Friday 1 November 2019

AS Pergi, Saudi Minta Damai dan Iran pun Menang

Indonesian Free Press -- Konflik Timteng tengah bergerak ke satu titik yang semakin jelas. Yaitu bahwa Iran tengah memenangkan perang melawan musuh-musuhnya, AS-Israel-Saudi.

Meski Israel berkali-kali melancarkan serangan ke Suriah untuk menghancurkan suplai senjata Iran ke Suriah dan Lebanon, Israel tidak bisa mencegah fakta bahwa kekuatan Iran telah berjejer di dekat perbatasan Israel baik di Suriah, Irak, Palestina dan Lebanon. Selain itu, AS juga mulai meninggalkan Timteng dengan menarik diri dari Suriah. Dan bahkan secara mengejutkan, AS juga mulai memindahkan markas komando militernya untuk Timteng (CENTCOM) yang berada di Qatar ke kampung halamannya di AS, diduga karena khawatir menjadi sasaran rudal-rudal Iran.


Seperti dilaporkan Yossef Bodansky di situs Oil Price, 21 Oktober, pada akhir September lalu AS mulai memindahkan pusat komando CENTCOM di Pangkalan Udara al-Udeid di Qatar ke Shaw Air Force Base di South Carolina. Dengan pemindahan itu maka operasi penerbangan 300 pesawat sehari mencakup wilayah Syria, Iraq, Afghanistan dan Teluk Parsi dikendalikan langsung dari AS. Meski Pentagon berdalih tindakan itu untuk latihan dan semuanya akan dikembalikan seperti semula, para pejabat militer Qatar mengatakan bahwa sejak saat itu kendali CENTCOM dilakukan secara simultan antara Al Udeid dan Shaw. 

"Karena AS tidak lagi yakin berapa lama pesawat-pesawat AS bisa bertahan di Qatar," kata seorang pejabat militer Qatar.

Kabar ini mendapat respon dari Iran. Koran Kayhan yang dikenal dekat pemerintah Iran menulis laporan, “pemindahan ini menunjukkan adanya rencana perubahan taktis yang besar di kalangan militer AS." Menurut laporan itu, pemindahan dipicu oleh perkembangan senjata Iran yang kini mengancam keamanan seluruh pangkalan milite AS di kawasan, terutama di Al Udeid.

"AU AS telah memindahkan pusat komando untuk Timteng dari Qatar ke South Carolina, langkah yang mengindikasikan rencana ke depan untuk kawasan ini. Langkah ini dilakukan di tengah ketegangan baru dengan Iran, yang berada sekitar 300 km di sebelah timur-laut. Jika konflik dengan Iran terjadi, pangkalan ini akan menjadi target utama Iran,” tulis Kayhan.

Langkah ini juga menjadi perhatian para analisis Timteng, termasuk Abdulrahman al-Rashed, analis politik berbasis di Riyadh yang menulis di surat kabar resmi 'Asharq al-Awsat' berjudul "Akahkan AS Meninggalkan Al-Udeid?” pada 2 Oktober lalu. Meski AS menjamin pemindahan itu hanya temporer namun bagi Saudi Arabia mengindikasikan 'ketakutan' AS bakal menjadi sasaran serangan Iran. Bersama-sama dengan kekalahan-kekalahan di medan tempur Yaman, Saudi semakin serius berniat mengakhiri ketegangan dengan Iran.

Pada 30 September lalu Presiden Iran Rouhani mengaku telah menerima 'pesan dari Saudi Arabia” melalui pemimpin negara ketiga (PM Iraq Adel Abdul Mahdi) bahwa Saudi menginginkan dialog dengan Tehran. Sehari kemudian setelah Iran tidak merespon pesan itu, Putra Mahkota Saudi MBS meminta Abdul Mahdi untuk “merancang pertemuan dengan Iran sebagai langkah awal untuk menurunkan ketegangan kawasana.” Jika Iran setuju, MBS berjanji akan mendesak Donald Trump untuk mencabut sanksi atas Iran dan menerima Iran sebagai mitra perdamaian kawasan.

Pemimpin tertinggi Iran Ali Khamenei kemudian menunjuk diplomat dan ketua parlemen Ali Larijani untuk bertemu MBS, yang disambut Larijani dengan membuat pernyataan pers. 

“Iran menyambut pernyataan Putra Mahkota Saudi Arabia Mohammed bin Salman, tentang upaya perdamaian melalui dialog dengan Tehran.”

Melihat perkembangan ini, sekutu sekaligus saingan Saudi UNi Emirat Arab-pun tidak ingin ketinggalan kereta. Pada 11 Oktober penasihat keamanan dan saudara kandung Emir United Arab Emirates (UAE), Tahnoun bin Zayed, tiba di Tehran dalam upaya mengakhiri ketegangan dengan Iran. Ia menjamin Iran bahwa UAE bertindak independen dari campur tangan Saudi. Tidak lama setelah itu tanda-tanda kemenangan Iran tampak semakin jelas dengan kedatangan PM Pakistan Imran Khan ke Tehran dengan membawa pesan langsung dari MBS tentang kesiapan Saudi berdamai dengan Iran dengan mengabaikan Amerika, namun Saudi masih meminta Iran untuk menerima keberadaan pangkalan2 AS di Saudi. 

Respon Tehran pun sangat jelas. Ketua Dewan Keamanan Nasional Iran Admiral Ali Shamkhani, pada tanggal 14 Oktober mengatakan bahwa keberadaan Amerika di Timteng hanya membawa ketidakstabilan di kawasan dan hal itu disadari benar oleh negara-negara yang menjadi tuan rumah pangkalan-pangkalan militer AS.

"Bahkan kelompok2 yang selama bertahun-tahun menjadi pangkalan militer AS di kawasan ini mengakui kenyataan ini, yaitu bahwa Timteng tanpa AS akan menjadi tempat yang lebih aman,” kata Shamkhani.

Perkembangan lainnya adalah pertemuan delegasi Iran dan Saudi dalam pertemuan Forum negara2 eksportir minyak Gas Exporting Countries Forum di Moscow, 6 Oktober lalu. Saat itu Meteri Perminyakan Saudi Khalid al-Falih bertemu Menteri Perminyakan Iran Bijan Zangeneh. Al Falih mengatakan bahwa Iran dan Saudi adalah sahabat lama (selama 22 tahun) dan dirinya tidak kesulitan untuk bertemu dengan mitranya dari Iran. Sementara Zanganeh mengatakan bahwa musuh Saudi bukanlah Iran melainkan negara lain di luar kawasan (Amerika).

Dipastikan saat ini Iran dan Saudi tengah melakukan perundingan rahasia untuk menyelesaikan masalah kedua negara.(ca)

No comments: