Indonesian Free Press -- Irak kini bergerak memasuki situasi yang tidak mungkin lagi berbelok arah, yaitu perang besar-besaran, setelah Amerika membunuh komandan perang Iran Jendral Soleimani dan Komandan kelompok pejuang Irak PMU tanggal 5 Januari lalu. Iran mungkin sudah cukup merasa puas setelah serangan rudalnya ke dua pangkalan militer AS di Irak, sebagai balasan atas pembunuhan Jendral Soleimani, tidak mendapat balasan dari AS. Namun tidak dengan PMU yang belum bisa melakukan balasan setimpal setelah sejumlah besar pejuangnya tewas oleh serangan-serangan AS.
Sementara itu bagi Amerika sendiri, mereka tidak akan pernah bisa tidur nyenyak melihat keberhasilan Iran membangun jalur logistik dan telekomunikasi yang vital antara Iran hingga ke Suriah. Jalur logistik ini dianggap sebagai ancaman serius bagi keamanan Israel karena melalui jalur ini Iran dengan leluasa mengirimkan bantuan kepada sekutu-sekutunya di Irak, Suriah dan terutama Hizbollah di Lebanon yang berbatasan langsung dengan Israel.
Amerika telah mencoba menghambat jalur ini dengan menempatkan pangkalan militernya di dekat perbatasan Irak-Suriah. Namun serangan-serangan roket PMU beberapa waktu terakhir telah memaksa Amerika meninggalkan pangkalan tersebut dan sekaligus membuka pintu lebar-lebar bagi Iran untuk mengakses Suriah.
Demi menjaga keamanana personil-personil militernya di Irak yang terus-menerus mendapat serangan dari kelompok PMU dan sekaligus menghancurkan jalur logistik Iran-Suriah, Amerika tidak memiliki pilihan lain kecuali menduduki Irak, seperti dilakukan tahun 2003 ketika mereka bermaksud menumbangkan kekuasaan Saddam Hussein. Hal ini pun telah dikonfirmasi oleh kabar dari media-media utama Amerika tentang adanya perintah dari Menhan Amerika, yang telah disetujui Presiden Donald Trump, bagi dilakukannya serangan militer terhadap Irak.
Kelompok PMU sendiri sudah mengantisipasi serangan tersebut dengan menggelar latihan militer pekan lalu. Mohammed Muhyee, jubir kelompok Kata’ib Hezbollah (Hezbollah Brigades), yang merupakan bagian utama dari PMU, hari Senin (4 Mei) mengingatkan bahwa 'langkah Amerika terakhir' adalah 'bukan kebetulan'. Ia mengatakan bahwa Amerika menganggap Kata’ib Hezbollah dan PMU sebagai batu sandungan bagi rencana Amerika dan akan berusaha untuk menghancurkannya.
Namun, ia menegaskan bahwa kelompoknya cukup kuat untuk menghadapi Amerika.
Berkaitan dengan hal itu juga Panglima Pasukan Khusus Iran Quds Force, Jendral Esmail Ghaani, melakukan kunjungan ke Irak hari Rabu (1 April) dalam apa yang bisa ditafsirkan sebagai kesiapan Iran untuk membantu para pejuang Irak menghadapi Amerika. Dalam kunjungan itu Jendral Ghaani bertemu dengan beberapa komandan pejuang Irak dan politisi Irak. Sebelumnya Ghaani juga mengunjungi Suriah dan bertemu dengan para komandan perang Iran di Aleppo.
Di sisi lain, Amerika telah memasang dua sistem pertahanan udara Patriot untuk melindungi dua pangkalan militer utamanya di Irak setelah menarik personil-personil militernya dari pangkalan-pangkalan yang lebih kecil. Dua battere Patriot lainnya dikabarkan tengah menunggu untuk dipasang.
Robert Inlakesh, jurnalis dan analis politik yang bekerja untuk Press TV, Selasa kemarin (31 Maret) menuliskan analisisnya tentang skenario serangan Amerika ini berjudul 'Is US readying itself to re-invade and occupy Iraq?'.
Menurut Inlakesh, Amerika tidak memiliki pilihan lain selain menyerang Irak seperti dilakukan tahun 2003, kecuali Presiden Donald Trump rela kehilangan mukanya. Namun hal ini bukan pilihan yang mudah bagi Amerika karena Irak saat ini jauh berbeda dengan tahun 2003. Irak kini memiliki Iran sebagai sandaran.
Untuk menduduki seluruh wilayah Irak Amerika membutuhkan ratusan ribu pasukan dan itu bukan pilihan rasional saat ini. Maka kemungkinan besar Amerika hanya perlu untuk menduduki Irak barat. Hal ini sangat realistis karena selain membutuhkan sumber daya lebih sedikit, hal ini cukup strategis untuk melumpuhkan 'poros perlawanan' Iran-Irak-Suriah-Lebanon (Hizbollah)-Palestina. Dengan menduduki Irak barat otomatis jalur logistik dan komunikasi yang menghubungkan Iran dengan Suriah-Lebanon-Palestina terputus.
Keuntungan lainnya, Amerika bisa mengandalkan dukungan penduduk di wilayah ini yang umumnya Sunni, sementara mayoritas warga Irak terutama di wilayah timur dan selatan adalah penganut Shiah.
Meski demikian, kekuatan militer, inteligen dan dukungan proksi-proksi saja tidak cukup membuat kedudukan Amerika aman meski berhasil menduduki wilayah Irak barat. Amerika membutuhkan kekuatan militer besar untuk menjaganya dari serangan-serangan sporadis gerilyawan Irak/Iran.
Dalam skenario serangan pendudukan Amerika seperti ditulis Inlakesh, Amerika akan membaginya ke dalam dua tahap. Pada tahap pertama, Amerika mengerahkan kekuatan seukuran divisi (20.000-an pasukan) ditambah tentara-tentara bayaran yang diterbangkan dari Saudi Arabia. Sebelum pendaratan, serangan udara dan rudal-rudal jelajah Tomahawk secara besar-besaran dilakukan oleh pesawat-pesawat pembom Amerika dan kapal-kapal perang Amerika yang berpangkalan di Timteng hingga
pangkalan San Diego di Laut Hindia.
Amerika memiliki beberapa pilihan dalam serangan awal ini. Ada 82d Airborne Division yang berpangkalan di Kuwait, 101st Airborne Division yang bisa diterbangkan dari daratan Amerika dalam 24 jam hingga 10th Mountain Division yang berpengalaman dalam perang Irak. Mereka akan didukung oleh satuan-satuan pendukung seperti 173d Airborne Brigade Combat Team yang berbasis di Eropa dan unit-unit pasukan khusus (SOF).
Dengan dukungan angkatan udara yang secara mutlak menguasai wilayah udara Irak, pasukan Amerika bisa menguasai wilayah strategis lembah Sungai Euphrate dengan kota-kota Al-Qaim dan Ramadi dalam hitungan hari.
Untuk menjamin keberhasilan operasi, Amerika juga harus merebut perbatasan Irak-Suriah dari Yordania hingga Al-Qaim, kemudian membangun markas komando di Ramadi, dan memperkuat jalur logistik ke wilayah Yordania dimana Amerika memiliki pangkalan di wilayah kaya minyak Al-Omar.
Namun demikian Amerika masih belum menguasai wilayah yang membentang antara Shaddadi di Suriah timur dan Erbil di Irak utara (di kedua kota ini Amerika memiliki pangkalan militer) dimana kekuatan PMU cukup solid di sini. Selain itu, demi menguasai wilayah barat Irak Amerika kemungkinan besar harus meninggalkan dua pangkalan utamanya di dekat Baghdad (pangkalan Taji dan Bismaya) yang berada di tengah-tengah kekuasaan PMU.
Selanjutnya pada tahap kedua Amerika akan melakukan serangan ke jantung kekuatan PMU di utara Al Qaim, dari perbatasan Irak-Suriah di sebelah barat hingga ke kota Mosul.
Sekali lagi dengan dukungan angkatan udara dan keunggulan artileri Amerika dengan cepat merebut posisi-posisi PMU dan memaksa PMU mundur ke basis mereka di tengah Irak. Dengan keberhasilan ini Amerika dengan mudah mengontrol wilayah barat dan utara Irak dengan jumlah penduduk yang jauh lebih kecil daripada kekuasaan PMU di tengah, timur dan selatan Irak.
Di wilayah yang dikuasainya itu Amerika bisa membentuk kekuasaan pemerintahan 'proksi' dari kelompok-kelompok separatis Sunni yang dipersenjatai. Namun, pada saat yang sama Amerika secara de facto telah menyatakan perang kepada Irak, Suriah dan Iran. Selanjutnya ini akan menjadi skenario klasik 'mengalahkan dan menguasai' yang tidak bisa dipoles melalui pencitraan media. Sebagai konsekuensinya Amerika harus menghadapi kekuatan nasionalisme-agama yang fanatik, yang sering lebih membahayakan dari kekuatan senjata. Seperti telah dihadapi Amerika di Vietnam dan Afghanistan.
"Ini tidak akan menjadi skenario 200.000 plus pasukan Amerika yang duduk-duduk saja di pangkalan mereka. Mereka harus menghadapi setidaknya tiga kekuatan militer yang lebih kuat dari Irak tahun 2003. Mereka harus bertempur setiap hari di wilayah yang diduduki untuk menjaga zona operasi mereka tetap hidup," tulis Inlakesh.
Menurut Inlakesh, peluang serangan Amerika ke Irak semakin besar dengan adanya wabah Covig 19. Karena hal ini akan mengalihkan perhatian publik Amerika dari aksi perang yang dibenci mereka, setelah petualangan Amerika yang menyakitkan di
Afghanistan dan Irak paska Serangan WTC 2001.
Catatan blogger: serangan pendudukan Amerika atas Irak akan menjadi perang yang jauh lebih besar dari perkiraan Inlakesh. Bagi Amerika dan Iran ini akan menjadi perang 'hidup mati' bagi eksistensi keduanya. Dunia sudah menyaksikan determinasi bangsa Iran dalam mempertahankan keberadaannya dalam Perang Iran-Irak tahun 1980-1988. Meski kalah dalam kekuatan senjata, Iran melawan dengan semangat jihad. Terlebih karena yang dihadapi adalah 'setan besar'.(ca)
No comments:
Post a Comment