak pernah menjumpai seorang prajurit yang berbicara tentang kemenangan."

Delapan tahun sudah pasukan NATO berperang di Afghanistan dalam apa yang mereka sebut "perang melawan terorisme". Para prajurit di garis depan harus menghadapi maut hanya untuk melindungi sebuah regim boneka yang tidak berdaya menjalankan fungsinya sendiri. Kebanyakan alasan mereka bergabung menjadi tentara adalah karena masalah ekonomi. Dengan tingkat upah yang rendah dan tingkat pengangguran yang tinggi, menjadi tentara adalah sebuah alternatif yang baik menurut mereka sebelum menghadapi kondisi perang yang sebenarnya.

Persepsi "perang kotor" atau "perang illegal" di mata para prajurit atas apa yang mereka lalukan di Irak dan Afghanistan telah membuat tingkat stress yang tinggi di antara para prajurit. Sekitar 20-30% dari para veteran yang kembali ke negerinya, mengalami penyakit jiwa akut yang berujung pada bunuh diri dan tindakan-tindakan kriminal.

Saat ini ada sekitar 20.000 mantan prajurit Inggris menghuni penjara-penjara atau menjalani tanahan luar. Tingkat kriminalitas yang berujung pada penahanan di kalangan veteran perang Inggris meningkat 30% selama lima tahun terakhir. Seorang perwira Inggris mengatakan kepada Guardian bulan lalu, "Ada banyak bukti yang menunjukkan para prajurit tidak mendapatkan bekal yang cukup setelah meninggalkan dinas."

Sementara itu menurut laporan British Mirror sebanyak 67 orang veteran perang Afghanistan dan Irak telah melakukan tindakan bunuh diri sejak tahun 2001. Di luar itu masih ada 31 kasus bunuh diri lainnya yang dicurigai terkait dengan keruntuhan moral paska perang Afghanistan dan Irak.

Kasus terakhir awal bulan Oktober ini seorang prajurit komando marinir berumur 28 tahun, Dylan Kemp, menggantung diri tujuh bulan setelah pulang ke tanah air dari Afghanistan. Sebelumnya ia sempat ditangkap polisi karena membuat keributan di jalanan dan memukuli teman wanitanya. Seorang temannya berkomentar kepada the Mirror, "Perang Afghanistan telah mendorongnya ke pojok. Ia pernah mengatakan banyak di antara teman-teman sesama prajurit akan mengakhiri hidupnya sendiri. Ia penuh dengan kemarahan. Penyakit mentalnya tidak dapat disembuhkan kecuali dengan kematian."

Angka bunuh diri di antara veteran perang Amerika juga terus meningkat tajam. Sampai akhir September lalu terdapat 117 kasus bunuh diri di kalangan angkatan darat dan 38 kasus di kalangan marinir ditambah 35 kasus lainnya yang diduga terkait dengan sebab yang sama. Peningkatan angka bunuh diri di kalangan marinir melonjak 20% tahun ini. Kebanyakan anggota marinir dan tentara angkatan darat yang bunuh diri itu adalah veteran perang Afghanistan dan Irak.

No comments: