Thursday, 1 October 2009

KEBOHONGAN PERS DAN PEMILU IRAN



Jika kita tengok pada editorial-editorial kami yang mendorong peperangan, kami menyatakannya sebagai fakta mengenai dugaan Saddam Hussein mempunyai senjata pemunah massal. Jika hal itu ternyata tidak benar, kami lebih baik tidak memberitakannya.” (Fred Hiatt, editor Washington Post dalam Columbia Journalism Review, March/April 2004).



Situs WorldPublicOpinion.org membayar seorang seorang warga Iran asli untuk melakukan wawancara dengan 1.003 warga Iran di seluruh negeri antara 27 Agustus hingga 10 September dan menemukan fakta bahwa 81 di antara mereka percaya pada kemenangan Mahmoud Ahmadinejad dalam pemilu Juni lalu. Hanya 10% yang menganggap kemenangannya tidak sah dan 8% tidak berkomentar.

Margin 8 banding 1 ini memberi legitimasi kuat hasil pemilu yang dinyatakan oleh lembaga penyelenggara pemilu yang memberikan kemenangan kepada Ahmadinejad. Ini bertolak belakang dengan opini yang dikembangkan media massa Amerika yang memberikan simpati pada para demonstran anarkis oposisi penentang hasil pemilu.

Dalam minggu-minggu terakhir para jurnalis top Amerika bahkan telah menganggap kemenangan Ahmadinejad bukan lagi sebagai sebuah "kemungkinan" melainkan sebagai sebuah fakta. Editor Washington Post David Ignatius (penanggungjawab insiden KTT Davos awal tahun ini yang membuat PM Turki Reccep Erdogan walk out dari konperensi karena diperlakukan tidak adil dalam sesi perdebatan dengan presiden Israel) menulis dalam editorial tgl 10 September bahwa "beberapa analis berpendapat Ahmadinejad dan regim penguasa Iran telah melakukan kudeta internal dengan memanipulasi hasil pemilu dan menumpas para demonstran oposan."

Hingga kini tuduhan-tuduhan kecurangan pemilu Iran masih sangat lembah dan justru menunjukkan ketidakbenarannya sendiri. Sebagai contoh tuduhan bahwa pengumuman kemenangan Ahmadinejad terlalu cepat bertolak belakang dengan kenyataan bahwa Mir Mousavi, kandidat kubu oposisi justru melakukan klaim kemenangan terlebih dahulu meski penghitungan resmi dari awal menunjukkan kemenangan Ahmadinejad. Ini sekaligus menunjukkan kecurigaan, Mir Mousavi melakukan faith accomply untuk menjadi dasar bagi tuntutan yang akan diajukannya kemudian karena ia justru telah mengetahui kekalahannya dari awal.

Tuduhan lain lain adalah klaim kemenangan Mousavi di wilayah-wilayah dominan etnis Azeri (etnis Mousavi) bertolak belakang dengan beberapa jajak pendapat yang dilakukan sebelum pemilu (dan tentunya juga bertentangan dengan hasil penghitungan resmi) yang dilakukan oleh lembaga-lembaga independen termasuk dari Amerika sendiri. Sebuah jajak pendapat yang dilakukan oleh New America Foundation menunjukkan kemenangan Ahmadinejad dengan margin 2 banding 1 di wilayah itu. Hasil jajak pendapat yang juga dipublikasikan di Washington Post itu bahkan menemukan fakta mengejutkan lainnya, yaitu generasi muda berumur 18-24 tahun justru menjadi pemilih fanatik Ahmadinejad, bertolak belakang dengan klaim pers barat dan kubu oposisi bahwa generasi muda lebih menyukai Mousavi.

Segala cara dilakukan Mousavi dan pendukungnya untuk mendeligitimasi hasil pemilu. Di antaranya menuduh Ahmadinejad menggunakan senjata suap. Alasannya sangat mengada-ada: Ahmadinejad gencar melakukan kebijakan populis seperti menaikkan upah buruh dan mencurahkan pembangunan di daerah-daerah tertinggal. Padahal tidak ada tuduhan semacam itu di manapun di dunia dimana program sosial-ekonomi pemerintah dianggap sebagai suap.

"Matilah dengan kentang itu!". Demikian salah satu pamflet yang diusung oleh para demonstran oposisi merujuk pada program bantuan pangan Ahmadinejad untuk rakyat miskin.

Yang lebih tragis adalah para demonstran juga mengecam Rusia dan Cina yang mendukung Iran soal nuklir Iran. "Matilah Rusia dan Cina!" teriak para demonstran oposisi mengecam dua negara yang justru telah memberikan dukungan kepada negara sendiri.

Kecurigaan bahwa Mousavi dan pendukungnya di barat mengada-ada dalam tuduhan-tuduhannya diperkuat lagi dengan penolakan Mousavi tawaran KPU Iran untuk mengadakan penghitungan ulang (Bahkan KPU Indonesia tidak berani menawarkan kompromi seperti itu saat kubu "oposisi" menuduh adanya kecurangan dalam pemilu legislatif dan presiden baru-baru ini). Mousavi ngotot diadakan pemilu ulang. (Bahkan kubu "oposisi" Indonesia tidak berani mengajukan tuntutan se-ekstrim itu).

"Bahkan penghitungan ulang tidak dapat menghapuskan kecurangan. Siapa menjamin surat suara yang dihitung adalah valid?" demikian bunyi editorial New York Times mendukung tuntutan Mousavi. Penolakan Mousavi tidak lain karena ketakutannya bahwa klaim-klaim yang dilakukannya terbukti bohong.

Sama seperti opini yang dikembangkan media massa Amerika dan barat soal senjata pemusnah massal Irak yang kemudian terbukti sebagai sebuah kebohongan. Namun tidak ada sangsi bagi para jurnalis "tukang fitnah" tersebut. Fred Hiatt tetap duduk dalam kursi jabatannya, meski karena ulahnya serta ulah rekan-rekannya yang lain, Amerika mengobarkan perang ilegal di Irak hingga menimbulkan korban ratusan ribu jiwa rakyat Irak yang tidak berdosa, ditambah ribuan tentara Amerika yang tewas sia-sia karena tidak tahu hal sebenarnya untuk apa mereka berperang.

Dan sepertinya kampenya "kebohongan" mengenai Iran akan berakhir seperti di Irak setelah media massa Amerika (dan juga barat) terus-menerus menyebarkan tuduhan ilegal yang dilakukan para pemimpin barat bahwa Iran telah mengembangkan senjata nuklir secara ilegal yang mana hal itu menjadi alasan untuk menyerang Iran. Fakta yang sebenarnya adalah Iran adalah anggota IAEA yang program nuklirnya berada dalam "koridor" hukum internasional. Berbeda dengan Israel yang program nuklirnya adalah ilegal karena bukan anggota IAEA.


Keterangan gambar: demonstran penentang dan pendukung Ahmadinejad. Dengan apa yang dibawa oleh kedua kelompok tersebut tampak jelas, siapa pembela negara dan siapa pengkhianat nengara.

No comments: