Sunday 18 January 2009

PERANG DARAT YANG DITAKUTI ISRAEL


Para veteran Perang Dunia II Jerman faham betul bagaimana pahitnya berperang melawan pejuang-pejuang militan, yang kebenciannya kepada musuh mengalahkan ketakutannya pada kematian.

Pada bulan Juni 1942 Jerman melakukan serangan besar-besaran ke wilayah selatan Uni Sovyet dalam sebuah operasi militer bernama Operasi Barbarossa. Sebanyak 25 divisi tentara dan tank (6th Army dan 4th Tank Army) dari 266 divisi tentara dan tank yang dikerahkan Jerman, memasuki kota Stalingrad bulan Agustus 1942. Setelah melalui pertempuran sengit, pasukan berkekuatan 330.000 tentara (hampir sama dengan jumlah seluruh pasukan TNI saat ini) dan ratusan tank itu berhasil menguasai 90% kota Stalingrad, namun gagal menguasai 10% sisanya yang dipertahankan mati-matian oleh tentara Sovyet.

Pasukan Jerman unggul dalam persenjataan, namun rakyat Stalingrad, tentara dan pemimpin Sovyet telah bertekad mempertahankan kota sampai titik darah penghabisan. Stalingrad (catatan penulis: sebelumnya bernama Tsaritsyn, sekarang bernama Volgograd. Namanya diambil dari pimpinan Uni Sovyet saat itu, Joseph Stalin) adalah simbol negara sebagaimana Moskwa dan Leningrad (sebelumnya dan sekarang bernama St. Petersburg). Kejatuhan kota secara simbolis berarti juga kejatuhan negara yang dapat meruntuhkan moral pasukan Sovyet. Maka, meski kekurangan senjata, ribuan pasukan dan milisi terus mengalir untuk mempertahankan kota. (Kedahsyatan Perang Stalingrad dapat disaksikan dalam film Enemy at The Gate).

Selanjutnya terjadilah drama pertempuran kota terbesar dalam sejarah yang menelan korban hingga 1,5 juta pasukan, sebagian besar dari pihak Uni Sovyet. Namun Jerman harus membayar mahal. Kekurangan suplai makanan dan senjata, iklim dingin yang menusuk tulang ditambah perlawanan sengit pasukan Sovyet, memaksa 100.000 pasukan yang tersisa untuk menyerah kepada Sovyet pada bulan Februari 1943 setelah terkepung selama tiga bulan.

Kekalahan tersebut sangat meruntuhkan moral pasukan Jerman yang sebelumnya merupakan pasukan tak terkalahkan, dan berujung pada kekalahan total Jerman dalam Perang Dunia II.

Pengalaman pahit berperang melawan pasukan yang inferior secara persenjataan namun superior dalam militansi sudah dirasakan Rusia di Afghanistan dan Chechnya, dirasakan Amerika di Vietnam, dan kini tengah dirasakan pasukan Amerika dan NATO di Irak dan Afghanistan.

Pengalaman yang sama juga pernah dirasakan oleh Israel dalam Perang Lebanon II melawan milisi Hizbullah tahun 2006 lalu. Mengerahkan 30.000 tentara dan ratusan tank, Israel tidak mampu menundukkan Hizbullah, milisi sipil bersenjata yang berkekuatan hanya sekitar 5.000-an pasukan. Sebaliknya Israel harus menderita kerugian hebat. Sebanyak 123 tentaranya tewas dan 125 tank Merkava kebanggaannya hancur (klaim Hizbullah).

Namun kerugian Israel jauh lebih besar dari itu. Kekalahan tersebut telah meruntuhkan moral pasukan Israel sebagaimana moral pasukan Jerman runtuh setelah kekalahan dalam Perang Stalingrad. Keruntuhan moral tersebut tampak jelas dari kegagalan Israel dalam operasi penyerbuan ke Jalur Gaza yang saat ini tengah berlangsung. Selama tiga minggu lebih penyerbuan besar-besaran Israel, pasukannya tidak mampu menguasai Kota Gaza. Sebaliknya bagi Hamas, kemenangan Hizbollah tahun 2006 memberi tambahan semangat yang tidak ternilai. Mitos tentara Israel yang tak terkalahkan runtuh justru oleh sepasukan kecil milisi semi-militer.


Hamas Belajar dari Hizbollah

Sudah menjadi rahasia umum bahwa Hamas menjalin hubungan erat dengan Hizbollah meski antara keduanya terdapat perbedaan aliran agama yang memecah umat Islam menjadi dua aliran besar: Sunni dan Syiah. Hamas beraliran Sunni dan Hizbollah Syiah.

Hal ini tentunya sangat ironis. Di saat negara-negara dan organisasi-organisasi Sunni menjauhi Hamas karena tekanan Israel atau Amerika, Hizbollah dan pemerintah Iran yang Syiah justru mengulurkan tangan memberikan bantuan. Puluhan juta dollar dana bantuan pemerintah Iran telah diberikan kepada Hamas untuk membiayai administrasi pemerintah Palestina yang secara de jure dipegang oleh Hamas melalui Perdana Menteri Ismael Haniyeh, menyusul kesulitan ekonomi akibat blokade ekonomi yang dilakukan Israel dan Amerika serta antek-anteknya.

Di sisi lain Hizbollah banyak berjasa memberikan pelatihan militer kepada Hamas sebagai modal perjuangan melawan agresor Israel. Sebagian besar pejuang Hamas adalah alumnus pusat pelatihan perang Hizbollah di Lebanon. Sebagian dari mereka bahkan turut berpartisipasi dalam Perang Lebanon di pihak Hizbollah. Para pejuang Hamas yang tengah belajar di Lebanon dikenal dengan istilah “yunior”. Pelatihan-pelatihan itu telah menunjukkan hasilnya dengan keberhasilan Hamas menahan gerak maju pasukan Israel yang akan menguasai kota-kota di Gaza.

Beberapa pelajaran yang didapatkan Hamas adalah: Pertama membangun jaringan komunikasi dan logistik bawah tanah. Kedua memecah pasukan Hamas menjadi unit-unit kecil berkekuatan 5 orang yang bersenjata lengkap dan mampu berperang sendiri selama berhari-hari. Ketiga membangun gudang-gudang senjata yang mudah dicapai oleh unit-unit bersenjata Hamas.

“Gerakan perlawanan di wilayah ini, khususnya di Lebanon dan Palestina adalah gerakan yang saling mengisi, dan Hezbdollah dan Hamas merupakan organisasi yang saling terkait,” kata Sekjend Hizbollah Hassan Nasrallah, 18 Juli 2008.

Memang menjadi pertanyaan, mengapa Hizbollah tidak menerjunkan diri berperang membela Hamas di Gaza, meski Hizbollah banyak melakukan aksi massa mendukung Hamas, termasuk aksinya meluncurkan roket ke Israel. Namun faktor-faktor berikut akan memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas:
1. Hizbollah tengah memulihkan kondisi fisik organisasi akibat Perang tahun 2006. Selain itu energi Hizbollah juga banyak terkuras untuk membangun ribuan rumah dan infrastuktur yang hancur akibat agresi Israel, yang tidak ingin kembali hancur akibat berperang lagi dengan Israel.
2. Hizbollah belum sepenuhnya berhasil menyelesaikan penempatkan posisi pasukannya (deployment) di wilayah-wilayah stategis yang akan digunakannya melawan Israel, seperti di Lembah Bekaa dll-nya.
3. Mengantisipasi pemilu bulan Juni 2009, Hizbollah tidak ingin reputasinya hancur akibat memicu perang baru melawan Israel yang akan menghancurkan Lebanon.
4. Keyakinan Hizbollah atas kemampuan Hamas menahan serangan Israel yang justru akan meningkatkan kekuatan mental dan politik Hamas.

Aksi brutal Israel dengan menghancurkan infrastuktur Gaza dan menyerang penduduknya justru menambah semangat pejuang-pejuang Hamas. Pejuang Palestina yang para pendahulunya berlarian ketakutan mendengar deru tank-tank dan pasukan Israel, kini menunggu tank-tank dan pasukan Israel seperti singa lapar menunggu mangsanya. Sebaliknya bagi Israel adalah keruntuhan lebih besar moral prajuritnya.

No comments: