Friday 20 March 2020

Tidak Usah Panik Hingga Melarang Sholat Berjamaah

Indonesian Free Press -- Tingkat kematian coronavirus terlalu dibesar-besarkan. Demikian pernyataan John P.A. Ioannidis, Guru Besar Meta-Research Innovation Center Stanford University. 

Ioannidis, yang jago di bidang kedokteran, biomedical data science, statistik, epidemiologi dan kesehatan masyarakat menyebut respon terhadap wabah coronavirus sebagai “a fiasco in the making” alias kesalahan yang disengaja karena 'kita' membuat keputusan terkait wabah tersebut berdasar “utterly unreliable” alias data yang salah. data. Akibatnya adalah segala langkah dan kebijakan yang diambil berdasar data itu telah 'severely overreacting', alias kesalahan parah yang terlalu dibesar-besarkan.

“Wabah saat ini, Covid-19, disebut-sebut sebagai wabah sekali dalam satu abad. Namun bisa juga disebut dengan satu bukti kesalahan dalam satu abad," tulis Ioannidis dalam publikasi ilmiah STAT, hari Selasa (17 Maret).


Menurut Ioannidis, sebagai akibatnya banyak kebijakan yang dilakukan di banyak negara seperti 'lockdown' dan 'social distance' menjadi langkah yang hanya membawa bencana tambahan.

"Karena sangat terbatasnya data yang diuji kita kehilangan mayoritas data infeksi dari Covid 19 dan itu membuat tingkat kematian yang dilaporkan WHO menjadi tidak berarti," tambahnya.

Kesalahannya, menurut Sang Profesor ada pada data yang diuji hanyalah pasien-pasien dengan tingkat keparahan yang tinggi atau dengan kata lain terjadi 'selection bias' atau bias pemilihan data. Ia kemudian membandingkan dengan satu situasi dimana satu populasi yang terbatas diuji data. Dalam hal ini ia mengambil contoh kasus pada kapal pesiar Diamond Princess.

Tingkat kematian di kapal ini adalah 1%, namun karena mayoritas penumpang adalah manusia lansia, ketika diproyeksikan ke dalam struktur usia dalam populasi (dalam hal ini struktur usia di Amerika) maka tingkat kematiannya menjadi 0.125% dengan derajat deviasi antara 0.025% dan 0.625% tergantung besarnya sampel. Dan ketika diproyeksikan ke dalam populasi (Amerika) angkanya menjadi 'hanya' 0,125%.

Dengan risiko kematian (akibat Coronavirus) hanya 0,125% dari populasi, maka langkah 'lockdown', 'social distance' apalagi sampai dengan menutup tempat ibadah adalah tindakan bodoh.

"Ini seperti seekor gajah yang diserang oleh seekor kucing. Takut oleh serangan itu si gajah melompat ke dalam jurang dan mati," tambah Sang Profesor.

Menurut Profesor, dengan tingkat kematian seperti di atas, flu biasa yang membunuh 8% orang-orang tua dalam perawatan tidak kalah mematikan.

Fakta menarik juga diberikan oleh Jon Rappoport dalam tulisannya berjudul 'Italy coronavirus: new explosive information' di situs No More Fake News, 19 Maret lalu. Menurut Rappoport, berdasar data dari otoritas Italia, hampir seluruh korban tewas  (99%) karena coronavirus di Italia menderita penyakit jantung, tekanan darah, diabetes dan penyakit bawaan lainnya. Dengan kata lain coronavirus hanya menjadi pemicu dan  penyebab kematian sesungguhnya adalah penyakit bawaan.

Selain itu, yang tidak kalah menarik, usia rata-rata mereka yang tewas itu adalah 79,5 tahun. Dengan kondisi itu, ketika seorang tua berpenyakitan harus menjalani perlakuan khusus coronaviarus, diisolasi dan sebagainya, hanya mempercepat kematian mereka.(ca)

1 comment:

Kasamago said...

Fakta yang ditutupi dan benar benar kedunguan melanda seantero negeri..