Meski sejarah Islam telah "dipoles" sedemikian rupa, namun kebenaran tidak akan mungkin ditutup-tutupi selamanya. Ada banyak fragmen sejarah yang tercecer yang menunjukkan kebenaran sejati yang mengganggu para pencinta kebenaran. Misalnya saja masalah pertikaian tanah Fadak antara Fathimah dan Abu Bakar, pembangkangan para sahabat terhadap perintah Rosulullah (yang paling terkenal adalah penolakan para sahabat terhadap perintah menulis wasiat Rosul sebelum beliau meninggal yang dalam tradisi Shiah kemudian disebut sebagai Tragedi Hari Kamis).
Saya telah mencoba untuk merangkai fragmen-fragmen itu menjadi satu gambaran sejarah yang utuh. Dan dibantu dengan kamampuan saya mengkaji aspek-aspek politik beberapa fenomena sejarah dunia, saya menyimpulkan dengan sangat yakin bahwa Rosulullah telah dikudeta oleh para sahabat.
Memang sangat sukar untuk sampai pada kesimpulan seperti itu mengingat banyaknya kontradiksi yang seolah-olah menentang kesimpualn ini. Misalnya saja sebuah logika yang dikembangkan (oleh yang menentang kesimpulan tersebut) yaitu jika para sahabat mengkudeta Rosul berarti Rosul telah gagal menjalankan misinya. Logika ini saya patahkan dengan memahami misi Rosul yang sebenarnya. Sebagaimana misi para rosul sebelumnya dan juga diperkuat dengan beberapa ayat dalam Al Qur'an, misi Rosulullah hanyalah menyampaikan risalah. Adapun hasilnya adalah tidak lagi menjadi tanggungjawab beliau. Dalam salah satu ayat Al Qur'an Allah berfirman: "Bukan urusanmu (Muhammad) mengenai apa yang akan terjadi pada mereka hingga Allah mengazab mereka atau mengampuni mereka."
Kontradiksi lainnya adalah adanya "kesepakatan bersama" atau konsensus seluruh sahabat terhadap apa yang mereka lakukan paska wafatnya Rosulullah. Mengingat adanya hadits kuat bahwa ummat Islam tidak akan bersepakat terhadap kezaliman, maka konsensus tersebut adalah sesuatu yang baik dan benar. Pendapat ini membantah klaim kaum Shiah bahwa Ali, Fathimah dan ahlul bait (keluarga Rosul) serta sebagian sehabat tidak ridho dengan kepemimpinan para sahabat, khususnya Abu Bakar, Umar dan Usman. Untuk masalah ini, saya menolaknya dengan alasan konsensus tentang kepemimpinan para sahabat tidak dilakukan dengan dasar keikhlasan. Perlu diketahui bahwa sebagian sahabat utama seperti Saad bin Ubadah sang pemimpin kaum Anshar dan juga putri Rosul Fathimah Az Zahra, tidak pernah setuju dengan kepemimpinan Abu Bakar sepanjang hidupnya (Fatimah meninggal 6 bulan setelah Abu Bakar dibaiat menjadi khalifah dan Saad bin Ubadah meninggal pada masa kekhalifahan Umar). Adapun mengenai pembaiatan yang dilakukan Ali bin Abi Thalib terhadap Abu Bakar "terpaksa" dilakukan karena kebesaran hati Ali yang mengkhawatirkan terjadinya perpecahan umat Islam. Hal itu dikatakan langsung oleh Ali dalam kitab "Nahjul Balaghah" khotbah ketiga. Dalam khotbah tersebut Ali mengatakan: "Kedudukan saya dengan kepemimpinan umat adalah laksana sumbu dengan rodanya.". Adapun fragmen kebenaran yang tercecer dalam kitab "Shahih" Bukhari/Muslim tanpak dalam bab "Pembaiatan Ali". Dalam kitab yang oleh sebagian besar umat Islam sebagai kitab paling valid setelah Qur'an ini terjadi dialog sbb: Ali: "Bukankah Anda mengetahui bahwa untuk urusan kekhalifahan ini saya lebih berhak daripada Anda?". Abu Bakar menjawab: "Saya tidak bermaksud merampas hak Anda, tapi saya hanya menjalankan keinginan masyarakat."
Baiklah saya akan melakukan analisis terhadap fragmen-fragmen sejarah yang tercecer tersebut. Meski banyak sekali hadits yang menunjukkan keutamaan Ali dan penunjukan Ali sebagai pengganti Rosul, saya hanya akan mengkonsentrasikan pada beberapa langkah politik yang dilakukan Rosul yang menunjukkan keridhoan Rosul kepada Ali sebagaimana beliau umumkan kepada para sahabat dalam Perang Khaibar: "Besok bendera (komando) akan saya berikan kepada seseorang yang diridhoi Allah dan Rosulnya!" dan bendera itu ternyata diberikan kepada Ali. Tidak ada seorang pun sahabat yang diproklamirkan kemuliaannya yang sedemikian tinggi seperti Ali.
Pada peristiwa haji Wada Rosulullah memberikan kembali memberikan keistimewaan kepada Ali. Ketika sebagian besar sahabat tidak bisa menunaikan ibadah haji karena tidak membawa hewan kurban dan karenanya hanya dianggap sebagai umroh saja, Ali yang tidak membawa binatang kurban karena baru menunaikan tugas kenegaraan di Yaman, oleh Rosulullah diberi hewan kurban sehingga tetap bisa menunaikan ibadah haji.
Beberapa bulan setelah haji Wada, Rosulullah sakit keras. Pada saat itu Rosul masih tetap menjalankan tugasnya sebagai kepala negara. Misi terakhir yang diperintahkannya adalah pengiriman tentara atau ekspedisi yang dipimpin oleh Usama bin Zaid, seorang pemuda remaja putra Zaid bin Haritshah yang merupakan anak angkat Rosulullah dan telah syahih dalam Perang Mut'ah. Penunjukan Usama bukan tanpa maksud politis. Rosul ingin menununjukkan kepada para sahabat bahwa masalah kepemimpinan tidak tergantung pada kesenioran, tapi pada kualitas. Seluruh sahabat senior termasuk Abu Bakar, Umar dan Usman diwajibkan ikut dalam ekspedisi tersebut. Namun anehnya Ali tidak diikutkan dalam ekspedisi ini. Ini tidak lain karena Rosulullah tidak ingin langkah politiknya mengangkat Ali sebagai pengganti beliau tidak menghadapi halangan dari para sahabat yang telah menunjukkan resistensinya terhadap kepemimimpinan Ali.
Dan sebagai bentuk resistensi, para sahabat senior menolak ekspedisi ini sehingga Rosul marah. Dengan bersandarkan pada pundak Ali dan Ibnu Abbas karena kondisi sakit, Rosulullah mendatangi para sahabat yang menolak pemberangkatan ekspedisi, menyerukan kembali keberangkatan ekspedisi dan mengutuki mereka yang menolaknya. Namun ekspedisi tetap saja tidak berjalan sebagaimana seharusnya melainkan terhenti di Jurf, perbatasan Medinah.
Kemudian datanglah pembangkangan yang sebenarnya, hari Kamis, empat hari sebelum kematian Rosulullah. Pada saat itu di rumahnya, Rosulullah memerintahkan dituliskan wasiat yang akan diberikannya kepada ummat Islam. Kemungkinan besar salah satunya adalah mengenai kepemimpinan umat sepeninggalnya. Ini adalah yang paling rasional karena Rosul, orang yang sangat menyayangi ummatnya sebagaimana dinyatakan dalam Al Qur'an, tentu tidak akan meninggalkan umatnya dalam kondisi cerai berai. Tapi Umar, orang yang seharusnya berada dalam pasukan pimpinan Usamah, dengan keras menolak
perintah Rosul dengan alasan: Umat tidak butuh wasiat Rosul karena sudah memiliki Al Qur'an, seolah ia lupa dengan firman Allah bahwa semua perkataan Rosul adalah berdasarkan ilham yang diberikan Allah dan Rosul adalah orang yang paling mengerti tentang Al Qur'an.
Para sahabat pun terpecah menghadapi situasi ini. Sebagian menyetujui pendapat Umar, sebagian lainnya berkeras memenuhi permintaan Rosul. Para istri dan anak perempuan Rosul Fathimah (ahlul bait yang disucikan Allah dalam surat Al Ahzab: 33) mengecam perilaku Umar. Tapi Umar balik mengecam mereka: "Kalau Rosul sehat kalian menggelantungi punggungnya. Kalau beliau sakit kalian ribut menangisinya. Rosul pun kembali marah pada tingkah para sahabat itu. "Pergi kalian semua dari sini. Tidak patut kalian bertengkar di rumah Rosul!". Sebagian sehabat seperti Ibnu Abbas pun menangis melihat peristiwa ini dan menganggapnya sebagai kerugian besar bagi ummat Islam.
Umar sebenarnya sudah mengetahui apa isi wasiat yang akan dituliskan Rosul, yaitu pengangkatan Ali sebagai pemimpin ummat. Itulah sebabnya ia mencegahnya karena tidak ingin hal itu terjadi. Sebagaimana sebagian besar sahabat lainnya yang masih terikat dengan tradisi dan budaya asli Arab yang fanatik dengan kesukuan, mereka tidak menginginkan kepemimpinan dan kenabian berada di satu kabilah, yaitu bani Hasyim. Apalagi Ali relatif jauh lebih muda dibandingkan para sahabat senior.
Saat Rosul wafat, para sahabat senior tidak membuang-buang waktu untuk melaksanakan rencananya. Untuk "buying time" Umar membuat kegaduhan dengan pendapatnya yang menolak kematian Rosul seraya mengancam siapapun yang mengatakan Rosul telah wafat dengan pedang. Ini dilakukan agar Abu Bakar, yang saat itu berada agak jauh dari rumah Rosul, memiliki waktu untuk datang dan melaksanakan rencana selanjutnya. Dan setelah Abu Bakar datang, mereka segera berangkat ke Saqifah (semacam balai desa kaum Anshar) untuk merebut jabatan kepemimpinan dari kaum Anshar yang saat itu tengah mengadakan rapat membahas kepemimpinan umat. Abu Bakar dan Umar tahu, mereka harus bertindak cepat karena Ali dan keluarga Rosul tengah sibuk mengurusi jenazah Rosul. Dan akhirnya setelah melalui drama yang menegangkan, di antaranya adu debat dan adu fisik antara Umar dengan seorang anak Saad bin Ubadah, Umar berhasil mewujudkan ambisinya, merebut kepemimpinan dari Ali dan keluarga Rosul.
Selanjutnya setelah Abu Bakar menjadi khalifah, kebijakan pertama yang diambil adalah merampas hak pengelolaan tanah Fadak dari keluarga Rosul. Abu Bakar tahu, dengan kepemilikan tanah Fadak yang subur dan luas, keluarga Nabi memiliki kekuatan modal untuk merebut kembali kepemimpinan ummat.
Kharakter Umar mengingatkan saya pada seorang sahabat Isa al Masih bernama Peter. Ia dikenal sebagai seorang murid yang kasar perilakunya karena latar belakang keilmuwan yang rendah. Dalam salah satu kitab Injil gnostik yang menjadi bagian kumpulan kitab-kitab kuno dalam manuskrip "Gulungan Laut Mati" dan "Nag Hammadi", Peter mengecam Isa saat beliau mencium istrinya, Maria Maghdalena (bagi umat Islam, jangan sekali-kali berfikir nabi Isa tidak mempunyai istri karena Allah sendiri sudah menyatakan bahwa para Rosul mempunyai istri-istri dan keturunan dan tidak ada satu ayatpun yang menunjukkan adanya seorang rosul yang tidak beristri). Peter juga pernah menghina Maria Maghdalena di hadapan para sahabat hingga mengundang keributan antar para sahabat nabi Isa. Tragisnya, atas kehendak Allah dan agar menjadi ujian umat nabi Isa, Peter justru berhasil membangun institusi gereja yang eksis hingga kini, yaitu Gereja Vatican.