Indonesian Free Press -- "Aliansi anti-Iran antara Amerika, Israel dan Saudi Arabia berantakan," tulis media terkemuka Israel Haaretz, Kamis (3 Oktober) setelah pemimpin de-facto Saudi, Pangeran Mohammad bin Salman (MBS) mengatakan bahwa perang melawan Iran hanya akan membuat kehancuran ekonomi global.
Pernyataan MBS tersebut bertolak belakang dengan retorika-retorika perang yang disampaikannya setelah terjadinya serangan drone terhadap kilang minyak Aramco pertengahan September lalu yang menghancurkan produksi minyak saudi hingga 50% lebih.
"Tidak saja serangan yang canggih dan mematikan atas pangkalan minyak Saudi yang berlalu tanpa aksi balasan dari Saudi dan Amerika, Saudi Arabia bahkan menyatakan keinginan berdialog dengan Tehran,” tambah Haaretz.
Saudi patut bersikap demikian setelah harapannya untuk memenangkan perang di Yaman, berantakan. Sementara Amerika juga sangat nyata enggan untuk berperang melawan Iran, terlebih setelah Presiden Donald Trump baru-baru ini mengatakan 'siap menerima usul perdamaian Iran'. Dalam petualangan Saudi di Yaman pukulan demi pukulan telak dirasakan Saudi akhir-akhir ini. Dimulai dengan pecah kongsinya dengan Uni Emirat Arab, serangan kilang minyak Aramco dan terakhir adalah direbutnya kota Najran oleh para pejuang Yaman.
Dalam operasi terakhir ini sekitar 200 pasukan Saudi tewas dan 2.000 orang lainnya ditawan musuh bersama sejumlah besar persenjataan. Ini menyadarkan Saudi bahwa petualangan mereka di Yaman tidak bisa lagi dilanjutkan. Jangankan menaklukkan Yaman, wilayah sendiri tidak bisa dipertahankan dari pendudukan para pejuang Yaman. Dan mimpi mengalahkan Iran tentu lebih tidak masuk akal lagi.
Padahal, usai serangan kilang minyak Aramco Saudi 14 September lalu Saudi bersama Amerika menuduh Iran terlibat dalam serangan tersebut meski kelompok pejuang Yaman mengaku bertanggungjawab. Disusul kemudian dengan berbagai retorika perang, seperti pernyataan Menlu Saudi tentang 'semua pilihan ada di meja', termasuk menyerang Iran. Pada bulan Mei 2017 MBS bahkan pernah mengancam akan membawa 'peperangan di tanah Iran' disertai rilisnya film animasi invasi Saudi ke Iran.
Tewasnya Pangawal Raja dan Desas Desus Kudeta
Saat ini di Saudi Arabia tengah beredar luas sejumlah desas-desus seputar tewasnya komandan pasukan pengawal kerajaan Jendral Abdulaziz al-Faghem yang telah bertugas sebagai pengawal pribadi raja sejak raja terdahulu, Abdullah. Menurut keterangan resmi tanggal 29 September lalu Jendral Faghem tewas ditembak dalam pertengkaran di sebuah rumah milik teman sang jendral di Jeddah. Namun keterangan tersebut tidak menjelaskan lebih detil tentang situasinya apalagi motif pembunuhan.
Spekulasi beredar Jendral Faghem dibunuh untuk menyembunyikan jejak keterlibatan MBS dalam pembunuhan wartawan Jamal Khasoggi mengingat kedudukannya sebagai pejabat tinggi di lembaga yang membawahi para pembunuh Khasoggi. Spekulasi lainnya menyebutkan bahwa ia dibunuh karena berusaha memberangus kekuatan MBS setelah mendapatkan mandat dari Raja Salman yang khawatir dengan kesehatan mental sang putra mahkota.
TRT World melaporkan, Kamis (3 Oktober), bahwa Jendral Faghem telah mendapat peringatan pada 19 Mei lalu dari Mohammed al Masari, pendiri Islamic Renewal Party, tentang rencana pembunuhan dirinya:
"Besok Mohammed bin Salman akan menginjak kepalamu dan kelompokmu dan menggantimu dengan orang-orang Colombia-Blackwater.”
Masari menyarankan Jendral Faghem untuk melarikan diri sejauh mungkin agar tidak dibunuh seperti Khasoggi. "Carilah suaka di ujung dunia, di Australia atau New Zealand sebelum terlambat.”
Dalam wawancara dengan TRT World, Dr Osama Fawzi, editor Arab Times menyebutkan informasi dari sumber terpercaya di Emirat Arab bahwa MBS mendapat bocoran informasi bahwa raja hendak menggantinya sebagai putra mahkota dengan adik raja, Pangeran Ahmed bin Abdelaziz. Kemudian Raja Salman memerintahakan Jendral Faghem untuk melucuti kekuasaan MBS. Namun sebelum semuanya terlaksana MBS mendahului dengan membunuh Faghem.(ca)
No comments:
Post a Comment