Thursday, 13 January 2011
Sayyed Sadr Sang Pemenang
Setelah tiga tahun "hijrah" ke Iran menyusul pertikaian bersenjata yang melibatkan milisi pendukungnya melawan pasukan pemerintah dukungan Amerika, Sayyed Moqtada A-Sadr telah kembali ke Irak, Rabu (5/1). Bila saat meninggalkan Irak tiga tahun lalu statusnya sebagai pelarian, kini statusnya berubah 180 derajat, sebagai pemenang. Koran terkenal Inggris, The Independent, menulis kepulangan Sadr tersebut dengan artikel yang menyebutkannya "telah memainkan perannya dengan baik".
Hal pertama yang dilakukan Sadr setelah kembali ke Irak, adalah mengunjungi makam Imam Ali, dilanjutkan dengan kunjungan ke makam ayahnya Ayatollah Mohammed Sadeq al-Sadr, dan terakhir mengunjungi keluarganya di Hanana. Sepanjang kedatangannya ratusan pendukungnya terus-menerus mengelu-elukannya.
Setelah pertempuran sengit antara milisi pendukungnya melawan tentara pemerintah dan disusul dengan perintah penangkapan atas dirinya tiga tahun lalu, Sadr "menyelamatkan diri" ke Iran dan menghabiskan waktunya dengan belajar agama di kota suci Qom. Kini ia telah kembali dengan membawa kemenangan, setelah perdana menteri terpilih, Nuri Al Maliki, orang yang sama yang telah memeranginya tiga tahun lalu, mengajaknya bergabung dalam pemerintahan dengan memberikan tujuh posisi kementrian kepada partai yang dibentuknya. Partai Sadr sendiri berdasarkan pemilu terakhir baru-baru ini berhasil merebut 39 kursi di parlemen.
Menurut The Independent, meski menjadi "musuh nomor satu" Amerika di Irak dan menjadi ikon gerakan perlawanan atas pendudukan Amerika, Amerika "terpaksa" membiarkan Sadr kembali ke Irak daripada menjadikannya alat kepentingan Iran.
Pimpinan redaksi surat kabar Al Quds Al-Arabi, Abdel Bari Atwan, dalam wawancara dengan televisi Al Jazeera mengatakan bahwa al-Sadr kembali ke Irak pada saat yang sangat krusial.
"Ia kembali untuk memimpin. Bukan duduk di kantornya di Najaf untuk menerima kunjungan pengikutnya. Ia kembali untuk mengkonsolidasikan pendukung-pendukungnya, untuk memanen hasil dari keterlibatannya dalam pemerintahan. Tanpa dirinya, Irak tidak akan mempunyai pemerintah. Maliki tidak akan menjadi perdana menteri," kata Atwan seraya menekankan bahwa kepergian Sadr ke Iran dulu bukanlah untuk melarikan diri, melainkan untuk memperdalam ilmu agama.
Namun Atwan juga mengkhawatirkan Sadr akan menjadi sasaran politik lawan-lawannya. "Ada kekhawatiran bahwa seseorang akan mengincarnya. Jika Anda menyadari banyaknya musuh dirinya yang akan mencoba menciptakan kekacauan. Mereka akan mengincarnya. Pemerintah tidak berani "menyentuhnya" karena kepopulerannya di masyarakat, juga karena pengaruh politiknya," kata Atwan.
Terus Melawan
Meski telah menduduki kursi yang nyaman, Sayyed (gelar yang diberikan untuk keturunan Nabi Muhammad; blogger) Moqtada Sadr, tidak melupakan tugas sucinya: melawan pendudukan Amerika atas Irak. Pada pidato politik pertamanya setelah kembali ke Irak pada hari Sabtu (8/12) di Najaf, sembari meminta pendukungnya untuk memberikan dukungan pada pemerintahan yang baru terbentuk, Sadr menyerukan para pendukungnya untuk terus melakukan perlawanan terhadap pasukan pendudukan Amerika.
"Kita masih berperang!" seru Moqtada Sadr di hadapan ribuan pendukungnya, menyerukan perlawanan dengan segala cara. Sayyed Sadr menyebut Amerika, Inggris dan Israel sebagai "musuh masyarakat Irak".
"Ya, ya untuk Moqtada! Ya, ya untuk pemimpin kita!" sambut para pendukung Sadr sembari mengibar-ngibarkan bendera Irak dan bendera bergambar al-Sadr.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment