Saturday 29 January 2011

SANG TERPILIH (23)


"Sri Mulyati is back!" Demikian judul headline sebuah koran nasional Indungsia mencermati kembalinya Sri Mulyati ke kancah politik. Memang paska didapuk George Soros menjadi salah seorang eksekutif IMF, yang bersangkutan belum pernah menampakkan sunggingan senyumnya yang agak agak miring sebelah dan kontur wajahnya yang cenderung "gino" alias gigi nongol sedikit itu.

Tapi mengapa ia dianggap telah "kembali" ke tanah air? Tidak lain setelah para pendukung setianya ramai-ramai membuat sebuah "move" politik dengan melakukan gerakan yang mereka namakan Gerakan Rakyat Anti Mafia Hukum atau Geram. Gerakan ini membonceng isu mafia hukum yang tengah santer menjadi pembicaraan masyarakat Indungsia, sekaligus peringatan pada lawan-lawan Sri Mulati bahwa yang bersangkutan masih memiliki taji dan siap bersaing di dunia politik, khususnya menjelang pemilihan presiden tahun 2014 atau bila mungkin tahun yang dipercepat lagi mengingat popularitas Subagyo yang semakin anjlok dan tuntutan mundur mulai sering disuarakan masyarakat.

Geram dimotori oleh para pendukung Sri Mulyati seperti wartawan senior dan mantan agen utama CIA di Indungsia, Gunawan M Ahmad, dan seorang mantan jubir kepresidenan Miwar Siular. Heloh S Namidub (nama sebenarnya cukup dengan membaliknya menjadi Budiman Sholeh) yang juga mantan wartawan senior dan kini menjadi dirut BUMN strategis tentu saja tidak memperlihatkan diri sebagai pendukung gerakan itu karena telah menjadi bagian dari pemerintahan Subagyo. Apalagi setelah santer terdengar kabar dirinya akan dipromosikan menjadi seorang menteri oleh Subagyo. Namun diam-diam ia tetap menjalin komunikasi intens dengan teman-temannya pendukung Sri Mulyati.

Sri Mulyati dan para pendukungnya merupakan faksi lain bentukan "organisasi" selain faksinya Subagyo, faksi Demokrat Nasional dan faksi-faksi lainnya. Mereka semuanya sengaja didorong oleh "organisasi" untuk saling bersaing memperebutkan kekuasaan untuk mengesankan kepada publik bahwa demokrasi berjalan baik di Indungsia sembari menutup kelompok-kelompok di luar faksi-faksi "organisasi" untuk menikmati kekuasaan. "Organisasi" dan faksi-faksi bentukannya telah menjadi mafia politik Indungsia. Siapapun yang ingin menikmati kekuasaan mau tidak mau harus bergabung dengan mereka. Dengan persaingan-persaingan yang intens dan disorot media massa tersebut juga menjadi daya pengalih perhatian yang sempurna sehingga rakyat tidak sempat menaruh perhatian pada masalah-masalah yang jauh lebih mendasar seperti kemiskinan, korupsi, dan dominasi asing yang semakin rakus mengeruk kekayaan Indungsia.

Para politisi, pakar, ilmuan dan tokoh-tokoh masyarakat yang tergabung dengan faksi-faksi tersebut kebanyakan tidak menyadari bahwa mereka hanya "pion" dalam konstelasi politik, yang setiap saat bisa menjadi "superstar mendadak" atau "dibuang ke bak sampah". Terutama "tokoh baru muncul" dari daerah dan tokoh-tokoh agama. Namun mereka yang sadar akan bermain cantik di dua tiga kaki. Seperti Heloh S Namidub. Jika Subagyo jatuh, ia masih bisa berharap pada faksinya Sri Mulyati.

Meski pemilihan presiden masih tiga tahun lagi, namun popularitas Subagyo yang merosot karena "kemandulannya" sebagai presiden, membuat faksi-faksi saingannya gencar melakukan gerakan penggoyangan terhadap Subagyo. Sedikit banyak mereka berharap Subagyo akan lengser sebelum 2013 dan mereka memiliki kesempatan untuk menggantikannya duduk di kursi kekuasaan. Setidaknya gerakan-gerakan penggoyangan terhadap Subagyo itu bisa dijadikan investasi politik menjelang pemilihan presiden mendatang. Mereka ingin tampak di masyarakat sebagai orang-orang yang peduli dengan rakyat, bangsa dan negara, meski kenyataannya tentu saja tidak.

Adapun isu mafia hukum yang menjadi boncengan faksi Sri Mulyati muncul di awal pemerintahan Subagyo berkat informasi yang dibuka oleh seorang jendral polisi yang kecewa faksinya di kepolisian tersingkir dari kepemimpinan kepolisian. Informasi itu selanjutnya menjadi bola liar yang membongkar jaringan mafia pajak dan mafia hukum di Indungsia yang melibatkan faksi-faksi politik utama Indungsia, termasuk Subagyo. Untuk mengendalikan bola liar tersebut Subagyo membentuk tim pemberantasan mafia hukum. Namun faksi-faksi saingannya berhasil membongkar motif politik di balik tim tersebut, yaitu melindungi keterlibatan faksi Subagyo dalam mafia pajak dan menimpakan kesalahan pada faksi saingannya. Mengetahui motif tersebut faksi-faksi saingan Subagyo pun melakukan langkah-langkah tandingan, di antaranya dengan melakukan berbagai gerakan politik, termasuk menggunakan tangan para tokoh agama. Langkah terakhir mereka adalah menggalang dukungan bagi pembentukan pansus mafia pajak dan mafia hukum yang bila berjalan bisa membongkar keterlibatan Subagyo dalam mafia pajak dan hukum yang berujung pada pamakzulan terhadapnya.

Untuk mencegah hal itu terjadi, Subagyo memerintahkan aparat penegak hukumnya untuk mendahuluinya dengan melakukan penangkapan terhadap beberapa tokoh politik faksi saingan terkait kasus suap pemilihan gubernur bank sentral yang kasusnya sebenarnya telah terjadi beberapa tahun lalu. Subagyo berharap langkahnya itu akan menciutkan nyali pesaing-pesaingnya dan membatalkan pembentukan pansus.

Dengan demikian kasus mafia hukum dan mafia pajak akan berhenti tanpa hasil nyata sebagaimana kasus bank Centurion, menyisakan Jayusman sendirian di dalam tahanan dan membiarkan para pengusaha pengemplang pajak, birokrat pajak, dan para politisi busuk di pemerintahan menikmati puluhan triliun omset bisnis mafia pajak setiap tahun. Para mafia hukum dan mafia pajak akan bernapas lega dan penggung sandiwara politik akan diwarnai dengan lakon baru.


courtesy of http://noenkcahyana.blogspot.com/2011/01/back-up-negara-superkan-gayus.html

1 comment:

Anonymous said...

Saya baru baca blog Anda. :D
Saya ingin baca-baca dulu.
Salam kenal dari Medan

Nirwan