Saturday, 27 June 2009

Pembunuhan Neda Soltan dan Program Destabilization 2.0


Pertimbangkan skenario ini. Aksi teorisme terhadap gedung WTC 11 September 2001 telah dipersiapkan sebelumnya. Sistem pertahanan udara Amerika yang sangat canggih dan berlapis-lapis (bahkan dapat menembak jatuh setiap burung yang terbang di atas wilayah Amerika) terutama di kota-kota strategis Washington dan New York, telah sengaja dilumpuhkan oleh otoritas keamanan Amerika sendiri. Hal ini memungkinkan lima pesawat jet penumpang besar yang dikendalikan oleh remote control dari pusat pengendalian lalu lintas udara leluasa terbang menuju sasarannya masing-masing. Awak kru CNN telah berada di tempat yang strategis untuk merekam tragedi runtuhnya gedung WTC sehingga hanya berselang 10 menit setelah serangan terhadap salah satu menara WTC, CNN dapat merekam secara langsung kejadian pesawat jet yang menghantam menara WTC satunya lagi (waktu normal yang dibutuhkan untuk memersiapkan program acara live memakan waktu berjam-jam). Super thermite (material canggih penemuan teknologi modern yang mampu melembekkan materi paling keras seperti besi dan beton) telah dioleskan di tiang-tiang menari WTC dan bom-bom dinamit telah dipasang di tiang-tiang itu. Beberapa menit setelah hantaman pesawat jet terhadap kedua menara, dinamit diledakkan dan meruntuhkan kedua menara WTC bagaikan rumah kartu.

Versi di atas tentu lebih masuk akal dibandingkan versi pemerintah yang digembar-gemborkan media massa barat ke seluruh dunia: sekelompok teroris bersenjata pisau cutter (bom plastik dan senjata api lebih sulit dilacak oleh pelacak sinar X standar di pelabuhan-pelabuhan udara, dibandingkan pisau cutter) membajak lima pesawat dari lima pelabuhan udara yang berbeda secara simultan. Selanjutnya para pembajak yang baru kursus pilot itu mengarahkan pesawat jet besar tersebut menuju sasaran, dengan gaya manuver yang lebih hebat dibandingkan para pilot pesawat jet paling berpengalaman. Dan karena hantaman badan pesawat serta panas yang diakibatkan oleh kebakaran bahan bakar pesawat, kedua menara WTC (yang tahan gempa maupun kebakaran hebat) itu runtuh.

Lalu bandingkan dengan skenario kejadian yang terjadi di Iran yang menimpa Neda Agha Soltan pada saat gencar terjadi demonstrasi besar-besaran di Teheran menentang hasil pemilu baru-baru ini. Seorang sniper agen rahasia CIA menempati posisi siap tembak di atas gedung. Seorang agen rahasia pemandu di bawah menginformasikan keberadaan Neda yang baru saja keluar dari mobilnya. "Ia baru saja keluar dari mobilnya. Sasaran yang ideal," kata agen rahasia pemandu.

Agen sniper membidikkan senjatanya ke sasaran yang telah ditunjuk agen pemandu, menarik pelatuk, dan menggeleparlah Nada di jalan beraspal dengan luka tembak. Tidak lama kemudian ia menghembuskan nafas terakhirnya sementara penembak dan pemandunya meninggalkan tempat kejadian secara diam-diam. Semua kejadian tersebut direkam oleh agen CIA lainnya, atau komprador lokalnya, dari tempat yang tidak terlalu jauh. Kemudian dalam waktu kurang dari satu jam rekaman tersebut sampai di meja redaksi media massa-media massa barat dan tidak lama kemudian menyebar ke seluruh dunia dengan judul: "Aparat Keamanan Iran Menindas Aksi Demonstrasi Damai yang Demokratis".

Tentu saja skenario pembunuhan oleh inteligen CIA lebih masuk akal daripada tuduhan media massa terhadap aparat keamanan Iran. Neda ditembak di tempat yang jauh dari lokasi bentrokan antara demonstran dengan aparat keamanan. Bahkan ia tengah melakukan aktivitas bisnisnya di lokasi yang aman, bukan melakukan demonstrasi. Satu hal lagi, ia ditembak dari belakang.

Dan soal aksi demonstrasi yang damai dan demokratis itu pun jauh dari yang dikatakan. Para demonstran yang lebih banyak membentangkan spanduk-spanduk berbahasa Inggris daripada bahasa persia itu melakukan aksi-aksi anarkis seperti membakar kendaraan dan fasilitas umum, merusak kantor-kantor dan perusahaan-perusahaan, menyerang aparat keamanan hingga membunuhi anggota milisi Basiji tak bersenjata (terdapat 8 orang milisi yang tewas dibantai para demonstran). Padahal otoritas pemilihan umum Iran telah memberikan kesempatan pihak-pihak yang kecewa dengan hasil pemilu untuk mengajukan tuntutan. Tidak sekedar itu, otoritas pemilu bahkan telah melakukan penghitungan ulang di beberapa tempat yang dicurigai terjadi kecurangan.


Peran Soros, CIA, dan Mossad Dalam Pemilu Iran

Penghitungan suara pemilu 12 Juni masih berlangsung ketika Mir-Houssein Mousavi, pimpinan oposisi yang menjadi salah satu kandidat presiden mengumumkan kemenangannya. Tindakan ini tidak lain dimaksudkan untuk menjadi legitimasi gugatan yang akan diajukannya jika hasil pemilu sebenarnya tidak sesuai dengan klaimnya.

Dan benar saja. Setelah KPU Iran menyatakan Ahmadinejad memenangkan pemilu dengan suara mencapai 63%, Mousavi langsung menolak hasil penghitungan dan meminta pemilihan ulang. Dan ketika otoritas pemilu Iran memintanya untuk mengajukan keberatan resmi untuk diproses oleh Dewan Penjaga Revolusi (Guardian Council) atau lembaga tertinggi yang berhak memutuskan hasil pemilu jika terjadi perselisihan, Mousavi justru menyerukan para pendukungnya untuk melakukan aksi-aksi demonstrasi yang berujung pada tindakan anarkis, seraya menuduh Guardian Council tidak berkompeten untuk memutuskan perkara pemilu. Bahkan ketika pemimpin tertinggi Iran, Ali Khamenei menyerukan penghitungan ulang di beberapa tempat yang dipersengketakan, Mousavi tidak bergeming dan aksi-aksi demonstrasi justru semakin tidak terkendali.

Tidak ada bahasa lain, Mousavi sebenarnya telah menyerukan pemberontakan. Namun pemerintah Iran (Presiden hanya menjalankan salah satu fungsi pemerintahan. Fungsi lainnya seperti keamanan dan inteligen dipegang oleh Dewan Revolusi yang diketuai oleh Ali Khamenei) masih menahan diri dengan tidak menangkap Mousavi. Namun ketika Mousavi dan pendukungnya mengabaikan perintah Khamenei untuk menghentikan aksi-aksi demo anarkis, bahkan justru balik menuntut Khamenei untuk mundur, aparat keamanan tidak memiliki alternatif lain selain menindak para demonstran dengan keras hingga dilaporkan belasan orang meninggal dunia (termasuk Neda Soltan, namun di luar 8 anggota milisi Badiji yang tewas dikeroyok demonstran).

Apa yang dilakukan Mousavi tidak lain karena dirinya mendapat dukungan kuat pemerintah, dinas inteligen dan media massa barat. Media massa barat berlomba-lomba membuat tuduhan-tuduhan palsu tentang pemilu Iran. Contoh paling menyolok dilakukan BBC yang memuat gambar ribuan demonstran pendukung Ahmadinejad yang diklaimnya sebagai pendukung Mousavi. Setelah dikritik oleh para pembacanya dan menjadi pembicara di milis-milis dan blog-blog, BBC baru mengganti gambar tersebut tanpa disertai permintaan maaf kepada pembacanya, apalagi kepada Ahmadinejad.

Internet, juga membantu operasi disinformasi tentang pemilu Iran (meski juga menjadi sarana efektif para blogger dan netter yang netral untuk menyerukan kebenaran dan mengkounter disinformasi). Pada tgl 13 Juni (sehari setelah pemilu) ribuan "tweet" membanjiri Twitter berupa gambar-gambar kekerasan yang dilakukan aparat keamanan Iran terhadap para demonstran, hampir semuanya berbahasa Inggris, dengan gambar-gambar yang identik alias dihasilkan oleh sumber yang sama.

Fenomena disinformasi ini disajikan dengan tepat oleh Jerussalem Post, media massa terbitan Israel. Jerussalem Post bahkan menyebutkan kemungkinan keterlibatan Mossad dalam aksi tersebut. Selain itu YouTube (sudah menjalin kerjasama dengan Anti Demafation League atau LSM Yahudi Amerika untuk menyensor video-video anti Israel) menyediakan link "Breaking News" yang menghubungkannya dengan video-video peristiwa terkini di Iran.

Fenomena di Iran bisa digambarkan sebagai sebagai program Destabilization 2.0, yaitu program terbaru menjungkalkan pemerintahan demokratis yang tidak disukai oleh zionis Amerika. Namun Iran menjadi tempat favorit penerapan program ini karena program awal Destabilization 1.0 adalah penggulingan perdana menteri Iran terpilih Mohammad Mosaddeq tahun 1953 yang tidak disukai karena menasionalisasi perusahaan-perusahaan minyak asing. Gerakan reformasi Indonesia tahun 1998 termasuk dalam program sejenis yang dijalankan setelah Presiden Soeharto tidak lagi bisa dikendalikan, bahkan justru berbalik haluan politik menjadi pro-Islam.

Program-program sejenis lainnya adalah Revolusi Mawar di Georgia (2003), Destabilization 1.8 untuk Revolusi Oranye di Ukrainia (2004) dan Destabilization 1.9 untuk Revolusi Cedar di Lebanon (2005). Untuk aksi-aksi demonstrasi pendukung Mousavi media massa barat bahkan sebenarnya telah memberikan julukan baru: Revolusi Hijau.

Untuk menggulingkan Mossadeq (Destabilization 1.0), CIA dikirim ke Iran untuk melancarkan serangkaian aksi teror dengan sasaran masjid-masjid dan organisasi-organisasi Islam. Kemudian media massa menuduh aksi-aksi tersebut dilakukan oleh Mossadeq (seorang nasionalis sekuler) sehingga kemudian timbul perselisihan antara kelompok nasionalis sekuler dengan organisasi-organisasi Islam.

Kekacauan politik yang timbul dari aksi-aksi tersebut kemudian menjadi dasar terdinya kudeta militer terhadap Mosaddeq yang berujung pada pengangkatan Shah Iran sebagai pemimpin tertinggi Iran yang menjalankan pemerintahan diktator. Shah selanjutnya menjadi sekutu terpercaya barat di Iran. Demikian kentaranya keterlibatan CIA dalam peristiwa itu sehingga Presiden Obama sendiri belum lama ini mengakui dengan terus-terang hal itu.

Setelah suksesnya program Destabilization 1.0, CIA mengembangkan program kelanjutannya, Destabilization 1.1 yang lebih rumit sedikit dengan menyertakan operasi intelegen ekonomi. Ini dimulai dengan kedatangan IMF memberikan "program bantuan" kepada diktator negara berkembang dengan imbalan bunga mencekik dan proyek-proyek yang boros yang didiktekan IMF yang semua dananya mengalir balik ke IMF dan hanya sebagian kecil yang terserap dalam pembangunan atau mengalir ke kantong-kantong keluarga dan kroni sang diktator. Setelah negeri penerima bantuan kolaps karena korupsi dan hutang yang membengkak, IMF kembali menawarkan "bantuan restrukturisasi" yang berujung pada perampokan habis-habisan sumber kekayaan negeri tersebut. Program ini pun sukses dilaksanakan di banyak negara, dari Jamaica, Burma, Chili, Zimbabwe hingga Indonesia. Pada tahun 2001 program ini dibongkar oleh ekonom pemenang nobel Joseph Stiglitz, namun baru benar-benar dipahami secara menditail oleh masyarakat setelah terbitnya buku karangan John Perkin "Confessions of an Economic Hitman".

Meski tergolong efektif, teknik ini telah diketahui publik dunia sehingga diperlukan program lainnya yang lebih canggih. Maka lahirlah program Destabilization 1.2 yang melibatkan LSM-LSM pro-demokrasi seperti Open Society Institute (OSI), Freedom House, National Endowment for Democracy dan LSM turunannya di negara sasaran seperti JIL dan Yayasan Tifa (Indonesia). Sumber dananya berasal dari figur-figur kontroversial seperti spekulan pasar uang George Soros, Bill Gates, atau Warren Buffet.

LSM-LSM ini melatih, mendukung, memobilisasi, dan mendanai gerakan-gerakan demokrasi di negara-negara berkembang sebagai operasi rahasia untuk mendestabilisasi kondisi politik negara tersebut. Kemudian setelah terjadi pergantian kekuasaan, mereka menempatkan agen-agennya yang telah dibina lama untuk duduk di kursi kekuasaan. Selain di Indonesia (gerakan reformasi 1998), operasi ini berhasil dilaksanakan di Ukraine (Revolusi Oranye 2004), Lebanon (Revolusi Cedar 2005), Georgia (Revolusi Mawar 2003).

Namun meski sukses, skenario tersebut mulai terbongkar dan di sebagian negara korban operasi muncul gerakan tandingan seperti Revolusi Apel di Moldova dan blok oposisi pimpinan Hizbullah di Lebanon. Di Indonesia pun telah muncul kesadaran masyarakat tentang adanya gerakan neoliberal yang membuat ekonomi Indonesia terpuruk. Untuk itu disusunlah program operasi baru Destabilization 2.0 yang kini tengah dipraktikkan di Iran. Program ini melibatkan media internet secara intensif seperti Twitter, Facebook, YouTube dll. Dan seperti program-program sebelumnya, program terakhir ini pun telah terbongkar kedoknya bahkan sebelum membuahkan hasil berupa pergantian regim anti-Amerika (Ahmadinejad dan Dewan Revolusi) menjadi regim pro-Amerika (Mousavi).

Keterangan gambar: penembakan Neda Soltan

No comments: