Thursday 5 March 2020

White Helmets Rencanakan Rekayasa Serangan Kimia, Teroris Menyatu dgn Turki

Indonesian Free Press -- Rusia menyebut White Helmets bersama kelompok teroris telah merencanakan serangan kimia di Suriah dan menuduhkan kesalahan kepada Suriah untuk menjadi alasan bagi serangan NATO. Demikian laporan Sputnik News, kemarin (4 Maret).

“Pada 2 Maret, sekelompok 15 teroris mencoba meledakkan amunisi bersama dengan kontainer-kontainer berisi bahan kimia beracun. Mereka mencoba menghambat gerak maju pasukan Suriah di bagian barat kota Saraqib dan kemudian menuduh pasukan pemerintah Suriah menggunakan senjata kimia," tulis Sputnik News mengutip keterangan Russian Reconciliation Centre for Syria kemarin.

Namun upaya tersebut gagal setelah salah seorang teroris tidak sengaja membocorkan kontainer berisi bahan kimia sebelum waktunya dan meracuni para teroris sendiri 'secara signifikan'. Namun tidak disebutkan apakah ada korban jiwa di antara para teroris tersebut.


Dalam aksi lain sebelumnya yang berkaitan dengan rencana jahat itu kelompok White Helmet telah membuat film provokasi dengan mengirimkan 400 liter bahan kimia beracun ke tempat tersebut sebelum terjadi insiden kebocoran. Kemudian satu delegasi dari Amerika yang disponsori oleh Presiden Turki akan berada lokasi insiden untuk memberikan 'kesaksian palsu'.

Rusia mengaku akan segera membeberkan ke publik bukti-bukti rekayasa tersebut. Laporan ini muncul beberapa hari setelah personil polisi militer Rusia dikirimkan ke kota strategis Saraqib di provinsi Idlib untuk menjaga keamanan kota tersebut.

Cerita tersebut mengingatkan pada sejumlah insiden serangan kimia setingan yang dilakukan pihak-pihak yang menginginkan digantinya rejim Bashar al Assad dengan pemimpin baru yang pro-zionis. Tahun 2018 AS dan Uni Eropa menuduh pemerintah Suriah melancarkan serangan senjata kimia di wilayah Ghouta, Damaskus timur. Rusia membela Suriah dengan bukti-bukti serangan itu dilakukan oleh para pemberontak sendiri bersama-sama dengan White Helmets. Meski demikian, secara sepihak kemudian AS, Inggris dan Perancis melancarkan serangan rudal jelajah ke Suriah.

Selanjutnya, pada bulan Mei 2019, AS mengatakan tengah melakukan penyidikan dugaan penggunaan senjata kimia oleh pemerintah Suriah di Idlib. Rusia juga membantah keras tuduhan itu sehingga 'rencana' untuk menyerang Suriah pun batal.

Di sisi lain menjelang pertemuan Presiden Putin dengan Erdogan, Kemenhan Rusia hari Rabu kemarin (4 Maret) menuduh Turki telah menyatu dengan teroris di Idlib, sekaligus mengabaikan kesepakatan Sochi antara Rusia dan Turki. Keberadaan pos-pos penjagaan Turki di Idlib yang diharapkan dapat mengeliminir para teroris, justru memperkuat teroris.

“Alih-alih, hasil dari kesepakatan (Sochi) adalah berkumpulnya kelompok-kelompok teroris yang masuk daftar PBB, Khayyat Tahrir al-Sham, Islamic Party of Turkestan, dan Khoras ad-Din di perbatasan Turki,” kata Jubir Kemenhan Rusia Mayjend Igor Konashenkov.

“Wilayah-wilayah yang telah diperkuat oleh para teroris telah menyatu dengan pos-pos pengamatan Turki yang didirikan berdasar kesepakatan Sochi tahun 2018," tambahnya.

Kemudian, serangan-serangan teroris pun semakin intensif ke wilayah-wilayah pemukiman dan markas militer Rusia di Khmeimim.(ca)

No comments: