Friday 11 August 2017

Antara Gibran Rakabuning dan Aryo Penangsang

Indonesian Free Press -- Pertemuan antara putra mantan Presiden SBY, Agus Yudhoyono, dengan putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabuning baru-baru ini menjadi sesuatu yang 'viral' di media sosial. Mayoritas menyoroti apa yang dilakukan Gibran dalam pertemuan itu, mulai dari sikapnya yang 'pongah' hingga gaya pakaiannya yang 'nyleneh'.

Namun ada sesuatu yang menarik menurut pengamatan Indonesian Free Press, yaitu aspek sejarah politik Indonesia.

Bagi mereka yang memahami ilmu psikologi, kharakter 'luar' seseorang biasanya berkebalikan dengan kharakter sebenarnya dari orang itu. Untuk menutupi kelemahannya, seseorang akan menampilkan citra yang berkebalikan dengan kharakter sebenarnya. Seseorang yang alam bawah sadarnya menderita sindrom inferior biasanya akan berwatak diktator, meski ia menutupinya dengan sikap 'merakyat', sopan dan terbuka.


Presiden Jokowi sedikit banyak sama dengan kharakter tersebut di atas. Ada benarnya juga bahwa mantan Presiden SBY, dalam pertemuan dengan Prabowo baru-baru ini, secara tersirat menuduh Jokowi sebagai diktator. Dan cepatnya Jokowi merespons tuduhan itu, justru memperkuat tuduhan SBY, karena salah satu ciri penderita sindrom inferior adalah sensitif dan mudah tersinggung.

Lalu, apa kaitannya dengan pertemuan Gibran Rakabuning dengan Agus Yudhoyono? Baiklah, akan saya jelaskan. Tapi sebelumnya mari kita kembali ke masa silam.

Paska meninggalnya Raja Demak Sultan Trenggono pada tahun 1546 terjadi kevakuman kekuasaan di Kesultanan Demak yang kala itu adalah penguasa Pulau Jawa dan kerajaan terkuat di Nusantara. Kekuasaanpun kemudian diperebutkan oleh dua orang tokoh yang paling berpengaruh, yaitu Hadiwijoyo (dikenal dengan julukan Joko Tingkir) dan Aryo Penangsang. Hadiwijoyo adalah menantu Sultan Trenggono, sedangkan Aryo Penangsang adalah keponakan Sultan Trenggono.

Sebagaimana ditulis di berbagai buku sejarah, Hadiwijoyo adalah pribadi yang tenang, sementara Penangsang adalah pribadi yang kasar dan temperamental. Ketika akhirnya perebutan kekuasaan antara Hadiwijoyo dengan Penangsang tidak bisa diselesaikan kecuali dengan perang, maka di sinilah terjadi peristiwa yang menarik.

Atas ide Ki Ageng Pemanahan, seorang penguasa wilayah Mentaok (sekarang sekitar Kota Gede, di sebelah timur kota Yogyakarta) yang juga bawahan Hadiwijoyo, Aryo Penangsang yang berkuasa di Jipang (sekarang wilayah Cepu, Jawa Tengah) akan diprovokasi untuk melakukan perang tanding dalam kondisi yang tidak menguntungkannya, sehingga ia yang terkenal sakti itu bisa dikalahkan.

Idenya adalah mengumpankan Sutowijoyo, putra Ki Ageng Pemanahan yang masih muda belia, untuk memancing Aryo Penangsang menyeberangi Sungai Serang yang merupakan batas wilayah Demak dengan Jipang. Kemudian, setelah berada di seberang Sungai, para Sutowijoyo dan para prajurit Demak akan membunuhnya.

Ki Ageng Pemanahan mengetahui, menyeberangi Sungai Serang akan membuat sial Penangsang karena itu berarti ia telah melanggar petuah gurunya, Sunan Kudus, seorang wali terkenal yang tinggal di kota Kudus dan dikenal sebagai salah seorang 'Wali Songo'. Kemudian, untuk membuat konsentrasi Penangsang terpecah, Sutowijoyo akan menunggangi kuda betina yang 'cantik' untuk menggoda kuda jantan yang ditunggangi Penangsang, yang terkenal dengan julukan 'Gagak Rimang'.

Sutowijoyo sendiri dipilih, selain karena ia adalah seorang remaja yang fisiknya kuat, juga untuk memancing kemarahan Penangsang sehingga konsentrasinya terganggu. Ditantang duel oleh seorang remaja tanggung tentu akan membuat Penangsang tersinggung dan marah.

Dan begitulah yang terjadi. Diejek oleh Sutowijoyo sebagai pengecut, Penangsang melompat dan menyeberangi Sungai Serang. Namun, ketika mengejar Sutowijoyo, kudanya menjadi binal dan tidak bisa dikendalikan. Pada saat pikirannya terpecah oleh ulah kudanya, Sutowijoyo menotokkan tombaknya ke perut Penangsang hingga terluka parah. Penangsang masih mampu bertahan dan tetap mengejar Sutowijoyo dengan ususnya yang terburai disangkutkan di kerisnya. Nyawanya baru tercabut setelah ia dengan gegabah mengangkat kerisnya untuk menikam Sutowijoyo yang berhasil ditangkapnya. Tanpa disadari, keris itu memotong ususnya, sekaligus mencabut nyawanya setelah sebelumnya ia banyak kehilangan darah.

Sebagai 'master of strategy', SBY tentu mengetahui kharakter Jokowi dan putranya, Gibran, yang pongah. Bertemu putra mantan Presiden dan tokoh yang secara umum dipandang sebagai oposan Jokowi, Gibran pasti akan minder, 'salah tingkah' dan bersikap pongah. Maka terjadilah apa yang direncanakan SBY dengan mengirimkan Agus Yodhoyono. Tingkah polah Gibran yang viral di media sosial menjadi kuda 'Gagak Rimang' bagi Jokowi, khususnya berkaitan dengan prospek Pilpres 2019 mendatang dimana Jokowi hampir dipastikan bakal maju kembali sebagai capres. Adapun bagi Agus Yudhoyono, ia laksana Sutowijoyo.(ca)

2 comments:

Anonymous said...

Ah terlalu meng ada ada saya lihat di TV biasa saja kok namanya anak baru gede dan belajar dewasa dg pola tingkah anak remaja .di banding AHY yg terlalu PD .lucu waktu debat gebernur .tak nyambung .yg penting nyerocos .masyarakat sudah pinterkok jangan lupa mangkrak 32 kasus proyek listrik uangnya habis kemana .kasus Hambalang dan Century . gimana.ratusan triliyun untuk biaya pilpres kale.mendekat karena proyek listrik mangkrak coba serahkan ke KPK kalo dak blingsatan.keluar beringasnya berani taruhan hayoo hilang zaimnya sok populis

Kasamago said...

Sejarah akan terulang kembali..
Duel Zhuge Liang vs General Cao Cao at 2019.. dan pemirsa SDH tahu endingnya