Friday, 12 June 2009
Tidak Terlalu Sulit Membangun Negeri, Tapi .....
Sebagian besar rakyat Indonesia tentu masih bertanya-tanya ---khususnya pada saat-saat seperti sekarang ini dimana pemilihan presiden telah di depan mata---, kenapa Indonesia tidak pernah menjadi bangsa yang makmur meski dikaruniai Allah dengan kekayaan alam yang melimpah serta telah merdeka 60 tahun lebih. Padahal negara-negara lain yang start pembangunannya lebih lambat dan tidak dikaruniai kekayaan alam melimpah, mampu tampil sebagai negara maju yang makmur. Sebut saja Jepang dan Jerman yang hancur lebur setelah Perang Dunia II, Korea Selatan yang pada tahun 1960-an masih tertinggal dibandingkan Indonesia, Cina yang 20-an tahun lalu masih menjadi negara miskin, atau Singapura dan Malaysia yang baru merdeka di tahun 1960-an.
Padahal secara teori mengelola negara sebenarnya tidak terlalu sulit, tidak berbeda jauh dengan prinsip-prinsip mengelola perusahaan atau bahkan keluarga. Dengan semangat kerja yang tinggi, manajemen pembangunan yang efektif dan efisien serta pengelolaan keuangan yang bijaksana, sebuah keluarga, perusahaan dan bahkan negara pasti akan menjadi makmur. Apalagi bila keluarga, perusahaan dan negara tersebut memiliki modal yang besar. Dalam sebuah negara modal dimaksud adalah sumber kekayaan alam.
Yang dibutuhkan oleh sebuah negara untuk bergerak maju secara ekonomi adalah infrastuktur yang baik (transportasi, komunikasi, energi), kondisi sosial politik yang stabil, dan etos kerja masyarakat yang cukup tinggi. Adapun tugas pemerintah adalah mengupayakan kondisi-kondisi tersebut terpenuhi (pelayanan publik yang baik). Jika semua itu terpenuhi maka secara pasti akan tercipta produksi barang dan jasa yang melimpah yang mudah didapatkan oleh rakyat. Dalam konteks makro kondisi tersebut disebut sebagai kondisi "pendapatan nasional tinggi" atau "produktifitas nasional yang tinggi" yang merupakan indikator kesejahteraan rakyat.
Dalam kondisi pendatan nasional yang tinggi ini maka semua warganegara bisa mendapatkan barang dan jasa dengan mudah, dan pemerintah mendapatkan pendapatan pajak yang tinggi dari kegiatan-kegiatan ekonomi rakyatnya. Jika pendapatan pemerintah tersebut dikelola dengan bijaksana, misal dengan meningkatkan kualitas infrastruktur, meningkatkan kualitas pelayanan publik, membuka potensi alam yang terpendam, membantu pembiayaan usaha rakyat, memberi subsidi sektor industri dan pertanian, meningkatkan pendidikan dan kualitas tenaga kerja dll (semuanya itu disebut sebagai pembangunan), maka produktifitas atau pendapatan nasional akan meningkat yang secara otomatis juga meningkatkan pendapatan pemerintah di samping kesejahteraan rakyat.
Dalam kondisi tertentu terdapat masa di mana produktifitas nasional terganggu karena berbagai sebab seperti bencana alam pemerintah sangat dibutuhkan peranannya untuk mengatasi masalah ini. Inilah sebabnya maka pemerintah yang bijaksana tidak akan menghabiskan seluruh pendapatannya, melainkan menyimpan sebagian daripadanya dalam bentuk tabungan atau investasi yang dapat dipergunakan untuk mengatasi kondisi-kondisi krisis. Semakin banyak tabungan atau investasi pemerintah, semakin besar pula kemampuannya untuk melakukan pembangunan dan mengatasi kondisi krisis. Bila semua kondisi tersebut dapat dijaga, dapat dipastikan seiring berjalannya waktu, negara dan rakyatnya akan semakin makmur.
Jika faktor perdagangan luar negeri turut dihitung, maka tentunya kemakmuran akan semakin tinggi lagi. Tingginya produktivitas nasional membuat neraca perdagangan menjadi surplus yang berarti juga menambah cadangan devisa nasional. Cadangan devisa merupakan kekayaan nasional yang dapat digunakan untuk membeli barang-barang dan jasa dari luar negeri untuk kesejahteraan rakyat.
Namun kondisi ini tidak terjadi di Indonesia. Saya melihat ada beberapa faktor, terutama faktor kepentingan asing yang di satu sisi ingin menguras kekayaan alam Indonesia dan di sisi lainnya tidak menginginkan Indonesia muncul sebagai kekuatan yang mengancam hegemoni mereka. Untuk itu mereka terus berupaya menciptakan konflik yang mengganggu kondisi sosial politik dan mendikte kebijakan ekonomi pemerintah yang ujung-ujungnya membuat pemerintah lemah dan tidak mampu menjalankan fungsinya dengan optimal.
Semua itu bisa mereka lalukan karena bekerjasama dengan para komprador domestik seperti para ekonom neoliberal, birokrat dan politisi korup, dan para pemimpin negara yang tamak.
Lihatlah bagaimana pemerintah dan DPR selalu membuat dan melaksanakan kebijakan APBN berimbang (pengeluaran dan pendapatan sama), atau bahkan defisit (pengaluaran lebih besar daripada pendapatan) yang membuat pemerintah tidak pernah memiliki tabungan dan bahkan sebaliknya selalu tergantung kepada hutang luar negeri. Lihatlah bagaimana APBN yang boros dan kurang memenuhi azas manfaat: anggaran pembangunan lebih kecil dibanding anggaran belanja rutin atau alokasi anggaran pembangunan yang tidak tepat sasaran. Lihatlah bagaimana pembangunan infrastruktur tidak pernah optimal: pembangunan jembatan Suramadu lebih diutamakan daripada jembatan Jawa-Sumatera, infrastuktur yang timpang antara Jawa dengna luar-Jawa. Semuanya itu masih diperparah dengan korupsi yang tinggi yang membuat realirasi anggaran lebih rendah daripada yang dikeluarkan (menurut "embah"-nya para ekonom, Sumitro Djojohadikusumo, kebocoran APBN mencapai 30%).
Saya ingin memberikan gambaran sederhana jika saja pemerintah melakukan kebijakan ekonomi yang lebih bijak. Katakanlah dana Rp 100 triliun yang harus dikeluarkan setiap tahun untuk membayar hutang, direskedul untuk digunakan membangun infrastruktur di luar Jawa (termasuk jembatan Jawa-Sumatera), membuka hutan untuk perkebunan serta meningkatkan kualitas TKI (pendapatan yang diberikan oleh TKI kepada perekonomian nasional sangatlah signifikan. Jika kualitasnya ditingkatkan maka kontribusinya dapat meningkat beberapa kali lipat), maka dipastikan pendapatan nasional akan meningkat pesat. Apalagi jika pemerintah mau melakukan kebijakan yang lebih mendasar seperti pengembangan energi alternatif, intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian, transmigrasi, subsisi sektor industri dan pertanian, penerapan kuota perdagangan dan bea masuk untuk melindungi ekonomi nasional dsb.
Saya pernah membayangkan seandainya pemerintah mau mengembangkan industri otomotif tenaga baterai yang secara teknis sangat-sangat memungkinkan dan memiliki keunggulan: bebas polusi dan hemat energi. (Di kota saya Medan, tengah beredar kendaraan roda dua bertenaga batere buatan domestik. Kendaraan ini mampu melaju cukup kencang untuk ukuran transportasi kota dan menempuh jarak 60 km sekali charge). Jika ini dilakukan maka akan terjadi penghematan nasional yang sangat besar. Rakyat dapat mengalokasikan pendapatannya yang sebelumnya dihabiskan untuk konsumsi BBM, untuk konsumsi lain termasuk konsumsi barang-barang produktif. Di sisi pemerintah, penghematan konsumsi BBM dapat digunakan untuk alokasikan pembangunan lain. Keuntungan lainnya adalah pengembangan industri otomotif nasional akan menyerap tenaga kerja dan menciptakan stimulus ekonomi yang besar. Belum lagi dengan penghematan devisa yang sebelumnya dihabiskan untuk membeli kendaraan impor.
Namun mengelola negara, khususnya Indonesia tidak semudah itu. Jangankah melakukan kebijakan mendasar seperti tersebut di atas, untuk sekedar mereskedul hutang luar negeri demi memberi nafas bagi pemerintah untuk membangun saja sudah mendapatkan tantangan ramai-ramai dari para komprador asing di tanah air. "Kepercayaan luar negeri terancam" atau "bertentangan dengan prinsip ekonomi bebas", demikian bahasa yang biasa digunakan para pengamat ekonomi dan politik, birokrat dan politisi, aktivis LSM dan media massa. Dan jika kita berupaya mengembangkan energi nuklir (sumber energi paling efisien dan digunakan oleh semua negara maju) maka para aktivis LSM akan berteriak-teriak menentang. Dalam tahap lebih tinggi maka inteligen asing (melalui para komprador) bermain mengobok-obok keamanan di daerah-daerah hingga ibukota hingga melakukan pembunuhan politik.
Itu semua karena banyak sekali orang Indonesia yang bekerja untuk kepentingan asing daripada kepentingan negaranya sendiri.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
Wah Fotoku ada disini...........
Post a Comment