Wednesday 30 March 2011

IBU DAN ANAK YANG MEMENANGKAN BANGSA ARAB


Hari ibu, yang di Amerika dirayakan dengan "launching" sebuah film populer tentang para ibu yang bercinta dengan teman lelaki anak-anaknya, di Tunisia memiliki makna yang jauh lebih mulia. Di negeri inilah dua orang ibu rumahtangga telah berhasil membimbing putra-putranya untuk menjadi pejuang kebenaran yang berhasil menumbangkan para penguasa jahat dan menyebarkan apa yang akan dicatat dalam sejarah nanti sebagai "Revolusi Bangsa-bangsa Arab".

Adalah Suhaila, seorang wanita sederhana, ibu rumah tangga dari sebuah keluarga seorang pejuang pergerakan Islam Nahda Movement yang ditahan pemerintahan presiden Ben Ali sejak tahun 1991 hingga 2008. Selama waktu itu Suhaila harus menghidupi tiga orang anaknya sendirian. Setiap hari bekerja sebagai guru di sebuah sekolah organisasi kewanitaan di kotanya, Sousa. Kemudian seminggu sekali ia berjalan sejauh 300 km untuk menjenguk suaminya di tahanan.

Tidak hanya perjuangan memenuhi kebutuhan jasmani, Suhaila juga harus membimbing anak-anaknya menjadi muslim yang ta'at sekaligus pribadi-pribadi yang tangguh.

"Saya mengajarkan anak-anak untuk tidak takut berkata tidak pada penguasa jahat. Penahanan suami saya memberikan kami momentum untuk meneruskan perjuangannya meski berbagai tekanan menghampiri kami," kata Suhaila kepada wartawan Almanar Lebanon, beberapa waktu lalu.

Kesabaran dan ketangguhan Suhaila pun terbalaskan. Anak-anaknya, Maath (25), Maryam (23) dan Sara (21) tumbuh menjadi pribadi-pribadi mulia yang menyayanginya dengan sepenuh hati.

“Untuk ibu terkasih”, tulisan di selembar kartu ucapan selamat pada hari-hari tertentu adalah salah satu bentuk kecintaan anak-anak Sulaila kepadanya, menjadi satu dari sedikit penghibur yang sangat berarti dalam menjalani kehidupannya yang berat.

Pesan yang disampaikan Suhaila kepada para ibu yang keluarganya menjadi korban kekejaman para tiran dan penguasa jahat, "Suatu hari Anda menjadi seorang ibu sekaligus ayah, maka teruskanlah perjuangan dan jangan menjadi lemah. Peran Anda tidak boleh berhenti bagi anak-anak dan suami, namun Anda harus terus membesarkan pejuang-pejuang kecil untuk menempuh jalan perjuangan dan Insya Allah kita akan menang."

Aksi-aksi demo yang berhasil menumbangkan regim Ben Ali dan kini dampaknya meluas ke seluruh penjuru Arab, tidak bisa tidak dipelopori dan dilakukan oleh para pemuda-pemudi pejuang sebagaimana putra-putri Suhaila.

Dan tentu saja adalah Mohammad El-Bouazizi, pemuda yang melakukan aksi bakar diri dan menjadi pemicu Revolusi Tunisia. Ia juga memiliki seorang ibu pejuang yang membesarkannya dan 4 saudaranya yang lain, sendirian, setelah sang ayah meninggal saat El-Bouazizi berumur 3 tahun.

"Jika ia pulang ke rumah di malam hari, ia belum akan tidur sebelum menemui saya. Dan jika saya telah tertidur, ia akan datang mendekat dan memberikan sebuah ciuman. Ia tidak pernah keluar rumah sebelum berpamitan dan meminta restu kepada saya," kata Manoubiyeh, ibu El-Bouazizi dalam wawancara di desa dekat Sidi Bouzeid.

Dan pada hari itu, Jumat 17 Desember 2010, Manoubiyeh akan mengenangnya sebagai hari yang paling menyedihkan hatinya namun juga hari yang membuatnya bangga. Hari itu adalah hari terakhir El-Bouazizi berpamitan kepadanya. Hari itu El-Bouazizi menyiram dirinya dengan bensin dan membakar diri setelah dirinya diusir dan dihina oleh para polisi saat hendak berjualan buah-buahan dan sayur-sayuran di depan kantor pemerintah setempat.

18 hari setelah peristiwa itu kematiannya memicu Revolusi Tunisia, menumbangkan regim diktator Mubarak di Mesir, dan kini menyebar ke seluruh Arab.


Ref:
"Mothers Make Glory of Nations"; almanar.com.lb; 27 Maret 2011

No comments: