Wednesday 31 August 2016

Bravo Indonesia, Sekali Lagi Gagalkan Skenario Jahat Neoliberalisme-Zionisme

Indonesian Free Press -- Pemerintah melalui Dirjen Pajak akhirnya memberikan penjelasan kepada publik tentang pelaksanaan program 'tax amnesty' untuk meredam kemarahan publik tentang implementasi program tersebut yang dianggap melenceng dari kepatutan. Di antara penjelasan itu adalah bahwa masyarakat dengan penghasilan kurang dari Rp4,5 juta per-bulan dibebaskan dari program tersebut, dan harta benda yang berasal dari warisan tidak dikenakan pajak.

Mengapa lagi-lagi pemerintah melakukan 'blunder', sebagaimana pengangkatan warga negara Amerika Arcandra Tahar menjadi menteri ESDM? Setelah mendapatkan reaksi publik, baru meralat kebijakannya? Apakah memang semuanya disengaja? Berharap publik tidak bereaksi, dan agenda 'jahat' mereka pun berjalan mulus? IFP percaya bahwa demikianlah halnya.

Bukankah kecenderungan negara-negara yang dikuasai regim neoliberlisme adalah sama: keuangan negara yang dikorup, hutang luar negeri untuk menutupi defisit anggaran, pemotongan anggaran,  dan akhirnya rakyat dicekik dengan pajak? Terlalu na'if untuk tidak percaya bahwa tujuan tax amnesty sebenarnya memang untuk mencekik rakyat demi keuntungan para pemodal asing.

Sekali lagi, selamat kepada rakyat Indonesia yang berhasil menggagalkan skenario jahat jongos-jongos neoliberalisme-zionisme internasional, setelah sebelumnya menggagalkan pengangkatan Arcandra Tahar.

Di negara-negara lain, skenario-skenario jahat itu bebas melenggang tanpa perlawanan hingga akhirnya negara bangkrut dan rakyat semakin dalam terjerumus dalam perbudakan tanpa sadar. Di Inggris, jabatan Gubernur Bank Sentral yang sangat strategis dipegang oleh warga asing (Kanada). Di Ukraina, gubernur, menteri bahkan Direktur BUMN juga dipegang oleh orang-orang asing (putra Wapres Amerika Joe Biden diangkat menjadi direktur BUMN migas). Di Yunani, rakyat masih saja percaya pada regim sosialis yang terbukti mengkhianati janjinya untuk keluar dari jeratan hutang Uni Eropa dan IMF yang telah membuat negara itu bangkrut.

Blog ini telah berkali-kali meramalkan bahwa Indonesia bakal menjadi awal keruntuhan regim neoliberalisme-zionisme global. Ini bukan tanpa alasan. Indonesia adalah pelopor gerakan kemerdekaan negara-negara dunia dari penjajahan kolonialisme barat. Indonesia adalah satu-satunya bangsa di dunia yang berhasil mengalahkan kekuatan-kekuatan jahat internasional: imperalisme bangsa Mongol di abad pertengahan, kolonialisme negara-negara barat, dan komunisme. Dan lebih khusus lagi, Indonesia adalah bangsa yang telah dipilih Allah untuk menerima 'kebenaran' Islam.

Jauh dari pusat perkembangan Islam di Timur Tengah, tanpa pertumpahan darah dan tanpa menggunakan missi terorganisir sebuah negara, puluhan juta penduduk yang tersebar dari Sabang hingga Merauke yang berbeda-beda suku dan budayanya, secara serempat memilik Islam sebagai agamanya. Ini adalah sebuah keajaiban sejarah.

Skenario jahat tax amnesty yang gagal karena perlawanan publik, memaksa Presiden Jokowi untuk 'cuci tangan' dengan menyalahkan Menteri Keuangan Sri Mulyani.

“Setelah ada gugatan tax amnesty di MK oleh Muhammadiyah, Jokowi melalui Seskab Pramono Anung baru bersuara dan mempertanyakan ke Menteri Keuangan Sri Mulyani,” kata pengamat politik Ahmad Yazid seperti dilaporkan situs Suaranasional, Selasa (30 Agustus).

“Ini nampaknya Jokowi mau cuci tangan saja setelah muncul keresahan dari masyarakat,” tambah Yazid.

Menurut Yazid, pemerintah Jokowi akan malu jika gugatan Muhammadiyah tentang tax amnesty di MK dikabulkan.

“Kalau sampai kalah, Jokowi akan malu dihadapan rakyat. Makanya sebelum malu mengopinikan kesalahan ada di Menteri Keuangan,” jelas Yazid.

Seiring skenario menyalahkan Sri Mulyani, Menteri Sekretaris Kabinet Pramono Anung mengatakan bahwa amnesti pajak adalah fasilitas khusus yang ditujukan bagi para pengemplang pajak yang selama ini menyembunyikan aset. Kebijakan ini tidak seharusnya meresahkan rakyat kecil dan wajib pajak patuh karena sebenarnya bukan mereka sasarannya.

“Bukan yang sudah tertib membayar pajak, malah kemudian dikejar-kejar. Atau juga yang katakanlah asetnya kecil, tetapi karena kealpaan, kelupaan, kemudian mereka sekarang mumpung ada kesempatan dan mereka deklarasikan, ikut tax amnesty, itu yang dikejar-kejar,” ujar Pramono kepada wartawan di Istana Negara, Senin (29 Agustus)

Selain gugatan PP Muhammadiyah ke Mahkamah Konstitusi terkait tax amnesty, berikut adalah salah satu perlawanan publik terhadap skenario tax amnesty yang dimuat di sejumlah media online:


Surat Terbuka Prof. Dr. Anwar Nasution untuk Jokowi, Perihal Tax Amnesty

Mantan Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia 1999-2004 Anwar Nasution, memberikan penjelasan tentang pengaruh negatif dari kebijakan tax amnesty atau pengampunan pajak, yang mana sampai saat ini masyrakat umum masih bingung yang pada akhirnya mereka berkesimpulan bahwa seolah-olah pemerintah malah memeras rakyat, berikut dikutip oleh beritaislam24h.com.

Bapak Joko Widodo yang saya hormati. Izinkan saya kembali menulis surat terbuka kepada Bapak, kali ini saya mau mengadu soal pengampunan pajak (tax amnesty). Harap maklum, sebab sampai sekarang masih banyak rakyat yang bingung dan akhirnya berkesimpulan: "Lho, pemerintah kok malah memeras rakyat."

Saya tahu, Bapak berjuang agar RUU Pengampunan Pajak disetujui DPR menjadi UU dan sekarang sudah berlaku, tentunya bertujuan untuk mengapitalisasi "potensi luar biasa" yang beberapa waktu lalu masih tersembunyi, bahkan sengaja disembunyikan oleh sejumlah kalangan, terutama para pengusaha kita.

Maafkan kami Pak Jokowi jika selama ini kami salah menafsirkan UU tersebut. Kami menganggap UU Pengampunan Pajak hanya dikhususkan bagi upaya memulangkan dana-dana milik orang Indonesia (pengusaha) yang bertahun-tahun parkir (diendapkan) di luar negeri.

Saya tidak tahu persis, informasi yang selama ini disebarluaskan lewat media massa dan media sosial (medsos) menyangkut dana milik orang Indonesia di Singapura benar atau tidak? Disebut-sebut, "harta" berupa uang milik "kita" yang ada di negeri itu mencapai Rp 11.000 triliun!

Jika benar, bayangkan jumlahnya dua kali APBN kita. Sungguh spektakuler. Jumlah itu belum termasuk "uang warga negara Indonesia" yang tersimpan di negara-negara lain, seperti Amerika, Swiss, dan negara Eropa lainnya.

Kami membayangkan betapa dahsyatnya Indonesia jika Bapak sukses mengembalikan belasan dan (mungkin) puluhan ribu triliun rupiah dana milik orang-orang kaya yang selama ini digandakan di luar negeri. Bisa dipakai untuk membangun rumah sakit dan sekolah, bisa untuk mempercepat pembangunan jalan tol, bendungan, irigasi dan sebagainya.

Oleh sebab itulah saya bisa maklumi jika masyarakat Indonesia mengait-ngaitkan kasus sakitnya Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong saat ia sedang berpidato beberapa hari lalu karena ia panik Bapak memberlakukan tax amnesty yang berkonsekuensi uang milik orang Indonesia yang tersimpan di negerinya berbondong-bondong kembali ke Indonesia dan Singapura terancam bangkrut. Kalau tidak bangkrut, ya megap-megap.

Bapak Jokowi yang saya hormati, karena bapak begitu berani mengambil keputusan.

Dugaan kami rupanya salah. Pemerintahan yang Bapak pimpin ternyata tidak hanya fokus kepada 20 persen dana milik orang kaya Indonesia yang berada di luar negeri dan dalam negeri, tetapi juga 80 persen rakyat Indonesia yang tak sesen pun punya simpanan di luar negeri. Ya, negara kok malah “ngrusuhi” kami.

Benar, Pak, sebagai warga negara yang berusaha baik, selayaknya kami membayar pajak. Kami tidak ingin ngemplang pajak. Itu sudah kami lakukan. Kami bayar pajak bumi dan bangunan (PBB). Kami juga rutin membayar pajak kendaraan bermotor. Kami yang bekerja sebagai karyawan juga sudah membayar pajak penghasilan. Mendapat honor yang tak seberapa pun kami dipajaki. Bahkan saat kami makan di restoran juga bayar pajak. Belum lagi ketika kami membeli barang yang dianggap mewah. Tabungan kami di bank juga terus berkurang karena dipotong pajak.

Maafkan kami Pak, ketika tim Bapak melakukan sosialisasi tax amnesty ke berbagai daerah dan banyak televisi memberitakan soal pengampunan pajak, sebagian besar di antara kami berpendapat: "Ah, itu bukan urusanku."

Oleh sebab itulah saya – dan mudah-mudahan Bapak juga – maklum jika di lapangan kemudian muncul banyak kasus. Saya tidak tahu persis informasi yang disebarluaskan rakyat Bapak melalui media sosial belakangan ini tentang nasib seorang pensiunan yang akan patuh pada kebijakan tax amnesty benar atau tidak? Saya sih berharap tidak benar. Tapi, jika benar, kasihan betul pensiunan itu.

Melalui surat terbuka ini izinkan saya informasikan “fakta” di atas kepada Bapak. Begini, Pak. Belum lama ini ada seorang pensiunan yang akan mengurus tax amnesty di Kantor Pajak Pratama Bekasi. Orang tersebut setibanya di kantor pajak lantas menemui petugas "help desk" Tax Amnesty.

Ia ke kantor pajak lantaran merasa punya rumah dan tanah sawah di Pati, tapi tidak pernah dilaporkan dalam form data isian SPT PPh tahunannya.

Ia mengaku mendapat nomor antrean 50, sementara yang dilayani petugas “help desk” baru orang yang mendapat nomor antrean 38. Saat giliran nomor 47, ia melihat yang maju seorang laki-laki berusia 74 tahun, pensiunan tentara.

Setelah ditanya NPWP-nya, petugas “help desk” lantas menjelaskan apa-apa saja yang sudah dilaporkan dalam SPT PPh 2015. Sang bapak yang telah lanjut usia itu membenarkan data yang disebut petugas pajak.

Purnawirawan tersebut saat bertugas di beberapa kota, sempat membeli tanah, kebun/dadah dan sawah serta rumah yang ditempati oleh saudaranya agar terawat. Semua sertifikat atas namanya.

Sekarang ini penghasilan sang purnawirawan hanya Rp 1.580.000 per bulan, ditambah hasil panen sekitar Rp 2.600.000 per tiga atau empat bulan. Kebun ditanami pohon apa saja dan hasilnya dipakai oleh yang ia percaya menjaga kebunnya. Setahun sekali ia dikirimi buah atau makanan hasil kebunnya. Sebuah kehidupan yang cukup untuk menyenangkan di hari tua.

"Aset" sang purnawirawan rupanya ingin dilaporkan ke negara, karena selama ini ia tidak paham soal pajak dan merasa sudah menjadi warga negara yang baik karena sudah membayar PBB dan pajak-pajak lain.

Petugas “help desk” Tax Amnesty pun menghitung aset sang bapak tua. Ada tanah, rumah di daerah, ditambah satu mobil dan dua sepeda motor yang dibeli tahun 2013 dan 2014 yang belum dimasukkan dalam kolom harta yang dimiliki pada SPT 2015. Lalu dari petugas pajak keluarlah angka Rp 4,7 miliar! Wow!

Mendengar angka tersebut, sang bapak bukannya senang, tapi malah sedih. Rona wajahnya berubah, matanya terbelalak. Kemudian oleh petugas “help desk”, diberitahukan bahwa kewajiban bapak berusia 74 tahun atas harta yang diikutkan dalam program tax amnesty yang sedang ramai dibicarakan itu adalah 2 persen dari nilai harta yang belum atau tidak dimasukkan dalam lampiran SPT PPh terakhir. Lalu muncullah nilai pajak terutang sebesar Rp 94 juta!

Wow! Sang bapak itu lagi-lagi kaget. Badannya lunglai. Ia menangis. Mungkin dia berpikir dari mana mendapatkan uang sebesar itu? Niatnya mau minta ampun, kok malah bonyok.

Bapak Jokowi yang saya hormati. Ini komentar yang mungkin tidak enak Bapak dengar: "Mengapa pemerintah kok memeras pensiunan seperti saya ini begitu rupa. Apa makna perjuangan dan tugas-tugas negara yang sudah saya lakukan selama ini?"

Dalam pilpres tahun 2014 lalu, saya memilih Bapak. Konsekuensinya saya harus mendukung setiap kebijakan Bapak. Tapi, khusus untuk program pengampunan pajak, khususnya yang menyangkut rakyat kecil seperti kami, mohonlah diberi kebijakan khusus. Kami jangan dikejar-kejar.

Ada baiknya Bapak mempertimbangkan berbagai masukan yang diungkapkan banyak orang pandai, seperti praktisi PR Christovita Wiloto. Dalam opininya yang dilontarkan di Facebook, ia mengatakan, untuk menarik dana-dana Indonesia di luar negeri masuk ke Indonesia, sebaiknya Bapak menggunakan strategi Pareto, yaitu 20:80.

Bapak disarankan fokus dan prioritaskan seluruh energi pada 20 persen WNI atau perusahaan Indonesia yang menguasai 80 persen total dana Indonesia di luar negeri, dan bukan sebaliknya. Jika ini yang dilakukan, hasilnya pasti dahsyat!

Tanpa bermaksud menggurui, ada baiknya Bapak coba konsep Pareto dalam melaksanakan tax amnesty.

Bapak Jokowi yang budiman, mohon ditinjau ulang masalah tax amnesty ini.

Dendalah setinggi2mya wajib pajak yg memang memanipulasi pajaknya dan Bebaskan denda bagi yg sdh membayar pajak dgn benar.

Jika hanya kesalahan administrasi krn tdk mencantumkan harta dari hasil kerja kami yg sdh kena pajak, mohon diampuni... !! ***

1 comment:

kasamago said...

Seru ketika ILC mengangkat isu Tax Amnesty selasa lalu.. Blunder begitu terasa dan kentara.

tetapi Bersyukur, negeri ini masih dalam perlindungan yang diatas.

Yg utama adalah bagaimana menyedot dana raksasa milik para milyader di negara2 tax heaven dan perusahaan2 cangkang nya. Dana segitu masif sangat ampuh menambal keuangan negara hingga beberapa tahun lama nya.

khususnya duit yg ada di negara si Upil, tetangga rese NKRI. Pantes Upil meski badannya segede semut brankas nya segede segajah..