Friday 15 August 2008

SISI LAIN KRISIS GEORGIA


Pada tanggal 7 Agustus lalu, ketika semua mata tertuju pada persiapan pembukaan Olimpiade Beijing yang dihadiri para kepala negara dunia, Georgia sebuah negara kecil pecahan Uni Sovyet, melakukan serbuan ke Ossetia Selatan, sebuah wilayah yang dipersengketakan antara Georgia dan Rusia. Serbuan itu menghancurkan infrastuktur Ossetia Selatan, membunuh ratusan penduduk Ossetia (Rusia mengklaim korban tewas mencapai 2.000 orang) termasuk puluhan personil militer Rusia (yang hadir di Ossetia Selatan atas persetujuan masyarakat internasional untuk menjaga keamanan wilayah tersebut), serta memaksa puluhan ribu warga Ossetia melarikan diri ke Rusia. Serbuan itu justru dilakukan hanya beberapa jam setelah Presiden Georgia Mikheil Saakashvili mengumumkan gencatan senjata.
Tentu saja Rusia sangat marah atas tindakan tersebut. Menteri Pertahanan Rusia mengutuk aksi sepihak tersebut dan menyebutnya sebagai “petualangan kotor”. Perdana Menteri Rusia Vladimir Putin yang tengah berada di Beijing mengatakan, “Sangat disesalkan di hari menjelang pembukaan Olimpiade Georgia melakukan tindakan agresi atas Ossetia Selatan.” Selanjutnya Putin mengatakan, “Perang telah dimulai.”
Sementara itu Presiden Rusia Dmitry Medvedev menyerukan Rusia untuk melindungi warga Ossetia yang sebagian besar beretnis dan berpaspor Rusia. Medvedev segera memerintahkan pengiriman pasukan ke untuk melawan pasukan Georgia, termasuk penyerangan udara terhadap basis-basis militer Georgia. AL Rusia juga diperintahkan melakukan blokade atas Georgia. Di sisi lain, keadaan semakin genting setelah Georgia mengumumkan perang terhadap Rusia dan melakukan mobilisasi pasukan. Separuh personil militer Georgia di Irak juga dikirim kembali ke Georgia untuk perang. Sementara itu, wilayah Georgia lainnya yang memisahkan diri dan menjadi wilayah protektorat Rusia, Abkhazia, memobilisasi pasukan dan menyerang pasukan Georgia di wilayah Kodori Gorge. Presiden Abkhazia Sergei Bagapash menyatakan menolak berunding dengan para pemimpin Georgia yang dituduhnya telah bertindak sebagai penjahat perang.
Georgia bukan tandingan Rusia. Pada tanggal 10 Agustus pasukan Georgia dipukul mundur dari Ossetia. Selanjutnya Georgia sendiri yang terancam diduduki Rusia setelah beberapa kotanya diduduki dan basis militernya hancur diserang Rusia. Dengan tergopoh-gopoh, meski awalnya dengan bangga mengklaim kemenangan, pemerintah Georgia segera meminta Rusia menghentikan serangannya dan menawarkan gencatan senjata.
Ketika Georgia melakukan aksi nekad tersebut penulis sudah curiga ada “tangan-tangan tidak tampak” yang mengendalikan pemerintah Georgia. Tanpa itu semua mustahil Georgia berani melawan Rusia. Tindakan Georgia hampir sama dengan tindakan negeri kecil Serbia menjelang Perang Dunia I. Setelah membunuh seorang pangeran negeri Austria dan diancam oleh negara besar Austria, Serbia menolak meminta maaf. Akibatnya Austria menghukum Serbia. Inggris dan Perancis yang merupakan sekutu Serbia mengumumkan perang kepada Austria. Maka pecahlah Perang Dunia I.
Saya juga teringat pada kasus pecahnya Perang Dunia II. Jerman yang berusaha membujuk Polandia untuk memberikan akses kepada wilayahnya yang terisolasi dengan imbalan tertentu, merasa dipermainkan Polandia karena pengaruh Inggris dan Perancis. Akibatnya Jerman menyerang Polandia. Inggris dan Perancis (lagi-lagi dua negara ini) yang menjadi sekutu Polandia menyatakan perang kepada Jerman. Maka pecahlah Perang Dunia II.
Dan kecurigaan saya terkonfirmasi setelah membaca lebih banyak berita tentang krisis Ossetia Selatan, terutama dari situs-situs internet di luar situs internet milik media-media massa mainstream. DR. David Duke dalam website-nya davidduke.com memberikan fakta, termasuk mencantumkan potongan berita media massa Israel, bahwa Israel terlibat langsung dalam aksi Georgia dengan menyediakan senjata dan ribuan penasihat militer. Sedangkan Eric Walberg dan Paul Craig Roberts (Asisten Menteri Keuangan Amerika era Presiden Reagan) dalam artikelnya di situs Counterpunch menyebutkan kehadiran 1.000 personil militer Amerika di Georgia yang menjadi pelatih militer Georgia. Pesawat-pesawat Amerika pula yang telah menerbangkan 1.000 personil militer Georgia dari Irak pula ke negaranya untuk berperang melawan Rusia. Koran terbesar Rusia, Pravda mengungkapkan tertangkapnya beberapa personil militer Amerika di antara pasukan Georgia yang tertawan.
Lebih jauh DR. David Duke bahkan membuka tabir yang lebih sensitif. Dua orang menteri yang paling bertanggung jawab dalam krisis Georgia, yaitu Urusan Integrasi Temur Yakobashvili dan Menteri Pertahanan David Kezeerashvili keduanya mempunyai kewarganegaraan ganda. Selain Georgia, mereka juga warga negara Israel.
Keterlibatan Israel lebih terkonfirmasi lagi setelah saya membaca berita di situs almanar.com milik kelompok pejuang Shiah Lebanon, Hezbollah. Mengutip berita di harian terbesar Israel, Haaretz, almanar.com pada 14 Agustus lalu mengungkapkan pernyataan Presiden Georgia Mikheil Saakashvili bahwa Israel berperan besar sebagai pemasok senjata Georgia sekaligus menjadi instruktur militer Georgia. Saakashvili bahkan membuat pengakuan yang mengejutkan: “Kami mempunyai dua orang Israel dalam kabinet, David Kezeerashvili dan Temur Yakobashvili. Inilah keterlibatan Israel di sini (Georgia): baik perang maupun damai ada di tangan Yahudi Israel.”
Menulis di Asia Times, diplomat senior India M. K. Bhadrakumar mengungkapkan fakta yang tidak pernah dipublikasikan media massa bahwa menjelang serangan Georgia, Rusia sebenarnya telah menyampaikan draft penyelesaian krisis Ossetia ke Dewan Keamanan. Dalam draft tersebut Rusia meminta diakhirinya penggunaan senjata dalam penyelesaian krisis. Namun Amerika justru menolak.
Bagi mereka yang fair menilai, kesalahan jelas ada pada Georgia. Reporter BBC Sarah Rainsford dalam laporannya tanggal 14 Agustus mengungkapkan pendapat umum di Ossetia Selatan. “Bagi mereka sangat jelas siapa yang harus disalahkan, Presiden Georgia Mikhail Saakashvili.” Sedangkan Human Rights Watch setelah melakukan penyidikan mendalam menyatakan, “Berdasarkan pengakuan saksi-saksi dan waktu terjadinya kerusakan menunjukkan kebanyakan kerusakan yang timbul disebabkan oleh tembakan pasukan Georgia.”
Namun fakta-fakta tersebut seolah terabaikan oleh media-media massa mainstream internasional, termasuk di Indonesia. Alih-alih menyalahkan Georgia, media massa justru menyalahkan Rusia yang dianggap telah menduduki Georgia dan bertindak berlebihan dalam mempertahankan Ossetia Selatan. Mereka lebih banyak mengutip pernyataan para pemimpin Georgia atau Amerika yang tentu saja menyalahkan Rusia.
Panik dengan ancaman kejatuhan Georgia ke tangan Rusia, Presiden Georgia berteriak, “Ini bukan lagi masalah Georgia, tapi juga Amerika.” Para penasihat Presiden Bush yang tergabung dalam LSM Heritage Foundation di Washington segera menyelenggarakan konferensi yang menyerukan keterlibatan Amerika untuk menghentikan Rusia. Washington Post menulis artikel mengecam Rusia dengan judul “Putin Makes His Move”. Sedangkan The New York Times menulis, “Will Russia Get Away with It?”. Dengan kata lain media massa dan lembaga-lembaga berpengaruh di Amerika menyerukan: serang Rusia sekarang juga.
Namun sebodoh-bodohnya Bush, ia masih bisa berfikir. Melibatkan diri secara langsung dalam konflik melawan Rusia pada saat ini sama saja dengan bunuh diri. Energi Amerika nyaris habis untuk mempertahankan kekuatannya di Irak dan Afghanistan. Satu konflik bersenjata lagi dipastikan membuat ekonomi Amerika hancur. Apalagi Rusia bukanlah negeri kecil. Dengan jutaan personil militer, persenjataan modern serta ribuan hulu ledak nuklir yang dimilikinya, tak satupun negara, bahkan Amerika, dapat mengalahkannya dalam satu perang terbuka. Apalagi kini Rusia di bawah kepemimpinan Vladimir Putin telah pulih dari kelemahan paska runtuhnya Uni Sovyet.
Pada tanggal 12 Agustus lalu koran terbesar Rusia, Pravda, mengejek Presiden Bush yang telah mengecam dan menggertak Rusia untuk menghentikan aksinya atas Georgia. Secara ringkas Pravda menulis: Presiden Bush, setelah begitu jelas terungkap keterlibatan Anda dalam masalah ini, setelah apa yang Anda lakukan atas Irak, kasus Abu Ghraib, dan Guantanamo sehingga tidak ada orang di muka bumi ini yang tidak mengacungkan jari tengahnya setiap melihat wajah Anda di televisi, maukah Anda tutup mulut?
Mungkin ini adalah ejekan yang paling menyakitkan bagi Bush setelah tahun lalu Presiden Venezuela, di depan Sidang Umum PBB, menyebut Bush sebagai setan.

No comments: