Monday 20 June 2016

Pembunuhan Politisi Wanita Inggris adalah Pengulangan Sejarah

Indonesian Free Press -- Pada tahun 2003, hanya empat hari sebelum referendum untuk menentukan penggabungan Swedia dengan Uni Eropa, politisi wanita pro-penggabungan, Anna Lindh, tewas dibunuh di depan umum oleh 'orang gila'.

Sang pembunuh mengakui tidak sadar telah melakukan pembunuhan, dan karenanya tidak ada motif politik yang mendasari pembunuhan itu. Namun, dampaknya adalah suara pendukung penggabungan ke Uni Eropa berhasil mengalahkan suara yang menolak.

Pada tahun 2016, tanggal 16 Juni atau hanya tujuh hari sebelum Inggris menggelar referendum untuk memastikan keluar atau tidaknya Inggris dari Uni Eropa, seorang politisi wanita pendukung bergabungnya Inggris dengan Uni Eropa, Jo Cox juga tewas ditembak dan ditusuk di depan umum.


Orang yang dituduh sebagai pelaku pembunuhan disebut-sebut sebagai seorang yang 'tenang, agak pendiam dan tukang kebun yang baik', tidak diketahui memiliki motif politik untuk membunuh Cox. Namun dampaknya, suara pendukung bergabungnya Inggris dengan Uni Eropa, naik secara signifikan berdasarkan survei.

"Jajak pendapat pertama yang digelar setelah pembunuhan Jo Cox menunjukkan bahwa suara pendukung Uni Eropa unggul 45 persen dari responden berjumlah 1.001 yang dimintai pendapatnya melalui telepon, meninggalkan 42 persen anti-Uni Eropa. Ini menandakan adanya perubahan posisi dari jajak pendapat sebelumnya sebelum politisi Cox dibunuh,” tulis Moti Nissani, editor Veterans Today dalam laporannya tanggal 19 Juni lalu.

Yang menarik lainnya adalah bahwa baik Anna Lindh maupun Jo Cox adalah politisi yang dikenal kuat sebagai pendukung Palestina. Tewasnya kedua politisi, selain mendukung penggabungan Swedia dan Inggris ke dalam 'negara super' Uni Eropa, juga mengurangi jumlah politisi pendukung Palestina dan anti-Israel.

Menurut situs Electronic Intifada, "Cox baru saja terpilih sebagai anggota parlemen tahun 2015. Ia terlibat dalam gerakan 'Labour Friends of Palestine' dan menulis sebagian laporan yang dibuat kelompok itu yang mendesak Israel untuk mencabut blokade terhadap Gaza. Ia mengatakan pada bulan Februari lalu bahwa langkah pemerintahan Konservatif untuk menggunakan ancaman hukum untuk menghalangi gerakan boikot kepada Israel adalah pelanggaran yang kasar terhadap kebebasan demokrasi. Adalah hak semua orang untuk memboikot perusahaan-perusahaan yang tidak etis.”

Mungkin inilah motif sebenarnya di balik pembunuhan-pembunuhan itu?(ca)

1 comment:

Kasamago said...

Kluarny inggris akn mnjdi tmparan keras bg uni eropa.. Efekny bs jd domino