Friday 14 August 2009

Runtuhnya "Kemaharajaan" Amerika Serikat (Bagian II)


Dikembangkan dari: Jim Quinn – TheBurningPlatform.com 5 August 2009


Penciptaan uang tanpa cadangan

"Bahan-bahan makanan di kota-kota menipis. Orang-orang kota terpaksa kembali ke desa-desa untuk bertani. Konsekwensinya para kaisar mengeluarkan peraturan yang melarang orang kota pindah ke desa (ruralisasi), namun peraturan itu tidak efektif. Orang yang kelaparan karena tidak mendapatkan makanan di kota tentu tidak peduli dengan aturan semacam itu." (Ludwig von Mises – Human Action)

Ekonom Ludwig von Mises berargumen bahwa kebijakan ekonomi yang salah telah menjadi penyebab runtuhnya kemaharajaan Romawi. Ia mencontohkan kebijakan interfensi pasar yang mengakibatkan terjadinya inflasi. Juga pemberian makanan dan hiburan gratis di kota-kota. Kerajaan mengeluarkan belanja yang lebih besar dari kemampuannya.

Pembelian barang-barang mewah dan eksotik dari timur seperti sutera, gading, kayu hitam, rempah-rempah menguras cadangan emas negara. Setelah emas tidak mencukupi lagi maka kerajaan mencetak uang logam dengan kadar yang lebih rendah dan akhirnya tidak mengandung emas sama sekali.

Untuk membiayai belanja negara yang membengkak, kerajaan mengandalkan penciptaan uang logam, mendorong proses "debasing" (terlepas dari standar emas) semakin cepat.

Hal yang sama terjadi di "kemaharajaan Amerika". Proses debasing telah terjadi sejak didirikannya Federal Reserve Bank, bank sentral milik swasta, tahun 1913. Proses ini dipercepat oleh kebijakan Presiden Rossevelt yang menahan semua cadangan emas pada tahun 1930. Dan proses ini semakin sempurna setelah Presiden Nixon meninggalkan strandarisasi dolar dengan emas tahun 1971. Sejak itu Federal Reserve, bank sentral milik swasta itu, berhak mencetak berapapun uang kertas. Akibatnya nilai dolar terhadap emas merosot terus. Dibanding tahun 1970, saat ini nilai dolar terhadap emas melorot hingga 93%.


Military Complex

Dalam hal kebijakan luar negeri, Amerika tidak mau belajar dari kesalahan Romawi yang menjadi salah satu sebab keruntuhannya. Amerika telah menempatkan pasukannya di 117 negara di seluruh dunia. Untuk menimbulkan kesan yang lebih moderat, Amerika menggunakan jasa perusahaan penyedia tentara bayaran seperti Blackwater.

Menggunakan asset-asset militer untuk mengejar keuntungan politik sudah sangat biasa dalam sejarah kerajaan-kerajaan jaman dahulu, namun membawa dampak yang sangat buruk dan hilangnya kesempatan yang baik selamanya.

Amerika telah memenangkan perang dingin dengan Uni Sovyet dan menjadi satu-satunya superpower dunia, namun justru jatuh dalam lubang yang sama dengan kerajaan-kerajaan jaman dahulu kala. Daripada menkonsentrasikan diri untuk kesejahteraan rakyatnya, Amerika terjerembab dalam petualangan-petualangan militer di berbagai penjuru dunia yang mahal dan menyakitkan.

Di antara petualangan itu adalah membiayai Osama bin Laden dan Saddam Hussein untuk memerangi musuh-musuh Amerika. Tapi kemudian keduanya menjadi musuh yang membahayakan.

Berusaha menjaga kepentingan nasinalnya yang tersebar luas dan untuk mempertahankan diri sari musuh yang banyak yang awalnya diciptakan justru untuk menjaga kepentingannya, menyebabkan militerisme Amerika sampai pada satu titik dimana sebanyak 44% dari pajak yang dikumpulkan dari rakyat Amerika habis untuk belanja militer.

Sejak tahun 1991 saja Amerika telah berperang di Kuwait, Somalia, Balkan, Sudan, Afghanistan, dan Iraq dan lain-lainnya. Dalam semua peperangan itu Congress justru mengabaikan haknya sebagai institusi yang berhak menyatakan perang, dan menyerahkan urusan itu kepada presiden sehingga secara otomatis melemahkan stuktur negara yang dibangun atas tiga pilar: eksekutif (presiden), legislatif (Congress) dan yudikatif (kehakiman).

Sejak tahun 1991 pula Amerika telah menghabiskan $7 triliun untuk belanja militernya. Hutang pemerintah tahun 1991 "hanya" $3,2 triliun. Saat ini angka tersebut telah mencapai $11,6 triliun atau naik 360% dalam 18 tahun. Pada tahun 2001 belanja militer Amerika mencapai 17% dari total anggaran pemerintah. Tahun ini angka tersebut telah mencapai 26%.


Kollaps

Buku-buku sejarah mungkin akan mencapat bahwa tahun 1980-an adalah tahun-tahun di mana fase kejatuhan Amerika dimulai. Tahun-tahun itu dimana gelombang pertama generasi baby boomer mencapai umur 35 tahun dan mengalihkan perhatian sepenuhnya untuk memenuhi "impian Amerika", dengan kredit. Sejak tahun itu kredit rumah tangga melonjak dari $1 triliun menjadi $14 triliun sementara tingkat tabungan melorot dari 12% menjadi 0%.

Ada banyak cara untuk penggunaan kredit, sebagian cukup cerdas dan praktis. Memutar hutang kredit card untuk membeli barang-barang "canggih" yang tidak perlu adalah bukan dalam kategori itu. Saat ini di Amerika hutang outstanding dari kartu kredit mencapai $950 miliar, atau rata-rata satu rumah tangga memiliki hutang dari kartu kredit mencapai $9.000, atau sekitar Rp90 juta. Rata-rata satu orang warga Amerika memiliki 9 kartu kredit. Satu kartu kredit saja sudah cukup untuk membuat seseorang hidup di atas kemampuannya untuk sementara. Seperti halnya kredit rumah (mortgage) yang berujung pada krisis keuangan yang mengakibatkan jutaan pemilik rumah diusir dari rumah kreditannya yang belum lunas.

Ini adalah saat dimana fantasi dan kenyataan bertemu. Orang bisa mendapatkan kredit sepanjang bank-bank bersedia menyediakannya. Saat perbankan menghentikan kreditnya karena dianggap sudah terlalu besar, rakyat mendapatkan kenyataan sebagai orang yang terlilit hutang.

Dengan mencetak uang dari udara kosong (tanpa perlu cadangan emas), perbankan dan teman-temannya di pemerintahan, telah membawa Amerika dan bahkan ekonomi global, ke jurang kehancuran.

Saat ini kebanyakan rakyat masih percaya negara belum jatuh dari relnya. Mereka percaya bahwa meminjam kredit untuk membiayai hidup di atas kemampuan adalah sebuah pilihan rasional. Mereka yakin pemerintah akan menolong mereka saat dibutuhkan dan juga percaya kebijakan pajak progresif (semakin kaya semakin tinggi tarif pajaknya) adalah ide yang baik. Tentu saja mereka tidak tahu bahwa pemerintah pun telah bangkrut dengan hutang yang tidak mungkin terbayar dan hanya mengandalkan belanjanya dengan pinjaman baru, gali lubang tutup lubang namun dengan lubang yang semakin besar setiap saat.

Hutang yang membumbung, militerisme, program sosial bermotif politis, dan program-program "besar pasak dari tiang" lainnya telah sampai pada satu titik dimana keruntuhan Amerika adalah sebuah keniscayaan.

Krisis ekonomi keuangan akhir-akhir ini tidak sama dengan krisis serupa yang pernah terjadi yang biasanya berakhir dalam beberapa bulan. Bahkan jika pemerintah membelanjakan semua uangnya untuk kesejahteraan rakyat, hal ini tidak banyak membantu karena pemerintah sendiri harus mengandalkan hutang untuk membiayai belanjanya.

Seperti sejarah keruntuhan Romawi, belanja militer, sosial dan politik telah sampai pada satu titik dimana semua itu menjadi faktor yang menghancurkan.

No comments: