Monday, 28 March 2011

ANTARA CINA DAN AMERIKA


Presiden SBY pernah “membual” bahwa Indonesia akan menjadi negara maju pada tahun 2020, 6 tahun setelah ia menyelesaikan jabatannya tahun 2014. Tidak dijelaskannya bagaimana hal itu bisa terwujud, termasuk apa yang akan dilakukannya selama menjabat presiden untuk mewujudkan “bualan” itu. Yang pasti, saat ia “lengser”, ia akan mewariskan hutang luar negeri sekitar Rp 2000 triliun rupiah dan tidak ada program yang jelas bagaimana untuk melunasinya.

Beberapa waktu lalu SBY mencanangkan gerakan diversifikasi energi dengan mengembangkan biodiesel, namun program ini mangkrak begitu saja menimbulkan kerugian yang tidak terhitung termasuk para petani yang terlanjur menanam pohon jarak namun kini tidak ada yang membeli hasilnya.

Cukup dengan bualan SBY. Mari kita lihat apa yang tengah dilakukan pemerintah Cina dengan uang rakyat yang dibelanjakannya: membangun jaringan kereta api supercepat sepanjang 25.000 km, membangun jaringan bandara ultramodern di seluruh penjuru negeri, membangun industri bio-genetik terbesar di dunia, dan yang terakhir membangun industri mobil listrik terbesar di dunia dan menjadi negara pertama yang industri otomotifnya terbebas dari ketergantungan energi BBM sekaligus menciptakan efisiensi nasional yang luar biasa.

Dengan semua yang dilakukan itu, Cina tidak perlu diragukan lagi bakal menjadi negara paling maju di dunia dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi. Saat ini Cina kini telah menjadi negara dengan perekonomian terbesar kedua terbesar di dunia setelah Amerika. Namun dalam hal kekayaan, Cina adalah "negara paling kaya".

Banyak orang yang terjebak dengan konsep "kekayaan" sebuah negara. Sebagian besar orang menganggap gross national product (GNP, jumlah barang dan jasa yang dihasilkan sebuah negara dalam 1 tahun), sebagai standar kekayaan atau kemakmuran sebuah negara. Padahal itu semua sama sekali tidak mencerminkan kemampuan negara dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi dan menjadi sesuatu yang tidak berarti jika GNP yang besar tersebut tidak bisa memberikan kemakmuran pada rakyat.

Jika sebuah negara dengan GNP terbesar di dunia menghasilkan X barang dan jasa setahun, namun menghabiskan x+1 barang dan jasa per-tahun, maka GNP besar tersebut tidak ada artinya, bahkan masih kurang. Namun sebuah negara dengan GNP hanya 0,5 X dan pengeluarannya hanya 0,4 X masih mempunyai tabungan sebesar 0,1 X. Tabungan itu (biasanya dalam bentuk cadangan devisa atau emas) bisa digunakan untuk melakukan pembangunan, menambah belanja pemerintah, atau mengatasi keadaan darurat tanpa harus berhutang kepada negara lain. Negara kedua dalam contoh di atas, dengan GNP lebih kecil mempunyai kekayaan lebih besar dibanding negara pertama.

Sekarang mari kita bandingkan kondisi antara Cina dan Amerika. Cina, meski memiliki GNP hanya sekitar $5,8 triliun dibanding Amerika yang mencapai $14 triliun, namun Cina jauh lebih kaya dibanding Amerika. Cina memiliki cadangan devisa sekitar $2 triliun. Dengan itulah Cina bisa melakukan pembangunan besar-besaran sebagaimana sudah disebutkan di atas. Sementara Amerika, sejauh saya ketahui hanya mempunyai cadangan hutang yang menumpuk. Hutang pemerintah Amerika telah menembus angka $14 triliun dan tahun ini saja presiden Obama mengajukan penambahan hutang untuk membiayai defisit APBN sebesar $1,65 triliun. Hal ini masih diperparah dengan neraca perdagangan Amerika yang terus memburuk, defisit ratusan miliar dolar setiap tahunnya. Setiap tahunnya pemerintah Amerika harus membayar beban bunga hutang sekitar $300 miliar, atau hampir mencapai 3x APBN Indonesia saat ini. Pada tahun 2020 mendatang diperkirakan beban bunga hutang pemerintah Amerika akan mencapai $750 miliar.

Dengan kondisi seperti itu sebenarnya bisa dikatakan pemerintah dan ekonomi Amerika telah bangkrut karena tidak ada seorang pun yang bisa memastikan bagimana cara melunasi hutang tersebut tanpa menghancurkan ekonomi Amerika dan dunia. Jika ada 1.000 mesin uang yang masing-masing bisa mencetak 1 dolar uang setiap detiknya, maka diperlukan 31 tahun untuk bisa mencetak uang sebanyak $1 triliun. Untuk melunasi $14 triliun dengan mesin uang yang sama dibutuhkan waktu 440 tahun. Namun jauh sebelum itu dunia sudah hancur karena hiperinflasi akibat gelontoran uang triliunan dolar.

Bahkan untuk sekedar membiayai belanja tahunannya saja pemerintah Amerika harus berhutang. Jika anggaran hutang pemerintah tahun ini sebesar $1,65 triliun disetujui, maka efektif 43% dari total anggaran pemerintah Amerika dibiayai dengan hutang.

Untuk saat ini pemerintah Amerika masih bisa bernafas karena masih adanya lembaga-lembaga keuangan internasional yang masih mau membeli obligasi (surat hutang) pemerintah Amerika. Namun tentu saja hal itu tidak bisa terus-menerus, terutama dengan kondisi ekonomi Amerika yang terus memburuk. Ditambah lagi, Jepang, negara yang banyak membeli obligasi pemerintah Amerika kini tengah dilanda krisis ekonomi akibat bencana tsunami dan nuklir. Alih-alih membeli lagi obligasi pemerintah Amerika yang nilainya telah mencapai $800 miliar lebih, Jepang akan banyak menjual obligasi yang dimilikinya.

Pada tahun 2008 lalu Office of Management and Budget parlemen Amerika memprediksikan anggaran belanja wajib (sosial dan kesehatan) pemerintah Amerika akan melebihi total pendapatan pemerintah dari pajak dan lain-lainnya pada tahun 2058. Kini prediksi itu berubah dengan cepat. Anggaran wajib pemerintah Amerika akan melampaui total pendapatan pemerintah tahun ini juga. Dengan kata lain, jika pemerintah Amerika menghapuskan seluruh anggaran di luar anggaran sosial dan kesehatan, termasuk menghapuskan anggaran pertahanan, pemerintah tetap mengalami defisit anggaran yang harus dibiayai dengan berhutang.

Yang menyedihkan adalah bahwa meski sudah jelas masa depan kehancuran karena hutang sudah jelas terlihat, para politisi, termasuk di Indonesia, terus menerus menambah hutang.

Pada masa pemerintahan Ronald Reagan, hutang pemerintah menjadi isu yang sangat sensitif dengan para politisi berlomba-lomba menjanjikan program-program pembangunan yang bisa mengurangi beban hutang. Saat itu hutang pemerintah baru saja menembuas angka $1 triliun. Kini hutang itu telah menjadi 14 x lipat, dan presiden Obama masih mau menambahnya lagi sebesar $1,65 triliun tahun ini saja.

Sebuah artikel di majalah Business Insider baru-baru ini menuliskan bahwa PIMCO, sebuah perusahaan sekuritas terbesar di dunia telah menjual semua obligasi pemerintah Amerika yang dimilikinya. Mungkinkah PIMCO telah melihat “masalah” serius dalam perekonomian Amerika dalam waktu dekat mendatang?

No comments: