Sunday, 23 January 2011
LEBANON, YANG BELAJAR DAN YANG TIDAK
Walid Jumblatt, pimpinan kelompok Druze, dan Saad Hariri, tokoh Sunni Lebanon, adalah sekutu lama. Mereka bahu-membahu saling membantu bersama kelompok-kelompok politik kubu pemerintah menghadapi musuh-musuh mereka: kelompok oposisi yang dipimpin oleh Hizbollah. Persekutuan yang teguh mereka tunjukkan dalam masa-masa krisis Lebanon, baik sewaktu terjadi serangan Israel atas Lebanon tahun 2006 hingga terjadinya konflik bersenjata antara kubu pemerintah melawan oposisi tahun 2008.
Namun sejak tahun 2008 Jumblatt belajar bahwa Hizbollah adalah masa depan Lebanon dan Saad Hariri adalah masa lalu yang kelam. Sedangkan Hariri masih berilusi untuk terus berkuasa sembari melayani majikannya, Amerika-Israel-Saudi Arabia.
Belajar dari kegagalannya menghancurkan Hizbollah yang telah menjadi duri dalam daging Israel di Lebanon, Israel dengan dukungan Amerika dan dukungan diam-diam Arab Saudi menggunakan strategi baru: menghantam Hizbollah dengan menggunakan tangan orang-orang Lebanon sendiri. Dan orang-orang yang mereka cari mereka dapatkan pada kelompok politik yang disebut blok 14 Maret yang pro Amerika-Israel-Saudi dan anti Iran-Syria. Nama 14 Maret diambil dari peristiwa pawai akbar kelompok ini yang dilaksanakan tgl 14 Maret 2005, sebulan setelah peristiwa pemboman terhadap mantan PM Rafiq Hariri yang menjadi momentum menguatkan pengaruh Amerika-Israel-Saudi dan melemahnya pengaruh Syria-Iran karena tuduhan Syria sebagai dalam pembunuhan Hariri.
Blok 14 Maret terdiri dari partai (kelompok politik) Future Movement (Sunni), Lebanon Force (Kristen), Maronite (Kristen), Progressive Socialist Party (Druze) dan beberapa partai kecil lainnya. Mereka menguasai pemerintahan dengan pimpinan Future Movement sebagai perdana menteri, meski dalam pemerintahan persatuan yang terbentuk kemudian kelompok oposisi juga mendapat jatah kursi menteri. Adapun sebagai oposisi diisi oleh partai (kelompok politik) Hizbollah (Shiah), Amal (Shiah), Marada (Kristen), Change and Reform (Kristen Nasionalis), Syria Socialist Party, dan kelompok-kelompok kecil lainnya.
Paska serangan Israel atas Lebanon tahun 2006, dengan mengikuti skenario Amerika-Israel-Saudi untuk menghancurkan pengaruh Syria-Iran dengan sasaran utama Hizbollah, Blok 14 Maret yang saat itu dipimpin oleh PM Fuad Siniora, melakukan kampanye politik "menghantam" Hizbollah dengan berupaya mengganti komandan keamanan bandara internasional Beirut, yang dipegang oleh perwira tinggi pro Hizbollah dengan perwira lain yang pro Block 14 Maret. Mereka juga berupaya mengambil-alih jaringan komunikasi milik Hizbollah yang telah berjasa mengantar Hizbollah mengalahkan Israel dalam perang tahun 2006.
Hizbollah yang menganggap kedua hal tersebut sebagai urat nadinya dalam menghadapi Israel, tentu saja menolak. Dan ketika pemerintah (Blok 14 Maret) tetap memaksakan kehendaknya, Hizbollah dan sekutu-sekutunya bertindak cepat. Mereka menyerbu Beirut dan Lembah Bekaa dan dengan cepat menduduki basis-basis kekuatan Blok 14 Maret dan mengepung markas-markasnya, termasuk kediaman PM Fuad Siniora dan Walid Jumblatt.
Hizbollah hanya unjuk gigi dan mengingatkan Block 14 Maret untuk "tidak main-main" dengan Hizbollah. "Kalau saja kami menghendaki kekuasaan, besok pagi Fuad Siniora akan bangun di dalam penjara," kata pimpinan tertinggi Hizbollah, Sayyed Hasan Nasrallah kala itu. Siniora tetap dibiarkan menduduki kursi perdana menteri, tapi dengan posisi baru yang berbeda. Ia harus membatalkan tuntutannya atas isu keamanan bandara internasional dan jaringan telekomunikasi Hizbollah. Ia juga harus menyerahkan beberapa kursi kementrian kepada kelompok oposisi. Ia menjadi seorang perdana menteri pecundang yang tidak berani mengangkat wajahnya lagi setelah itu, terlebih lagi kini setelah tidak lagi menjabat.
Pada saat itu Walid Jumblatt yang berada di kubu pemerintah, menyadari, bahwa Hizbollah tidak saja tidak mungkin dikalahkan kelompoknya, tapi juga menyadari bahwa Amerika tidak pernah setia dengan janji-janjinya. Mereka membiarkannya dirinya berdarah-darah melawan Hizbollah tanpa memberikan bantuan sebagaimana dijanjikan. Maka ia memutuskan, untuk selanjutnya tidak lagi bergabung dengan blok 14 Maret.
Kini penerus Siniora, Saad Hariri, mencoba meniru apa yang telah dilakukan pendahulunya, menghantam Hizbollah demi melayani keinginan Amerika-Israel. Saad menyetujui pembentukan pengadilan internasional kasus pembunuhan ayahnya, Rafiq Hariri, dan membiayainya, meski sangat jelas pengadilan itu hanya menjadi alat kepentingan Israel untuk menghancurkan Hizbollah dan patronnya, Syria-Iran. Namun tidak seperti tahun 2008 di mana Hizbollah menurunkan milisi bersenjatanya untuk menggagalkan konspirasi pemerintah, mereka dan sekutu-sekutunya cukup menarik para menterinya di jajaran pemerintahan untuk membuat pemerintah secara otomatis ambruk.
Hariri boleh saja bermimpi masih bisa menduduki jabatannya kembali setelah sidang parlemen untuk pengangkatan perdana menteri yang segera akan diselenggarakan. Namun Hizbollah dan sekutu-sekutunya telah bertekad bulat untuk tidak memilih Hariri sebagai perdana menteri dan memilih figur lain dari kalangan Sunni. Dan dengan bergabungnya Walid Jumblatt dan partainya ke kubu oposisi, Hizbollah secara de fakto telah menjadi penguasa Lebanon, politik dan militer, dan Hariri serta sekutu-sekutunya hanya menjadi oposisi.
Catatan: Pada hari Jum'at (21/1) lalu Walid Jumblatt mengumumkan partainya akan bergabung ke kubu oposisi pimpinan Hizbollah dalam sidang parlemen untuk memilih perdana menteri mendatang. Dengan tujuh kursi milik partai Jumblatt, kubu oposisi akan memiliki suara mayoritas. Oposisi sendiri disebut-sebut akan mencalonkan mantan perdana menteri Omar Karami, sedang kubu 14 Maret tetap mencalonkan kembali Saad Hariri. Sesuai konstitusi kursi perdana menteri menjadi jatahnya kelompok Suni, sedang presiden dan ketua parlemen masing-masing menjadi jatahnya kelompok Kristen dan Shiah.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment