Saturday 14 October 2017

Amerika dan Soros di Balik Krisis Rohingya

Indonesian Free Press -- Beberapa waktu lalu Soros dengan sesumbar mengatakan kepada umum, "Saya merasa senang dengan menganggap saya semacam Dewa atau reformis ekonomi seperti Keynes (John Maynard Keynes), atau bahkan lebih besar lagi seperti ilmuwan (Albert) Einstein… Saya cukup beruntung untuk bisa bertindak sesuai fantasi-fantasi saya…”

“Sebenarnya, saya sudah memiliki fantasi-fantasi suci sejak masih kanak-kanak, yang saya rasa harus dikendalikan atau kalau tidak saya akan dalam bahaya,” tambahnya.

Minggu lalu Perdana Menteri Hungaria Victor Orban menuduh Soros sebagai boss dari semua pejabat Uni Eropa yang berusaha menghancurkan Eropa dengan arus imigran illegal. Dua dekade lalu PM Malaysia Mahathir Mohammad menyebut Soros sebagai dalang di balik fenomena krisis moneter yang melanda Asia Timur yang berujung pada tumbangnya pemerintahan Orde Baru di Indonesia. Satu dekade sebelumnya, Soros juga diketahui berada di balik krisis mata uang Inggris demi meraup keuntungan miliaran dollar.


Soros diketahui juga berada di balik tumbangnya negara-negara komunis Eropa Timur, revolusi-revolusi bunga dan revolusi-revolusi warna di seluruh dunia, Arab Springs, dan Revolusi Maidan Ukraina. Maka, ketika terjadi krisis kemanusiaan di Myanmar, para pengamat politik internasional pun menebak-nebak, mungkinkah Soros juga berada di baliknya?

Dmitry Mosyakov, Direktur Centre for Southeast Asia, Australia and Oceania di Institute of Oriental Studies of the Russian Academy of Sciences, dalam sebuah wawancara mengatakan kepada Russia Today:

"Pertama, ini adalah sebuah permainan untuk melawan Cina karena Cina telah menanamkan investasi besar di Arakan (Rakhine). Kedua, ini dimaksudkan untuk memunculkan gerakan militan Muslim di Asia Tenggara. Ketiga, ini ditujukan untuk memecah belah ASEAN, antara Myanmar dengan negara-negara dominan Muslim Indonesia dan Malaysia."

Menurut Mosyakov, dengan menciptakan krisis di Myanmar, para 'pemain internasional', khususnya Amerika, sekaligus menciptakan ketidak-stabilitas ASEAN dan menggagalkan proyek ambisius Cina untuk menguasai sumber-sumber ekonomi dan jalur-jalur perdagangan strategis di kawasan.

"Ada ladang minyak besar diberi nama Than Shwe, jendral yang lama berkuasa di Burma. Dan sebagai tambahan, wilayah pantai Arakan (Rakhine) hampir pasti mengandung hidrokarbon-hidrokarbon minyak," kata Mosyakov.

Setelah ditemukannya cadangan minyak besar itu di Arakan pada tahun 2004, Cina langsung tertarik untuk menanamkan investasi, hingga pada 2013 Cina telah menyelesaikan proyek pipa migas yang menghubungkan pelabuhan Kyaukphyu di Myanmar dengan Kunming di Provinsi Yunnan, Cina Selatan. Dengan pipa ini, Cina bisa mengirim minyak mentah dari Timur Tengah dan Afrika ke Cina tanpa harus melalui Selat Malaka. Saat sumber migas Myanmar bisa dieksploitasi, pipa ini semakin penting nilainya bagi Cina.

Proyek kerjasama energi Cina-Myanmar ini ternyata diikuti dengan munculnya krisis kemanusiaan di Myanmar, khususnya di Arakan, antara tahun 2011-2012 ketika 120.000 warga Rohingya harus meninggalkan kampung halamannya untuk menghindari pertumpahan darah.

Menurut Dmitry Egorchenkov, Deputi Direktur Institute for Strategic Studies and Prognosis di Peoples' Friendship University of Russia, tidak ada yang kebetulan dari semua itu meski terdapat faktor-faktor internal Myanmar yang menjadi alasannya. Amerika berperan besar dalam konflik itu, demikian tegasnya.

"Ketidak stabilan Myanmar akan mengganggu proyek-proyek energi Cina. Ditambah dengan krisis antara Amerika dan Korea Utara, tetangga Cina di utara, Beijing terjebak dalam situasi yang sulit (crossfires)," kata Egorchenkov kepada Russia Today.    

Sementara itu, Burma Task Force, yang terdiri dari sejumlah organisasi yang dibentuk oleh George Soros, juga aktif bergerak di Myanmar sejak 2013. Mereka sangat keras menyerukan dunia untuk menghentikan 'genocide atas warga minoritas Muslim Rohingya."

Namun, peran Soros jauh lebih dalam dalam sejarah Myanmar, demikian sebuah Egorchenkov. Pada tahun 2003, George Soros bergabung dalam kelompok US Task Force Group bentukan Kemenlu Amerika yang bertujuan untuk 'meningkatkan kerjasama dengan sejumlah negara lain untuk menciptakan kondisi politik, ekonomi dan sosial yang diperlukan bagai transformasi politik di Burma (Myanmar)."

Dokumen The Council of Foreign Relation's (CFR) tahun 2003 berjudul "Burma: Time For Change," yang untuk pertama kali menyebutkan adanya kelompok itu mengatakan bahwa "demokrasi… tidak bisa hidup di Burma tanpa bantuan Amerika dan masyarakat internasional."

"Ketika George Soros datang ke satu negara atau negara lainnya, … ia akan mencari faktor agama, etnis, atau perbedaan sosial, memilih model aksi dengan satu atau beberapa faktor kombinasi dan mencoba menghangatkannya," tambah Egorchenkov kepada Russia Today.

Di sisi lain, menurut Mosyakov, beberapa kakuatan ekonomi global ingin menghentikan pertumbuhan ekonomi ASEAN dengan menciptakan konflik di dalamnya.

"Dengan menciptakan konflik, pemain eksternal mendapat kesempatan untuk meraih kesempatan kontrol ekonomi atas beberapa negara berdaulat melalui tekanan yang diberikan kepada mereka," kata Mosyakov.

Dalam krisis terakhir, yang dimulai tanggal 25 Agustus, kelompok militan Muslim (sejenis Al Qaida, ISIS dan kelompok-kelompok militan binaan Amerika dan atau Saudi Arabia dengan berkolaborasi dengan inteligen Israel), menyerang beberapa pos keamanan Myanmar di Arakan (Rakhine State). Reaksi keras dari pemerintah menimbulkan aksi-aksi kekerasan yang menewaskan setidaknya 402 orang. Namun, sejumlah analis menyebutkan angka korban tewas mencapai 3.000 warga Muslims.(ca)

No comments: