Monday 31 January 2011

Tanpa Mesir, Israel Pincang


Nasib penguasa Mesir Husni Mubarak yang tengah di ujung tanduk karena demo besar-besaran rakyatnya yang menuntutnya mundur membuat Israel dilanda kekhawatiran yang sangat serius. Mesir di bawah Mubarak, bersama Saudi Wahabiah, tidak bisa dibantah merupakan sekutu strategis Israel yang sangat vital bagi kepentingan Israel. Kesetiaan keduanya kepada Israel telah terbukti sangat kuat. Buktinya mereka diam seribu bahasa saat Israel menyerbu Gaza dan membunuhi rakyat Palestina di depan mata awal tahun 2009 lalu. Hanya Iran dan Hizbollah serta aktifis kemanusiaan yang secara diam-diam maupun terang-terangan membantu rakyat Gaza saat itu di tengah-tengah ketidak berdayaan negara-negara di dunia menghadapi Israel. Hizbollah bahkan sempat menembakkan roketnya ke Israel sebagai bentuk dukungan moril kepada rakyat Gaza meski harus menghadapi kecaman dari pemerintah Lebanon sendiri yang khawatir Israel akan membalas menyerang Lebanon. Sementara para ulama wahabiah justru melarang jihad ke Palestina.

Satu lagi sekutu kuat Israel di Timur Tengah, yaitu Turki, sejak setahun yang lalu telah "memutuskan" hubungan strategisnya dengan Israel menyusul tragedi kapal Mavi Marmara yang menewaskan 9 penduduk Turki.

Memang masih ada 2 sekutu strategis Israel lainnya, yaitu Jordania dan Otorits Palestina. Namun keduanya tidak sebanding dengan kekuatan Mesir dan Saudi. Apalagi Otoritas Palestina sendiri kini terancam posisinya menyusul terbongkarnya konspirasi jahat mereka bersama Israel terhadap rakyat Palestina sendiri. Sementara demonstrasi anti pemerintahan otoriter yang terinspirasi oleh keberhasilan rakyat Tunisia menurunkan regim Ben Ali dari kekuasaan, kini juga mulai merembet ke Yordania.

Kebijakan politik luar negeri Israel sangat tergantung pada persekutuannya dengan negara-negara tetangganya yang "moderat" seperti Mesir dan Saudi (negara-negara yang berani melawan Israel seperti Iran dan Hizbollah dicap sebagai "radikal", "setan" atau "teroris"). Setelah Perang Suez melawan Mesir tahun 1956, Israel mencari pesekutuan dengan negara-negara tetangganya yang non-Arab seperti Turki, Ethiopia dan Iran yang kala itu dipimpin oleh Raja Shah. Shah Iran kemudian menjadi sekutu kuat Israel yang membanjiri Israel dengan minyak murah dan uang dari perdagangan senjata kedua negara. Inteligen kedua negara bekerjasama bahu-membahu melawan Mesir dan negara-negara Arab lainnya yang kala itu tengah terlibat permusuhan dengan Israel.

Selanjutnya Israel berhasil menggaet Jordania dan Maroko sebagai sekutunya, meski "perselingkuhan" tersebut dilakukan secara rahasia karena takut rakyat kedua negara marah. "Perselingkuhan" serupa juga dijalin dengan pemimpin-pemimpin Kristen Lebanon, terutama keluarga Gemayel.

Pada akhir dekade 1970-an regim Shah Iran sebagai sekutu utama Israel ambruk dan digantikan regim theokrasi Shiah yang sangat anti-Israel, membuat Israel berupaya kuat menggaet Mesir untuk menjadi sekutunya meski harus menyerahkan kembali Sinai yang didudukinya sejak Perang 6 Hari tahun 1967, kepada Mesir. Upaya tersebut berhasil dengan ditandatanganinya Perjanjian Camp David yang harus ditebus dengan nyawa Presiden Anwar Sadat.

Pengganti Sadat, Mubarak, meneruskan kebijakan pro-Israel Sadat, meski di depan publik berusaha tampil tidak terlalu menyolok. Ia misalnya tidak pernah berkunjung ke Israel kecuali saat menghadiri pemakaman PM Israel Yitzak Rabin. Hubungan militer juga tidak terlalu istimewa yang ditandai tidak adanya latihan militer bersama kedua negara. Di tengah masyarakat Mesir yang membenci Israel, terutama karena kekejiannya terhadap rakyat Palestina, membuat hubungan kedua negara hanya dilakukan oleh para usahawan dan pejabat pemerintah.

Namun demikian hubungan dengan Mesir dan juga dengan Saudi, merupakan sesuatu yang sangat vital bagi Israel. Dengan Mesir dan Saudi "dalam genggaman" hampir tidak ada kekuatan Islam yang menjadi penghalang Israel. Mesir adalah negara Arab berbesar dan terkuat secara militer. Sedang Saudi adalah negara kaya dan dihormati karena statusnya sebagai "penjaga tempat suci" (meski status itu sekarang dipertanyakan karena keberadaan pangkalan-pangkalan militer Amerika-Israel di Saudi). Persekutuan tersebut membuat Israel leluasa mengkonsentrasikan pertanahan militernya di front utara berhadapan dengan Lebanon, Palestina dan Syria. Berkurangnya beban militer tersebut memungkinkan Israel meningkatkan perekonomiannya.

Mubarak telah menjadi presiden Mesir sejak Israel dipimpin oleh Menachim Begin, dan masih tetap berkuasa meski perdana menteri Israel telah berganti delapan orang. Ia mempunyai kedekatan pribadi dengan Yitzhak Rabin dan Benjamin Netanyahu. Sejak dua tahun lalu, di tengah macetnya perundingan damai Palestina-Israel serta memburuknya reputasi Netanyahu di mata bangsa-bangsa Arab karena gaya pemerintahannya yang radikal, Mubarak masih bisa bertemu dengannya di Cairo dan di Sharm el-Sheikh.

Kedekatan hubungan kedua pemimpin tersebut didasari pada kekhawatiran bersama terhadap pengaruh Iran yang semakin meningkat serta menguatnya Islamisme di negara-negara Islam, plus kebijakan politik Partai Demokrat di bawah Barack Obama yang menjauhkan diri dari kepentingan kedua negara dan lebih berkonsentrasi di Irak, Afghanistan dan Pakistan.

Jika Mubarak tumbang, Israel harus mencari sekutu pengganti yang "sekelas". Harapan itu bisa disematkan kepada Syria, negara Arab terkuat setelah Irak dan Mesir. Namun tumbangnya pemerintahan Ben Ali dan bakal tumbangnya Mubarak, plus tumbangnya regim oportunis Saad Hariri di Lebanon, memberi peringatan kepada pemimpin-pemimpin Arab untuk tetap memainkan aturan lama: "konfrontasi Arab-Israel" atau kehilangan popularitas dan kekuasaan.

No comments: