Tuesday, 9 June 2009

Memahami Syiah Mengenai Para Sahabat


Saya baru saja membaca buku berjudul "Dialog Sunnah-Syiah" karya tulisan Syeikh Syarafuddin Al-Musawi, ulama syiah dari Lebanon. Buku ini merupakan rangkuman diskusi antara penulis dengan Syaikh Salim Al-Bisyri Al Maliki, rektor lembaga pendidikan Islam paling terkenal, Universitas Al Azhar.

Sebelumnya perlu saya tuliskan bahwa Universitas Al Azhar sebenarnya didirikan oleh dinasti Fathimiyah Mesir yang beraliran syiah sebelum akhirnya dikuasai oleh Sultan Shalahuddin dari Turki yang beraliran Sunni. Hingga kini Al Azhar merupakan lembaga pendidikan Sunni paling berpengaruh di dunia Islam.

Dalam diskusi ini saya mendapat kesan mendalam bahwa, bahkan seorang ilmuwan Islam besar seperti seorang rektor Al Azhar tidak memahami banyak tentang Syiah. Sebagian besar persepsinya tentang Syiah ditentukan oleh lingkungannya, bukan melalui kajian yang dilakukan sendiri secara mendalam. Dalam dialog tersebut tampak kesan bahwa seorang rektor Al Azhar menjadi seperti anak kecil yang bertanya hal-hal mendasar tentang pemahaman Syiah (yang dikuasai di luar kepala oleh anak-anak kecil dari kalangan syiah) yang sebenarnya justru terdapat dalam referensi pokok ajaran Islam, yaitu Al Qur'an dan hadits.

Penasaran mengenai pengetahuan orang-orang Sunni mengenai Syiah, saya pun mengajak berdiskusi tentang Syiah dengan beberapa orang teman yang saya anggap memiliki pengetahuan cukup luas tentang Islam. Salah satu teman yang saya ajak diskusi adalah seorang alumni sebuah pesantren di Jawa Tengah. Kepadanya saya bertanya tentang dalil-dalil dasar yang menjadi pegangan orang-orang Syiah atas keyakinannya. Kepadanya saya hanya sempat mengajukan beberapa pertanyaan tentang nash dalam Al Qur'an yang menyebutkan sifat munafik sebagian besar sahabat Rosulullah, kewajiban menyayangi keluarga Rosulullah serta kesucian keluarga Rosulullah yang menjadikan kita wajib menghormatinya (dalam konteks agama menjadikan mereka sumber rujukan semua masalah agama, dan dalam konteks politik menjadikan mereka pemimpin). Demi Allah, teman saya tersebut tidak mengetahui apa yang saya tanyakan meski banyak sekali nash dalam Al Qur'an, hadis, maupun buku-buku sejarah.

Tentang kemunafikan sebagian besar sahabat disebutkan beberapa kali dalam Al Qur'an. Namun menurut saya yang paling tegas adalah surat Al Jumuah ayat 11: "Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka meninggalkan kamu sedang berdiri berkutbah." serta surat At Taubah ayat 101: "Sesungguhnya sebagian dari orang-orang badui di luar kota dan sebagian orang-orang kota di sekelilingmu mereka sungguh keterlaluan dalam kemunafikan. Kamu (Muhammad) tidak mengetahui mereka. Kami yang mengetahuinya."

Riwayat yang menyebutkan turunnya surat Al Jumuah ayat 11 tersebut menyebutkan bahwa surat tersebut turun saat Rosulullah yang tengah berkhotbah jumat ditinggalkan oleh para sahabat yang tertarik dengan kedatangan padagang yang baru tiba dari Syiria, kecuali Ali, Hasan, Husein serta segelintir sahabat lain. Saat itu Rosullah berkata: "Seandainya bukan karena kalian (jemaah yang tetap tinggal di dalam masjid), tentu Allah akan menghancurkan kota ini (Madinah) dengan batu."

Tentang kewajiban (saya tekankan sekali lagi kewajiban yang menjadi sebuah dosa bila ditinggalkan) menyayangi kepada keluarga Rosulullah Allah telah berfirman dalam Al Qur'an: "Katakanlah (Muhammad), aku tidak meminta upah atas apa yang telah aku berikan kepadamu kecuali kasih sayang kepada keluargaku." (As Syura: 23). Bahkan salah satu rukun shalat (ibadah utama dalam Islam) yang tidak boleh ditinggalkan adalah bersholawat kepada nabi dan keluarganya: "Allahuma shali ala sayiddina Muhammad, wa alaa ali sayiddina Muhammad."

Al Qur'an juga memberi keistimewaan kepada keluarga nabi Muhammad seperti larangan menerima sedekah, hak mendapatkan pampasan perang, dan hak untuk mendapatkan tunjangan dari negara. Hal ini dimaksudkan Allah agar keluarga nabi Muhammad bisa berkonsentrasi memimpin ummat tanpa harus direpotkan dengan kebutuhan hidup sehari-hari. Hak ini tidak dimiliki oleh siapapun termasuk para sahabat utama sekali pun.

Sungguh ironis, mencintai keluarga Rosulullah yang merupakan salah satu ajaran pokok Islam justru ditinggalkan sebagian besar ummat Islam. Mencintai keluarga Rosulullah diganti dengan mencintai sahabat. Nash-nash yang sangat jelas pun terkadang diselewengkan untuk menutupi kebenaran. Surat As Syura: 23 diselewengkan terjemahannya menjadi: "Katakanlah (Muhammad), aku tidak meminta upah atas apa yang telah aku berikan kepadamu kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan."

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menghilangkan jasa para sahabat dalam penegakan Islam. Tidak dapat dibantah bahwa para sahabat telah berjasa banyak dalam penegakan Islam. Namun menempatkan sahabat di atas keluarga nabi adalah sama dengan menempatkan anak angkat di atas anak kandung, atau menempatkan teman di atas kerabat yang semuanya itu dilarang dalam Islam.

Apalagi jika sahabat yang dimaksud adalah orang-orang munafik yang disebutkan Allah dalam surat Al Jumuah dan At Taubah. Dan terlebih lagi jika para sahabat dianggap sebagai orang-orang yang maksum (terbebas dari dosa) yang sama sekali tidak memiliki dalil dalam Al Qur'an maupun hadits. Justru sebaliknya keluarga rosul-lah yang telah dijamin bersih dari dosa sebagaimana ditekankan Allah dalam Al Qur'an: "Sesungguhnya Allah akan menghilangkan segala kenistaan dari padamu hai ahlul bait dan mensucikanmu sesuci-sucinya." (S. Al Ahzab ayat 33).

Bila kita mau kritis sedikit, kita tentu mengetahui bahwa antara sahabat rosul Muhammad S.A.W terdapat beberapa golongan. Jika dibentangkan maka para sehabat berada di antara dua kutub yang bertentangan, yaitu kelompok orang-orang munafik dan
kelompok sahabat yang ikhlas. Di luar itu, dengan tingkat yang lebih tinggi terdapat kerabat dan keluarga rosul. Mereka di antaranya adalah paman nabi Hamzah, sepupu nabi Jafar bin Abu Thalib, sepupu dan anak angkat nabi Ali bin Abi Thalib, cucu
nabi Hasan dan Husein dll, anak-cucu nabi ditambah istri-istri nabi.

Sahabat yang ikhlas adalah para sahabat yang mencintai rosul dan patuh kepadanya tanpa reserve sebagaimana diperintahkan oleh Allah dalam Al Qur'an. Di antara mereka adalah Ammar bin Yassir dan Mushab bin Umair, Abu Dujannah, Bilal, Abu Dzar al Ghifari, Salman al Farisi dll. Abu Dujannah misalnya, adalah seorang sahabat yang rela menjadikan tubuhnya sebagai tameng untuk melindungi Rosul dalam Perang Uhud sehingga beliau mati syahid. Ironisnya sejarah hidup mereka tidak banyak diungkap
oleh para sejarahwan, tersisih oleh sosok-sosok sahabat lainnya seperti Abu Bakar, Umar dan Usman.

Sahabat munafik adalah orang-orang mushrik musuh Islam yang berpura-pura masuk Islam. Sebagaimana disebut dalam surat At Taubah ayat 101 para sahabat yang masuk dalam kelompok munafik tidak diketahui meski ada riwayat yang menyebutkan bahwa
menjelang kematian rosul beliau mendapat wahyu tentang orang-orang munafik di sekeliling beliau dan hanya sahabat Hudzaifah saja yang mendapatkan informasi tentang keberadaan mereka. Hudzaifah, seorang sahabat yang sangat wara' membawa rahasia itu hingga ke liang lahat.

Di luar sahabat yang iklhas dan sahabat munafik adalah para sahabat yang beriman kepada Islam namun masih memiliki reserve tertentu. Mereka tampak ikhlas dalam keimanan, namun terkadang bahkan seringkali juga menentang rosulnya. Dengan berat hati karena pasti banyak ditentang oleh sesama muslim, dan tanpa mengurangi penghormatan saya atas jasa-jasa mereka, saya katakan di antara mereka terdapat nama-nama sahabat utama seperti Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Muawiyah.

Saya mencantumkan nama mereka karena dalam banyak riwayat yang diakui validitasnya, mereka seringkali atau setidaknya sekali pernah menentang perintah rosul. Penentangan mereka sudah cukup dianggap sebagai pelanggaran terhadap hukum Islam yang secara tegas memerintahkan orang-orang Islam untuk taat tanpa reserve kepada semua perintah Rosul. Banyak sekali perintah Allah dalam Al Qur'an yang mewajibkan ummat Islam untuk ta'at kepada rosul-nya tanpa reserve. Jangankan menentang perintah Rosul, berbicara kurang sopan saja kepada Rosul telah cukup membuat seorang sahabat kehilangan amal-amalnya.

Terkadang Rosul memang meminta pendapat para sahabat dalam urusan-urusan tertentu. Namun apabila suatu urusan telah ditetapkan oleh Rosul, tidak ada alternatif lain bagi ummat Islam kecuali menurutinya sebagaimana diperintahkan Allah dalam Al Qur'an. Allah juga telah menegaskan dalam Al Qur'an bahwa semua tindakan dan ucapan Rosul bukanlah berasal dari hawa hafsu beliau, melainkan telah diwahyukan terlebih dahulu oleh Allah melalui malaikat Jibril.

Abu Bakar dan Umar tercatat pernah menentang perintah Rosul untuk menghukum mati seorang tokoh khawarij. Abu Bakar dan Umar termasuk sahabat yang enggan melaksanakan ekspedisi Usamah bin Ziyad beberapa hari menjelang kematian Rosul. Usman bin Affan tercatat pernah menentang perintah Rosul untuk menghukum mati seorang musrik pada peristiwa Fattul Makkah. Sedangkan Muawiyah baru masuk Islam setelah tidak ada alternatif lain selain terusir dari Mekkah atau dihukum badan menyusul kejatuhan Mekkah.

Namun di antara para sahabat tidak ada yang lebih banyak menentang Rosul selain Umar bin Khattab. Umar menentang bahkan sampai mempertanyakan kerosulan Muhammad S.A.W dalam peristiwa perjanjian Hudaibiyah. Umar menentang Rosul saat memerintahkan Abu Hurairah mengabarkan kabar gembira pada semua orang yang masuk Islam. Umar menentang perintah Rosul saat Rosul akan menuliskan wasiat menjelang kematian beliau. Bahkan setelah Rosul meninggal Umar berani melakukan ijtihad yang melanggar Al Qur'an dan sunnah Rosul (dalam hal pembagian zakat dan dua mut'ah: mut'ah haji dan mut'ah perkawinan). Dan jauh berbeda dengan Abu Dujannah yang melindungi Rosul hingga syahid, Umar tercatat dalam buku sejarah sebagai seorang sahabat yang lari dari medang Perang Uhud.

Dan lihatlah apa yang dilakukan Usman bin Affan. Setelah bersumpah akan menjalankan semua kebijakan Abu Bakar dan Umar demi menggapai keinginannya menjadi khalifah, kebijakan politik pertama yang dilakukan sebagai khalifah justru mengingkari sumpahnya dengan memecat para pejabat yang dianggkat Umar dan digantikannya dengan sahabat dari keluarganya sendiri.

Semua sahabat dalam kadar tertentu telah berjasa dalam menegakkan Islam. Namun menempatkan mereka lebih tinggi dari haknya adalah sebuah kekeliruan yang harus diluruskan. Apalabi jika penempatan tersebut disertai "penyingkiran" terhadap sahabat lain yang lebih utama.

5 comments:

Zainal said...

salah satu penentangan terhadap perintah rasulullah adalah membuat quran menjadi kitab yang utuh yang dapat kita baca sampai sekarang(?).

Dari tulisan Bapak, tidak tercantum nama abdullah bin saba' yang menurut sunni merupakan awal/akar dari syiah itu sendiri.

Menurut saya dalam asy syuro ayat 23 :
Mawaddatan fii qurbii
apakah mawaddah dapat dituntut kepada orang/kaum?

cahyono adi said...

Setahu saya tidak ada dalil yang menunjukkan adanya larangan dari Rosul untuk membukukan Al Qur'an. Kalau Al Qur'an tidak boleh dibukukuan tentunya Rosul tidak akan pernah merekrut sekretaris untuk menuliskannya di berbagai media tulisan. Yang terjadi adalah Rosul memang belum sempat membukukan Al Qur'an karena ayat terakhir Al Qur'an sendiri baru turun menjelang kematian Rosulullah. Selain itu kebutuhan untuk membukukan Al Qur'an juga belum begitu besar karena sebagian besar ummat Islam saat itu adalah hafidz Qur'an.

Bahkan meski khalifah Abu Bakar dan Umar telah melihat pentingnya pembukuan Al Qur'an dan upaya-upaya awal telah dilakukan, namun mereka tidak begitu menjadikannya suatu prioritas. Baru setelah khalifah Usman, ide membukukan Al Qur'an dalam satu standar berhasil dilaksanakan.

Soal Abdullah bin Saba saya tidak melihat namanya di buku-buku sejarah klasik seperti Ibnu Ishak, termasuk bukunya Haikal. Dalam kitab-kitab klasik standar seperti Shahih Bukhari Muslim pun saya tidak melihat namanya. Jadi saya lebih percaya pendapat orang Syiah bahwa Abdullah bin Saba hanya kambing hitam seperti juga halnya Abdullah bin Ubay yang dikambing hitamkan sebagai orang munafik dimana segala hal yang berkaitan dengan kemunafikan semuanya ditimpakan kepadanya. Padahal kalau orang munafik hanya seorang Abdullah bin Ubay, maka Allah tidak perlu "repot-repot" menurutkan surat Al Munafikun dan beberapa ayat tentang orang-orang munafik dalam Qur'an.

Faktanya adalah bahkan Rosulullah menyalatkan jenazahnya. Boleh jadi Abdullah bin Ubay telah bertaubat dan hal itu tidak diketahui ummat Islam.

cahyono adi said...

Setahu saya tidak ada dalil yang menunjukkan adanya larangan dari Rosul untuk membukukan Al Qur'an. Kalau Al Qur'an tidak boleh dibukukuan tentunya Rosul tidak akan pernah merekrut sekretaris untuk menuliskannya di berbagai media tulisan. Yang terjadi adalah Rosul memang belum sempat membukukan Al Qur'an karena ayat terakhir Al Qur'an sendiri baru turun menjelang kematian Rosulullah. Selain itu kebutuhan untuk membukukan Al Qur'an juga belum begitu besar karena sebagian besar ummat Islam saat itu adalah hafidz Qur'an.

Bahkan meski khalifah Abu Bakar dan Umar telah melihat pentingnya pembukuan Al Qur'an dan upaya-upaya awal telah dilakukan, namun mereka tidak begitu menjadikannya suatu prioritas. Baru setelah khalifah Usman, ide membukukan Al Qur'an dalam satu standar berhasil dilaksanakan.

Soal Abdullah bin Saba saya tidak melihat namanya di buku-buku sejarah klasik seperti Ibnu Ishak, termasuk bukunya Haikal. Dalam kitab-kitab klasik standar seperti Shahih Bukhari Muslim pun saya tidak melihat namanya. Jadi saya lebih percaya pendapat orang Syiah bahwa Abdullah bin Saba hanya kambing hitam seperti juga halnya Abdullah bin Ubay yang dikambing hitamkan sebagai orang munafik dimana segala hal yang berkaitan dengan kemunafikan semuanya ditimpakan kepadanya. Padahal kalau orang munafik hanya seorang Abdullah bin Ubay, maka Allah tidak perlu "repot-repot" menurutkan surat Al Munafikun dan beberapa ayat tentang orang-orang munafik dalam Qur'an.

Faktanya adalah bahkan Rosulullah menyalatkan jenazahnya. Boleh jadi Abdullah bin Ubay telah bertaubat dan hal itu tidak diketahui ummat Islam.

cahyono adi said...

Setahu saya tidak ada dalil yang menunjukkan adanya larangan dari Rosul untuk membukukan Al Qur'an. Kalau Al Qur'an tidak boleh dibukukuan tentunya Rosul tidak akan pernah merekrut sekretaris untuk menuliskannya di berbagai media tulisan. Yang terjadi adalah Rosul memang belum sempat membukukan Al Qur'an karena ayat terakhir Al Qur'an sendiri baru turun menjelang kematian Rosulullah. Selain itu kebutuhan untuk membukukan Al Qur'an juga belum begitu besar karena sebagian besar ummat Islam saat itu adalah hafidz Qur'an.

Bahkan meski khalifah Abu Bakar dan Umar telah melihat pentingnya pembukuan Al Qur'an dan upaya-upaya awal telah dilakukan, namun mereka tidak begitu menjadikannya suatu prioritas. Baru setelah khalifah Usman, ide membukukan Al Qur'an dalam satu standar berhasil dilaksanakan.

Soal Abdullah bin Saba saya tidak melihat namanya di buku-buku sejarah klasik seperti Ibnu Ishak, termasuk bukunya Haikal. Dalam kitab-kitab klasik standar seperti Shahih Bukhari Muslim pun saya tidak melihat namanya. Jadi saya lebih percaya pendapat orang Syiah bahwa Abdullah bin Saba hanya kambing hitam seperti juga halnya Abdullah bin Ubay yang dikambing hitamkan sebagai orang munafik dimana segala hal yang berkaitan dengan kemunafikan semuanya ditimpakan kepadanya. Padahal kalau orang munafik hanya seorang Abdullah bin Ubay, maka Allah tidak perlu "repot-repot" menurutkan surat Al Munafikun dan beberapa ayat tentang orang-orang munafik dalam Qur'an.

Faktanya adalah bahkan Rosulullah menyalatkan jenazahnya. Boleh jadi Abdullah bin Ubay telah bertaubat dan hal itu tidak diketahui ummat Islam.

masocad said...

assalamalaikum, maap kalo baru beri komentar, dari tulisan anda ada bebrapa hal yang perlu dikomentari, pertama anda terlalu banyak baca buku syiah hingga terkesan menyampingkan buku sunni, kedua teman yang anda anggap banyak tahu agama tapi tidak meyebutkan dalil tentang buruknya syiah dari alquran maupun hadits berarti bukan seorang ulama atau barangkali ia memang tidak menggeluti akan bidang ini, ketiga seorang sahabat tidak layak disebut sebagai seorang munafik walau ada beberapa perbuatan mereka yang mengandung kemunafikan, Allah dan RasulNya menyebut para sahabat sebagai orang yang meridhoiNya dan Allah pun ridho terhadap mereka, maka tidak layak memilah-milah antara mereka, keempat kalo ada beberapa sahabat yang terkesan menentang perintah Rasulullah pada hakekatnya mereka tidaklah menentang, akan tetapi lebih cenderung mempertanyakan, atau setidaknya mencari mashlahat yang mereka ketahui itu lebih bermanfaat dengan tidak melanggar perintah Rasul, kelima terkhusus bagi sahabat Abu Bakar dan Umar maka Rasulullah telah mewanti2 umatnya agar mengikuti mereka dengan sabdanya iqtadu billadzaini min ba'di abu bakar wa umar, keenam dan seterusnya semoga Allah senatiasa menjadikan kita sebagai hamba yang selalu mencitaiNya dan RasulNya.wallau ta'ala alam.