Friday, 2 March 2018

Tuan Tanah 5 Juta Hektar: Anda Super Serakah

By Ahmad Bay Lubis (Advokat, Ketua TAHAP, Pemerhati Hukum)

Ini bukan rasis. bukan soal toleran atau intoleran. Ini bukan soal cemburu buta, bukan soal agama atau etnis tertentu. Anda jangan salah faham bro. Masalah yang ingin disampaikan adalah soal Sinar Mas Group, pemilik 5 juta hektar tanah di Indonesia (sumber: keterangan Hafid Abbas, Komisioner Komnas HAM beberapa saat yang lalu di infodetik.com). Lalu apa masalahnya…?

Pertama soal keadilan. Bagaimana mungkin ada keadilan yang riel bisa dirasakan warga negara, manakala ada orang tertentu memiliki tanah 5 juta hektar (Sinar Mas Group) tapi pada saat yang sama, banyak warga negara yang masih terlunta-lunta tak punya tanah barang sepetak pun. Di manakah letak keadilan negara bagi warganya yang miskin papa tanpa tak punya tanah pertapakan rumah dan tak punya lahan untuk diolah, sementara Sinar Mas Group (SMG) punya tanah 5 juta hektar. Lahan dengan luas 5 juta hektar itu setara dengan 50 milyar meter persegi, sedangkan kaum Marhein zaman now masih banyak melimpah ruah yang tak punya tanah, tapi negara membiarkannya. Dengan demikian, negara tidak mampu mewujutkan keadilan bagi warganya.


Kedua soal Filsafat Kenegaraan. Salah satu tujuan merdeka dari penjajahan Belanda yang telah diperjuangkan dengan darah dan air mata itu adalah merdeka secara ekonomi dan meraih kesejahteraan yang seadil-adilnya bagi seluruh warga. Inlander yang terjajah itu berhasrat dan bermimpi suatu saat kelak setelah merdeka hidup bisa lebih baik dan lebih sejahtera. Harkat dan martabat ekonomi kaum inlander ini bisa lebih maju dari waktu-waktu dahulu ketika masih terjajah. Para founding father republik menyadari cita-cita dan mimpi rakyatnya. Kesadaran itupun dituangkan dalam sila ke-5 Pancasila, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia dan Pasal 33 UUD-1945. Keadilan sosial yang dimaksudkan sudah barang tentu keadilan dalam bentuk distribusi kepemilikan tanah. Bumi menurut Pasal 33 ayat (3) UUD-1945 itu adalah tanah yang semestinya dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Saya sebagai rakyat ingin bertanya kepada Presiden Joko Widodo, bagaimana mungkin rakyat bisa makmur jika rakyat tak punya tanah untuk diolahnya secara ekonomi sementara SMG bisa punya tanah sampai 5 juta hektar? apakah ini cita-cita kemerdekaan itu?

Ketiga soal Panduan PBB. Mengutip apa yang disampaikan Hafid Abbas tersebut, bahwa berdasarkan laporan Bank Dunia pada 15 Desember 2015 menyebutkan sebanyak 74 % tanah di Indonesia dikuasai oleh 0,2% penduduk, termasuk SMG yang kuasai 5 juta hektar. Jika SMG dan para taipan lainnya (0,2 % penduduk) menguasai 74 % tanah, maka sisanya hanya 26 % tanah yang dibagi kepada 99,8 %. Tanah yang 26 % ini yang diperebutkan oleh 99,8 % penduduk. Pasti banyak orang miskin yang tak kebagian tanah. Orang-orang miskin yang tak kebagian tanah ini akan miskin permanen secara statistic. Orang-orang miskin ini yang sama sekali tak pernah berjumpa dengan “kemerdekaan” itu. Ini tidak adil dan rawan. Ledakan kemarahan sosial dapat terjadi kapanpun. Oleh karena itu, Negara harus arif dan bijaksana. Jangan biarkan kemarahan sosial meledak dan mengoyak bangsa hanya gara-gara ingin menyenangkan 0,2 % penduduk yang boleh jadi tak pernah ikut merasakan pahit getirnya berjuang untuk kemerdekaan bangsa. “Boleh dilakukan penggusuran terhadap mereka yang memiliki tanah yang terlalu luas ini untuk dikasih ke orang miskin. Itu menurut panduan PBB, indah sekali” (Hafid Abbas).

Keempat soal Penegakan Hukum. Dalam rangka landreform, negara melarang adanya kepemilikan atau pengusaan tanah secara berlebihan atau melebihi batas. Oleh karena itu kepemilikan atau penguasaan tanah oleh seseorang atau badan hukum, khususnya tanah pertanian, dibatasi oleh negara. Di daerah yang tidak padat penduduk, batas maksimal kepemilikan tanah pertanian adalah 15 Hektar untuk tanah sawah dan 20 hektar untuk tanah kering. Hal pembatasan ini di atur dalam Pasal 17 UUPA jo UU No. 56 Prp 1960 jo Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 18 Tahun 2016.

Jika di lihat dari ketentuan hukum agraria tadi, maka dapat dipastikan bahwa Sinar Mas dan tuan tanah lainnya sesungguhnya telah berada di luar mainstream politik agraria negara. Negara seakan-akan tak berdaya oleh para tuan tanah atau negara sengaja menutup mata pura-pura tak tau masalah. Dalam kasus ini saya lebih percaya bahwa Negara c.q Pemerintah hanya menutup mata dan tidak responsif.

Rezim saat ini perlu diingatkan, saya tidak bermaksud mengkritisi, tetapi mengingatkan bahwa Negara c.q Pemerintah mestinya tetap menjaga idealisme untuk selalu hadir buat rakyatnya dan menjaga keadilan distribusi tanah untuk rakyat, dan pada saat yang sama dituntut untuk menegakkan politik hukum agraria agar jangan terjadi groot-grondbezit pada golongan tertentu, dan golongan rakyat miskin (jumlahnya mayoritas) menjadi hilang harapan kepada negara, akhirnya menemukan caranya masing-masing sehingga ledakan sosial tak dapat dihindari. Lakukan sesuatu buat rakyat, sebelum semua jadi terlambat.

Beberapa hari lalu, Selasa malam 26 Februari 2018, para aktifis hukum telah bertemu dan sepakat akan mengambil langkah hukum, akan mengajukan citizen law suite dalam waktu dekat. Djoko Edhi Abdurrahman memberikan rumus citizen law suite untuk melawan Sinar Mas dengan legal standing berdasarkan cluster nasional, berjumlah sekitar 1500 orang legal standing. Legal standing tersebut dikelola oleh koalisi LBH, di antaranya Lembaga Penyuluhan Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama se Indonesia.

2 comments:

Unknown said...

Waduh...keterlaluan nih, negara pura2 buta. Tanah seluas itu hanya dimiliki SINAR MAS GROUP, terus negara ngapain kok hanya diam ??

Kasamago said...

Keadaan negara sudah saatnya di rombak total..reset dr awal