Tuesday, 9 June 2009
Boediono, Mafia Barkeley dan Neo Liberalisme
Akhir-akhir ini masyarakat tengah disibukkan dengan sebuah isu politik terkait dengan pemilihan presiden yang sebentar lagi akan digelar di Indonesia. Isu itu adalah tentang faham neo-liberalisme yang melekat pada sosok Boediono yang oleh capres SBY digaet sebagai pendampingnya sebagai wakil presiden.
Hal ini wajar saja karena masyarakat yang sudah mulai sadar politik telah menyadari bahwa faham neo-liberal inilah yang telah membuat bangsa Indonesia tidak pernah bisa bangkit dari keterpurukan. Padahal sebagai bangsa besar yang dinugerahi sumber daya alam yang melimpah dan rakyat yang ulet, Indonesia tidak memiliki alasan untuk terpuruk secara ekonomi kecuali sengaja disetting oleh kekuatan jahat dari luar negeri bekerjasama dengan para komprador di dalam negeri.
Boediono sendiri cukup memiliki alasan untuk dicap sebagai penganut faham neo-liberal berdasar track record pendidikan, karier serta kebijakan-kebijakan yang telah dilakukannya sebagai seorang pejabat publik.
Pertama-tama perlu difahami dan disamakan persepsi tentang apa itu neo-liberalisme dan mafia Barkeley. Neo-liberalisme adalah sebuah faham ekonomi yang menginginkan adanya liberalisme (kebebasan) di semua bidang yang pada intinya akan memberikan peluang lebih besar bagi para pemilik modal (asing) untuk semakin banyak menumpuk kekayaannya di seluruh penjuru dunia. Paham neo-liberal juga terkait dengan aspek politik dengan mendorong semua keputusan politik negara-negara dunia untuk mengacu kepada pemberian kebebasan seluas-luasnya bagi para pemilik modal asing sekaligus menafikan peranan negara.
Adapun mafia Berkeley adalah salah satu agen pelaksana agenda neo-liberalisme di Indonesia. Organisasi ini tidak memiliki bentuk formal, namun memiliki sistem regenerasi yang mapan. Generasi awalnya adalah Prof. Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, Emil Salim, Soebroto, Moh. Sadli, JB Soemarlin, Adrianus Mooy, dan masih sangat banyak lagi. Yang sekarang dominan adalah Sri Mulyani, Moh. Ikhsan, Chatib Basri, dan masih banyak lagi. Mereka tersebar pada seluruh departemen dan menduduki jabatan eselon I dan II, sampai kepala biro.
Para ekonom tersebut semuanya berasal dari Universitas Indonesia. Saat ini mereka diperkuat juga oleh beberapa ekonom dari UGM seperti Boediono, Anggito Abimanyu, Sri Adiningsih dll. Selain itu sebagai pengalih perhatian, mereka juga berkongkalikong dengan beberapa ekonom yang "menyamar" sebagai "pejuang ekonomi rakyat" seperti Faisal Basri. Ini mirip dengan Probosutejo di jaman Soeharto yang "menyamar" sebagai "pembela kepentingan pengusaha pribumi", atau Gunawan Muhammad yang menyamar sebagai sosok "sosialis" namun sebenarnya bekerja untuk para kapitalis, atau Emil Salim yang "menyamar" sebagai "pejuang lingkungan".
Ciri kelompok itu ialah masuk ke dalam kabinet tanpa peduli siapa presidennya. Mereka mendesakkan diri dengan bantuan kekuatan agresor. Kalau kita ingat, sejak akhir era Orde Lama, Emil Salim sudah menjadi anggota penting dari KOTOE dan Widjojo Nitisastro sudah menjadi sekretaris Perdana Menteri Djuanda. Widjojo akhirnya menjabat ketua Bappenas dan bermarkas di sana.
Setelah itu, presiden berganti beberapa kali. Yang “kecolongan” tidak masuk ke dalam kabinet adalah ketika Gus Dur menjadi presiden. Namun, begitu mereka mengetahui, mereka tidak terima. Mereka mendesak supaya Gus Dur membentuk Dewan Ekonomi Nasional. Seperti kita ketahui, ketuanya adalah Emil Salim dan sekretarisnya Sri Mulyani. Mereka berhasil mempengaruhi atau “memaksa” Gus Dur agar mereka diperbolehkan hadir dalam setiap rapat koordinasi bidang ekuin.
Tidak puas dengan itu, mereka berhasil membentuk Tim Asistensi pada Menko Ekuin yang terdiri atas dua orang saja, yaitu Widjojo Nitisastro dan Sri Mulyani. Dipaksakan bahwa mereka harus ikut mendampingi Menko Ekuin dan menteri keuangan dalam perundingan Paris Club pada 12 April 2000, walaupun mereka sama sekali di luar struktur dan sama sekali tidak dibutuhkan. Mereka membentuk opini publik bahwa ekonomi akan porak-poranda di bawah kendali tim ekonomi yang ada. Padahal kinerja tim ekonomi di tahun 2000 tidak jelek kalau kita pelajari statistiknya sekarang.
Yang mengejutkan, Presiden Megawati mengangkat Boediono sebagai menteri keuangan dan Dorodjatun sebagai Menko Perekonomian. Aliran pikir dan sikap Laksamana Sukardi sangat jelas sama dengan Berkeley Mafia.
Presiden SBY sudah mengetahui semuanya dan tetap saja memasukkan tokoh-tokoh Berkeley Mafia seperti Boediono, Sri Mulyani, Purnomo Yusgiantoro, dan Mari Pangestu ke dalam kabinet pemerintahannya.
Sebutan mafia bagi Mafia Berkeley, selain karena mereka adalah sekelompok ekonom yang dirancang untuk mendukung hegemoni Amerika Serikat (AS) dan merusak ekonomi Indonesia, juga mendapatkan dukungan penuh dari lembaga keuangan internasional seperti IMF dan World Bank untuk selalu mendapatkan kekuasaan di Pemerintahan Indonesia di bidang ekonomi.
Kelompok ini sangat berbahaya karena Mafia Berkeley memang dirancang secara sistematis untuk mengontrol ekonomi Indonesia. Kebijakan ekonomi yang diambil berisi empat strategi utama, yakni: kebijakan anggaran yang ketat dan penghapusan subsidi, meliberalisasi keuangan, meliberalisasi industri dan perdangangana serta melakukan privatisasi. Kebijakan yang mereka jalankan tersebut merupakan hasil rumusan dari IMF, Bank Dunia dan USAID.
Kelompok mafia tersebut telah dipersiapkan secara sistematis oleh kekuatan luar Indonesia selama sepuluh tahun sebelum berkuasa (1956-1966) sebagai bagian dari strategi Perang Dingin menghadapi kekuatan progresif dan revolusioner di kawasan Asia.
Kelompok yang dikenal dengan Mafia Berkeley ini kebanyakan dari generasi pertamanya lulusan Program Khusus di Universitas Berkeley, California. Universitas Berkeley sendiri merupakan salah satu universitas terkemuka di Amerika. Para mahasiswanya terkenal progresif dan mayoritas anti Perang Vietnam.
Namun, program untuk Mafia Berkeley dirancang khusus untuk orang Indonesia yang dipersiapkan untuk di kemudian hari menjadi bagian dari hegemoni global Amerika. Disebut mafia, mengambil idea dari organisasi kejahatan terorganisasi di Amerika, karena mereka secara sistematis dan terorganisasi menjadi alat dari hegemoni dan kepentingan global di Indonesia.
Selain sebagai bagian dari agen hegemoni global Amerika, Mafia Berkeley sekaligus berfungsi sebagai alat untuk memonitor kebijakan ekonomi Indonesia agar sejalan dan searah dengan kebijakan umum ekonomi yang digariskan oleh Washington. Garis kebijakannya adalah Washington Konsensus yang terdiri dari: kebijakan anggaran yang ketat, penghapusan subsidi, liberalisasi keuangan, liberalisasi industri dan perdagangan, serta privatisasi.
Dalam pemerintahan, Mafia Berkeley selalu menargetkan untuk menguasai jabatan di bidang ekonomi dan sumber daya. Jabatan tersebut bisa sebagai menteri, staf ahli maupun posisi lainnya yang langsung berhubungan dalam perumusan kebijakan ekonomi politik. Posisi tersebut sangat strategis.
Menteri Keuangan, misalnya. Selain sebagai penentu kebijakan keuangan negara, sekaligus sebagai bendahara negara. Artinya, tidak satu peser pun uang negara bisa keluar tanpa persetujuan Menteri Keuangan.
Selama 40 tahun lebih berkuasa, kebijakan ekonomi yang dijalankan oleh Mafia Berkeley dalam pemerintahan tidak pernah memberikan perubahan bagi kesejahteraan rakyat. Namun, hingga saat ini, Mafia Berkeley masih bercokol di sektor-sektor vital, seperti di Departemen Keuangan, Departemen Perdagangan, Departemen Energi Sumber Daya dan Mineral, Bank Indonesia, dan departemen lain yang berkaitan dengan sektor ekonomi strategis lainnya.
Kebijakan yang mereka ambil memang tidak pernah mempertimbangkan aspek kesejahteraan rakyat Indonesia. Mereka lebih memprioritaskan untuk melaksanakan perintah dari IMF dan Bank Dunia. Berbagai kebijakan ekonomi yang dikeluarkan justru menghambat kemajuan ekonomi dan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Utang luar negeri, liberalisasi perdagangan dan keuangan, pencabutan berbagai macam subsidi (termasuk subsidi BBM) dan privatisasi yang menyerahkan aset milik negara pada pihak swasta maupun pemerintah asing.
Mafia Berkeley mendapat dukungan penuh dari pemerintahan negara maju, khususnya Amerika Serikat dan lembaga dan asosiasi ekonomi internasional. Dukungan tersebut ditunjukkan dengan memberikan citra positif bahkan penghargaan skala internasional terhadap Mafia Berkeley, walaupun mereka belum menunjukkan hasil kerja seperti yang digambarkan dalam penghargaan tersebut. Misalnya, waktu mereka memberikan penghargaan sebagai menteri keuangan terbaik kepada Sri Mulyani. Kita kan tahu, saat itu dia baru saja menjabat sebagai Menkeu, belum melakukan kerja yang berarti, tapi sudah dapat penghargaan internasional.
Mereka akan selalu memberikan kemudahan bagi pergerakan modal asing untuk menguasai perekonomian Indonesia, termasuk memastikan Indonesia tetap membayar utang-utang lama dan meneruskan pembuatan utang baru. Dengan ketergantungan utang ini, Mafia Berkeley bisa tetap berkuasa karena memungkinkan pihak asing untuk mengontrol perekonomian nasional melalui agen mereka, yaitu Mafia Berkeley.
Mereka sudah memposisikan diri sebagai budak Kapitalisme dan agen asing. Mereka akan melayani seluruh kemauan asing yang berkaitan dengan invasi ekonomi untuk memiskinkan Indonesia.
Kaderisasi dalam Mafia Berkeley telah dipersiapkan secara sistematis oleh kekuatan luar Indonesia. Program kaderisasi yang terpenting di dalam Mafia Berkeley adalah melalui pendidikan untuk orang Indonesia yang dipersiapkan untuk di kemudian hari menjadi alat dari hegemoni dan kepentingan global di Indonesia.
Karena mereka mampu melayani dengan baik para majikannya dan rakyat tidak menaruh perhatian serius pada sepak terjang Mafia Berkeley. Belum ada aksi protes dalam bentuk massif yang menggugat kejahatan mereka selama ini. Padahal kekisruhan politik akibat kenaikan BBM yang sekarang terjadi, aktor utamanya adalah Mafia Berkeley.
Untuk membersihkan Mafia Berkeley di pemerintahan kita harus memiliki agenda yang terstruktur dan berjalan simultan. Hal penting yang harus kita lakukan adalah bagaimana memperkuat opini publik, bahwa penyebab kesengsaraan rakyat hari ini adalah Mafia Berkeley. Jika rakyat ingin keluar dari kesengaraan ini maka Mafia Berkeley harus disingkirkan jauh-jauh dari seluruh aspek kehidupan kita berbangsa dan bernegara. Mereka layak disingkirkan, karena mereka adalah agen asing dan pengkhianat.
Bagaimana dengan Boediono?
Prof Dr Boediono adalah seorang ekonom profesional yang mumpuni dari mazhab trickle down effect. Penganut mazhab ini umumnya lebih mementingkan membantu para pengusaha besar daripada membantu para petani, para pekerja yang bergaji rendah, dan para pencari kerja. Kepiawiaannya dalam pasar uang dan ekonom kapitalis neo-liberalisme membawa namanya menjadi menteri yang sangat disanjung oleh para kapitalis terutama asing. Karena itupula, Boediono sangat disukai oleh lembaga-lembaga Amerika Cs seperti World Bank, Asian Development Bank.
Pada waktu menjabat sebagai Menteri Keuangan saat pemerintahan Megawati Soekarnoputri, dia menyatakan bahwa pada dasarnya subsidi bagi rakyat harus dihapus. Dan ketika para petani tebu meminta proteksi, Boediono dengan enteng menyatakan, ”Kalau petani tebu merasa bahwa menanam tebu kurang menguntungkan, tanamlah komoditas lain yang lebih menguntungkan.”
Tampaknya pendapat Boediono sejalan dengan Taufiq Kiemas, suami Megawati, yang menyatakan subsidi seperti candu. Pada kenyataannya mereka tak konsisten, mereka malah mensubsidi para bankir (Mungkin inilah yang menyebabkan mengapa Taufik Kiemas sempat menolak Prabowo Subiyanto yang mengusung gerakan ekonomi rakyat).
Secara singkat, menurut guru besar ekonomi UGM Prof. Mubyarto, sejak private debt (utang bank swasta) dijadikan public debt (utang negara), sejak utang para konglomerat ”ditalangi” pemerintah, perbankan selalu mendapat subsidi, industri perbankan yang seharusnya menghasilkan pendapatan (revenue) ternyata menjadi beban (expenditure) negara. Pada tahun 1998 saja, ”bunga utang” para konglomerat yang dibebankan kepada APBN besarnya Rp 60 trilliun, empat kali lipat dari anggaran untuk pendidikan yang hanya sekitar Rp 15 trilliun.
Mazhab trickle down effect yang dianut oleh doktor-doktor tamatan Universitas Berkeley dan pengikutnya, pada awalnya membawa kemajuan bagi perekonomian kita meskipun melanggar UUD 1945. Mereka itu melupakan asas koperasi sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 UUD 1945 dengan sepenuhnya membantu pengusaha besar, yang dibiarkan pekerja mendapat gaji di bawah upah minimum. Itulah sebabnya Bung Hatta menamakan kelompok ini Mafia Berkeley. Jelas, ekonom-ekonom Mafia Barkeley bertentangan dengan UUD 1945, bertentangan dengan Mazhab Ekonomi Kerakyatan Bung Hatta. Dan ekonom Berkeley Amerika sendirilah yang menghancurkan ekonomi dengan krisis keuangan global 2008. Ini juga membuktikan kegagalan mazhab Barkeley yang mengagung-agungkan Kapitalis dan neo-liberalisme.
Mafia Berkeley berasumsi pemerintah perlu menyubsidi pengusaha besar agar mereka sukses. Dan bila mereka sukses, keuntungannya akan menetes ke bawah. Tetapi pada kenyataannya ketika mereka telah menjadi konglomerat, ketika mereka diimbau oleh Presiden Soeharto agar memberikan 25 persen sahamnya kepada koperasi karyawan, mereka menolak, dan hanya bersedia memberikan 1 persen. Hanya beberapa pengusaha, di antaranya Jusuf Kalla, yang bersedia memberikan 2 persen saham. Artinya mereka tidak ikhlas membagi keuntungan kepada karyawan sendiri.
Sindiran Presiden Soeharto kepada mantan tokoh mahasiswa yang telah menjadi konglomerat bahwa modal mereka hanya ”jaket kuning” tidak menggerakkan hati mereka untuk mengucurkan keuntungan kepada karyawan. Ironisnya, ketika terjadi krisis moneter, para konglomerat bersekongkol dengan kroni Soeharto agar seluruh rakyat Indonesia yang menanggung dan menalangi utang mereka sebesar Rp 650 trlliun berikut bunga. Besar bunganya sekitar 10 persen setiap tahun dan diperkirakan baru lunas pada 2030.
(Sumber: Situs Hizbut Tahrir Indonesia 8 Juli 2006 dan blog Nusantaraku, 13 Mei 2009).
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment