Saturday 12 July 2014

Perselingkuhan Kurdi-Israel-AS

Seluruh analis politik menyimpulkan bahwa ada sebuah konspirasi sistematis di balik aksi offensif kelompok teroris ISIS di Irak akhir-akhir ini.

“Timur Tengah” diciptakan oleh kekuasaan kolonial Inggris dan Perancis hampir satu abad yang lalu dengan cepat runtuh begitu saja ketika ISIS dengan cepat membangun kekuasaan dari pinggiran kota Aleppo ke Tikrit dan dari Mosul ke perbatasan Yordania-Irak.

Wilayah geografi buatan, yang didirikan di tengah-tengah Perang Dunia I melalui  perjanjian Sykes-Picot tahun 1916, kini terancam. Bukan kebetulan jika ISIS itu sendiri, meskipun memimpikan kekhalifahan, juga menekankan tujuan sebenarnya.

“Negara-negara yang terbentuk dari fragmentasi Kekaisaran Ottoman itu kini semua berisiko. Dalam pusaran geopolitik ini elektron bebas utamanya adalah pastinya adalah gagasan pembentukan Kurdistan Raya.”

Demikian kesimpulan jurnalis senior Pepe Escobar dalam tulisannya di Russia Today awal bulan lalu, menyikapi fenomena kemunculan kelompok teroris ISIS di Suriah dan Irak.

“Irak tengah hancur di depan mata kita dan tampak bahwa pembentukan sebuah negara Kurdi merdeka adalah sebuah kepastian.”

Itu adalah kesimpulan Menteri Luar Negeri Israel, Avigdor Lieberman akhir bulan Juni lalu, seolah menunjukkan kegembiraan pemerintah Israel atas munculnya negara merdeka Kurdi.

Apa yang selalu dikatakan Lieberman kepada Menteri Luar Negeri AS John Kerry pekan ini terutama adalah fakta bahwa Pemerintah Otonomi Kurdistan di Irak (KRG), adalah pengekspor minyak ke Israel.

Dengan semua tujuan praktis, milisi Kurdi Peshmergas, sekarang juga mengendalikan wilayah kaya minyak Kirkuk yang menjadi sengketa antara pemerintah pusat Irak dan KRG, setelah penarikan memalukan tentara Irak di depan gerak maju ISIS. Presiden KRG Masoud Barzani pun dengan lantang mengatakan: “Kami akan membawa seluruh kekuatan kami untuk mempertahankan Kirkuk.”


KRG telah berusaha untuk mengendalikan Kirkuk dengan segala cara yang diperlukan sejak pendudukan Irak oleh AS tahun 2003. Dalam skenario masa depan, Kirkuk akan menjadi pompa bensin yang memberikan kekayaan besar bagi bangsa Kurdi yang makmur. Baghdad pun dihadapkan dengan ancaman serius lainnya.

Bukan rahasia lagi di masyarakat Timur Tengah bahwa Tel Aviv dan Kurdi telah memiliki hubungan akrab di bidang militer, intelijen dan bisnis, sejak tahun 1960-an.  Maka tidak perlu diragukan bahwa Israel akan menjadi negara pertama yang mengakui negara Kurdi yang merdeka.

Maka tidak mengherankan jika Presiden Israel Shimon Peres, juga di minggu yang sama dengan pernyataan Lieberman, mengatakan kepada Presiden AS Barack Obama, “Kurdi secara de facto, telah menciptakan negara mereka sendiri, yang demokratis. Salah satu tanda-tanda demokrasi itu adalah pemberian kesetaraan bagi perempuan.”

Mengapa secara tiba-tiba, pemimpin Israel yang tidak pernah peduli dengan perempuan-perempuan Palestina, sangat peduli dengan hak-hak perempuan Kurdi?

Sesuatu yang mencurigakan sedang terjadi. Apalagi setelah media seperti Wall Street Journal pun gencar mengkampanyekan kemerdekaan Kurdi.

Konsensus pernyataan pada media-media Israel adalah bahwa kemerdekaan Kurdi adalah “baik bagi Israel” karena Kurdi bukanlah orang-orang Arab, Persia atau Turki. Kurdistan, setidaknya di wilayah Kurdistan Irak, dipandang oleh Israel sebagai “entitas yang tidak bermusuhan”, dan yang terpenting, tidak tersentuh oleh penderitaan rakyat Palestina.

Dari sudut pandang Israel yang ketat, Kurdi dianggap sebagai kaum moderat, Muslim sekuler yang telah menjadi korban chauvinisme Arab, baik itu dari kaum Islam nasionalis atau pun Islam garis keras.

Setidaknya dalam teori, Kurdi tidak akan memusuhi gagasan “penentuan nasib bangsa yahudi sendiri.” Dan lebih krusial lagi, negara Kurdistan Raya akan menjadi negara penyangga yang ideal yang bertindak bersama-sama dengan kepentingan strategis Israel yang lebih besar: secara bersamaan akan mengamputasi Turki, Iran, Irak dan Suriah.

Bahkan Kurdistan Irak yang merdeka tidak hanya akan menjadi “teman Israel” tetapi juga akan menjadi negara makmur. Irbil, misalnya, meskipun bukan Arab, ingin memasarkan dirinya sebagai Ibukota Pariwisata Arab. Dan semua ini, dalam pendangan Israel yang paranoid, sebagai sekeranjang kasus negara-negara gagal. Apa  yang tidak disukai Israel?

Lihat dari sekarang, segala bentuk langkah Israel untuk menciptakan Balkanisasi Irak menjadi negara Suni, Shiah dan Kurdi. Tidak diragukan bahwa Kurdi merdeka telah menjadi agenda lama sejak Perang Teluk 1991. Pertama dengan membentuk milisi bersenjata sendiri, Peshmerga, dan kini mengekspor minyaknya sendiri tanpa persetujuan pemerintah pusat di Baghdad.

Namun seluruh pertunjukan juga dipenuhi dengan mitos, seperti “konflik tak terdamaikan antara Arab dan Kurdi di Irak”. Sebenarnya selama hampir 10 tahun belum ada jajak pendapat yang kredibel yang menyatakan bahwa mayoritas Kurdi Irak menginginkan kemerdekaan. Sebanyak ada kerinduan untuk kemerdekaan, Kurdi juga merupakan bagian dari pemerintahan di Baghdad.

Benar, KRG telah menengahi gencatan senjata antara pemerintah Turki dan kelompok separatis Partai Pekerja Kurdistan (PKK). Tapi masalah bangsa Kurdi di Suriah dan Turki adalah sesuatu yang sangat kompleks. Kurdi Suriah telah menikmati otonomi yang jauh lebih besar setelah mencapai kesepakatan dengan Damaskus untuk tidak menuntut negara merdeka di Suriah. Sedang Kurdi Irak sibuk membantu mereka dengan cara mereka yang otonomus.

Masalah Kurdi menjadi semakin rawan sebagai sumber pertikaian antara kelompok Sunni melawan Syiah, yang telah terwujud dalam bentuk serangan cepat ISIS ke Irak.

Kaum muda Kurdi yang sebelumnya tidak terpengaruh di Turki, dihasut oleh retorika agama Saudi, senjata dan uang, sangat tertarik dengan semangat jihad di Suriah. Pemakaman ISIS di wilayah dominan Kurdi di Anatolia selalu menarik perhatian orang banyak, dan menjadi peluang sempurna bagi ISIS untuk merekrut anggotanya.

Apa yang pasti adalah bahwa angan-angan dari Tel Aviv ke Washington, akan terus menyerap perhitungan tentang masalah Kurdi, seperti dalam asumsi Turki yang seolah diizinkan bergabung ke Uni Eropa, meski sebenarnya tidak. Dengan demikian Kurdistan akan menjadi perbatasan Uni Eropa yang sebenarnya di timur.

Apa yang diinginkan AS dan Israel adalah fatamorgana dari negara-negara eksportir minyak utama yang ramah dalam jangka panjang. Itulah sebabnya Balkanisasi terdengar sangat menarik. Ini tidak ada hubungannya dengan kesejahteraan rakyat Kurdi yang secara historis selalu dirugikan.

Ini bisnis yang sesungguhnya. Dan kini, permainan “pecah belah dan kuasai” yang lain tengah berlangsung.***


Keterangan: tulisan asli di situs liputanislam.com

No comments: