Sunday 8 December 2019

Kejahatan yang Tidak Bisa Dipercaya Akal

Indonesian Free Press -- Syahdan pada suatu hari ada seorang bocah perempuan gelandangan di kota besar di Amerika ditangkap polisi. Bocah ini kemudian diserahkan ke panti sosial milik pemerintah setempat. Beberapa waktu kemudian bocah ini dipelihara oleh sebuah yayasan sosial milik swasta. Setelah beberapa lama bocah ini diserahkan kepada satu keluarga kaya yang kemudian diketahui sebagai 'mucikari' kelas atas.

Oleh mucikari tersebut bocah kecil itu bersama bocah-bocah kecil lainnya yang senasib, laki-laki dan perempuan, sering dibawa pergi keliling Amerika, Eropa hingga ke penjuru dunia, mengikuti pesta-pesta orgi dan ritual-ritual aneh, menjadi obyek 'permainan'. Berbagai bentuk pelecehan seksual dia alami hingga ke bentuk yang tidak terbayangkan. Yang paling ekstrem adalah ia menyaksikan anak-anak kecil dibunuh, darahnya dihisap, dimutilasi dan dagingnya dimakan mentah-mentah. Sebagian peserta ritual aneh itu hanya memakan daging manusia setelah dagingnya dipanggang atau dimasak, setelah organ-organ pentingnya seperti jantung, mata, dan ginjal diambil (untuk diperdagangkan di pasar gelap organ manusia).


Karena trauma oleh pengalaman mengerikan tersebut bocah tersebut menjadi tidak stabil mentalnya. Ia kerap berteriak-teriak menceritakan pengalamannya dan hanya berhenti setelah diberi obat penenang atau narkoba. Namun karena traumanya tidak juga bisa dijinakkan dengan obat-obatan, ia pun dibuang ke suatu klinik pengobatan mental. Kepada polisi yang meminta keterangan tentang keberadaan bocah itu, dan juga bocah-bocah lainnya di klinik itu dokter klinik menyebutnya sebagai penderita schizophrenia. Dan beberapa tahun kemudian nasib bocah itupun, seperti nasib ribuan anak-anak yang hilang setiap tahunnya, berakhir di pejagalan manusia dengan organ-organ tubuhnya diperjual-belikan dan dagingnya menjadi bagian dari sosis dan nugget di dalam makanan siap saji.

Bagi banyak orang cerita tersebut hanya ada di film-film fiksi. Namun bagi sebagian kecil orang yang memiliki pengetahuan luas dan berfikir hal itu adalah fenomena yang nyata. Cerita-cerita 'horror' seputar 'predator sex' Jimmy Saville, Ian Watkins, Jeffrey Epstein dan kasus 'pizza pingpong' yang melibatkan Hillary Clinton dan elit Demokrat AS telah membuka kisi-kisi cerita horror di seputar kehidupan elit dunia. Atau kasus Peter Dalglish, mantan pejabat tinggi PBB dengan jabatan Chief Advisor United Nations Child Labour Program dan pendiri yayasan “Street Kids International.”

"Dengan Jeffrey Epstein dan Prince Andrew yang membuat berita utama media-media dunia, banyak orang yang tidak mengerti tentang praktik-praktik pedophilia oleh para elit dunia kini pikirannya mulai terbuka lebar. Namun meski banyak bukti tentang aktifitas mereka selama puluhan tahun, banyak orang menganggap hal ini sebagai 'conspiracy theory' dan banyak ahli dan professional 
yang menggolongkan mereka yang berani maju untuk memberikan kesaksian sebagai pengidap schizophrenia," tulis Arjun Walia di situs Renegade Tribune, 1 Desember lalu.

Seperti dilaporkan Renegade Tribune, Dalglish yang berkewarganegaraan Kanada ditangkap kepolisian Nepal dan dijatuhi hukuman atas  dakwaan kejahatan seksual terhadap sejumlah anak-anak di Nepal. Ia ditangkap setelah dua orang korbannya yang masing-masing berusia 12 dan 14 tahun berhasil 
melarikan diri dari rumahnya. Anak-anak itu mengaku diiming-imingi untuk belajar dan bekerja di luar negeri sebelum menjadi korban kebejatan Dalgish.

Associated Press yang melakukan investigasi atas kasus ini menemukan bahwa selama lebih dari 12 tahun terdapat sekitar 2.000 kasus pelecehan dan eksploitasi seksual oleh para penjaga perdamaian PBB dan pegawai-pegawai PBB lain di seluruh dunia dengan sebagian korbannya adalah anak-anak. Namun sangat 
sedikit kasusnya yang sampai ke pengadilan.

Mantan polwan dari Nebraska, Kathryn Bolkovac, yang pernah bekerja sebagai penjaga perdamaian PBB dan bekerja untuk perusahaan kontraktor keamanan DynCorp, juga pernah melakukan penyelidikan dan melaporkan aksi-aksi kejahatan yang melibatkan pejabat-pejabat dan pegawai PBB, Kemenlu dan Kemenhan AS. Namun, seperti halnya kasus pedhopilia di Jakarta International 
School, para pelakunya  justru mendapat perlindungan otoritas AS. 

Satu laporan ilmiah yang ditulis Dr. Rainer Kurz yang dipublikasikan di majalah European Psychiatry berjudul “The cremation of care ritual: Burning of effigies or human sacrifice murder? The importance of differentiating complex trauma from schizophrenia in extreme abuse settings,” menemukan fenomena yang disebutnya dengan istilah ‘new reality’. Yaitu bahwa setiap pengakuan korban kejahatan seksual tentang praktik-praktik tidak masuk akal harus dianggap sebagai kebenaran kecuali ditemukan bukti-bukti yang cukup bahwa korban benar-benar mengidap delusi dan Schizophrenia.

Laporan itu juga mengutip beberapa temuan lainnya seperti kasus 'hamil paksa' disertai ritual pengorbanan nyawa manusia oleh sekelompok pengikut sekte ‘child-on child’ yang berbasis di Inggris. Juga disinggung tentang kasus Franklin Scandal yang terjadi tahun 1989. Dalam kasus ini terbongkar aksi-aksi keji ketika ratusan anak-anak diterbangkan ke segala penjuru di AS untuk menjalani pelecehan oleh 'orang-orang mapan'.(ca)

1 comment:

Kasamago said...

sayangnya banyak yg tidak percaya, di tengah peradaban tinggi sekarang ini masih saja ada klompk yang meneruskan peradaban bar bar. Hebatnya, mereka menguasai dunia dg kekuatan uang yg masif.
Hanya dapat berdoa, semoga Allah senantiasa melindungi anak2 tak berdosa ini, dan bagi para korban mendapat tempat terbaik di sisi Allah
Aamiin