Tuesday, 25 May 2010

Sedikit tentang Neo-lib Indonesia


Suatu hari saya berdiskusi dengan teman-teman lama saya di fb. Dalam forum tersebut terjadi diskusi tentang konsekwensi yang bakal terjadi paska terpilihnya DI sebagai dirut PLN, terutama tentang rencana PLN berhutang ke luar negeri. Kebetulan salah seorang teman saya adalah karyawan PLN juga. Saya termasuk yang khawatir DI membawa misi meliberalkan PLN sehingga hanya menjadi alat mencari keuntungan para pemilik modal asing dengan menjadikan rakyat Indonesia sebagai korbannya. Tanpa saya duga salah seorang teman saya, seorang perwira menengah TNI yang menduduki jabatan struktal teritorial yang strategis, menuduh saya sebagai "naif" karena dianggap "menolak" globalisasi.

Tentu saja saya menolak tuduhan sebagai "anti globalisasi". Saya hanya mengingatkan tentang perlunya PLN bertindak bijaksana dengan lebih mementingkan kepentingan masyarakat daripada kepentingan "stake holder" PLN apalagi kepentingan kapitalis asing. Kekhawatiran saya beralasan karena selain mengedepankan hutang luar negeri daripada efisiensi, PLN diduga akan mengorbankan kepentingan masyarakat demi kepentingan perusahaan. Setidaknya kekhawatiran ini juga dirasakan oleh Gubernur Sumut yang menolak memberi ijin pembangunan proyek pembangkit listrik Asahan III kepada PLN karena PLN tidak bersedia membuat janji tertulis untuk hanya menjual listrik yang dihasilkan oleh proyek tersebut kepada masyarakat, bukan kepada PT Inalum yang mayoritas sahamnya dimiliki Jepang. Kekhawatiran itu juga muncul karena DI lebih mendahulukan wacana kenaikan TDL, hanya satu bulan setelah menjabat dirut PLN, daripada efisiensi. Apalagi jika melihat latar belakang DI sebagai eksekutif sebuah perusahaan listrik supllier PLN.

Kini, di tengah-tengah tarik ulur antara PLN dan Pempropsu tentang proyek Asahan III, listrik di kota Medan kembali hidup mati seakan sebuah isyarat dari PLN: rasakan akibat berani melawan PLN. Padahal PLN telah berjanji bahwa sejak tahun lalu tidak ada lagi pemadaman listrik di Sumut.

Saya belum menyinggung bagaimana DI, yang pernah ditolong oleh pemilik koran Surabaya Post saat kehilangan pekerjaan setelah majalah tempatnya bekerja dibredel pemerintah, kemudian menjadi "pembunuh" Surabaya Post dengan Jawa Pos-nya. Mungkin DI "tidak sengaja" membunuh Surabaya Post. Tapi dengan fenomana matinya salah satu koran tertua dan terbesar di Indonesia ini, Tuhan seakan memberikan gambaran tentang siapa DI.

Yang mengherankan saya adalah betapa kawan saya yang perwira menengah TNI itu, yang tentunya telah mendapatkan pelajaran ektra tentang wawasan nasional, tidak memahami betapa berbahayanya faham neo-liberalisme (saya lebih suka menyebutnya judeo capitalism yang telah berakar ribuan tahun dibandingkan istilah neo-liberalisme yang baru muncul beberapa tahun terakhir) yang kini diikuti oleh sebagian besar oknum dalam pemerintahan.

Saya masih ingat betul bagaimana saya pernah mengingatkan teman saya itu ttg tindakan menkeu Sri Mulyani memarginalkan TNI dengan mengurangi anggaran TNI pada saat yang sama ia menaikkan anggaran gaji pegawai Depkeu hingga triliunan rupiah. Tindakan Sri Mulyani saya nilai merupakan salah satu agenda neoliberalisme untuk melemahkan TNI sebagai kekuatan yang bisa menyatukan negeri ini dan menjadi penyeimbang dominasi faham neoliberalis. Saya juga masih ingat betul pesan saya kepadanya yang diaminkannya: "Jadilah patriot sejati!" Selama ini saya menyangka TNI adalah salah satu benteng pertahanan bangsa ini (selain umat Islam) dalam membendung pengaruh neo-liberalisme. Tapi tampaknya anggapan saya perlu direevaluasi.

Berikut ini adalah ciri-ciri orang neo-liberalis:

1. Menganggap negatif semua bentuk subsidi untuk rakyat.
2. Menganggap hutang (luar negeri) sebagai kebajikan.
3. Menganggap defisit APBN sebagai kewajaran.
4. Menganggap negatif semua bentuk campur tangan pemerintah dalam perekonomian.
5. Menganggap kebijakan bailout sebagai kebajikan.

No comments: