Friday 14 May 2010

Sri Mulyani dan Hutang Luar Negeri


Beberapa waktu lalu pemerintah Indonesia pernah terlibat perselisihan dengan sebuah perusahaan telekomunikasi Amerika. Perselisihan tersebut karena pemerintah membatalkan ijin investasi perusahaan tersebut karena berbagai alasan dan sebagai konsekwensinya perusahaan tersebut menuntut ganti rugi kepada pemerintah. Masalahnya adalah perusahaan tersebut menuntut ganti rugi yang sangat besar karena memasukkan perhitungan proyeksi keuntungan komulatif yang gagal mereka dapatkan karena pembatalan tersebut.

Ketika akhirnya arbitrase internasional memenangkan perusahaan asing tersebut, menkeu Sri Mulyani langsung dengan "gagah berani" berkomentar, "kita akan bayar!".

Terlepas dari benar tidaknya keputusan tersebut pemerintah Indonesia minimal bisa mengulur-ngulur waktu pembayaran, atau bahkan menolak pembayaran karena secara riel pembayaran "ganti rugi" tersebut memberatkan keuangan negara yang telah banyak terlilit hutang. Toh banyak kasus perdata semacam itu yang diabaikan oleh negara-negara maju. Salah satunya adalah kasus perdata antara pemerintah Iran dengan Inggris menyangkut kontrak pembelian senjata oleh regim Shah Iran. Shah telah membayarkan ratusan juta dolar kontrak tersebut, namun sebelum Inggris mengirimkan senjata yang dipesan Shah keburu digulingkan oleh Revolusi Iran tahun 1979. Pemerintah Revolusi pengganti Shah telah menuntut pengembalian uang yang telah dibayarkan Shah dan telah disahkan oleh arbitrase internasional. Namun sampai saat ini pemerintah Inggris sama sekali mengabaikan keputusan tersebut.

Kasus lainnya adalah penolakan pemerintahan Soekarno untuk menanggung hutang-hutang pemerintah Hindia Belanda dan mengganti rugi perusahaan-perusahaan Belanda yang dinasionalisasi. Namun setelah Soeharto berkuasa, semuanya itu dibayar olehnya, sama seperti Sri Mulyani membayar perusahaan telekomunikasi Amerika.

Itulah sebabnya saya tidak menyukai Sri Mulyani (meski dulu saat menjadi seorang wartawan liberal bodoh saya sangat mengidolakannya). Memang ia bagai seorang bidadari suci bagi para kapitalis asing dan para komprador-nya serta ornag-orang liberal idiot, namun bagi rakyat Indonesia ia adalah drakula. Lihatlah bagaimana ia dengan bangga menyebut kebijakan bailout bank Century sebagai sebuah kebijaksanaan yang fair. Padahal itu adalah sebuah kejahatan sistematis yang sangat massif karena menyangkut uang rakyat yang sangat besar. Dan saat terancam oleh kasus bank Century, ia melarikan diri dari tugas dan tanggungjawabnya, namun masih bisa berkoar: "saya seorang nasionalis sejati!".

Motif kejahatan Sri Mulyani dan kaum neo liberal lainnya adalah menjerat negara dalam hutang luar negeri. Tak perlu saya sebutkan berapa jumlah hutang luar negeri kita saat ini karena bahkan data resmi-pun tidak bisa dipercaya sepenuhnya. Yang pasti jumlahnya mencekik leher. Selama pemerintahan presiden SBY saja dimana Sri Mulyani menjadi menteri keuangan, hutang luar negeri Indonesia bertambah Rp100 triliun setiap tahunnya.

Anda mungkin mengejek saya karena tidak mempercayai data-data pemerintah? Baik saya balikbertanya. Pernahkan dilakukan audit independen terhadap pengelolaan keuangan negara oleh Departemen Keuangan? Dan lagi, pernahkah dilakukan audit independen terhadap keuangan Bank Indonesia? Bukankah Bank Indonesia mendapatkan keuntungan dari bunga yang dibayarkan oleh perbankan, masyarakat bahkan pemerintah? Padahal sebagai lembaga publik, mencari keuntungan sebenarnya hal yang terlarang. Tapi tidak bagi Bank Indonesia yang bahkan menetapkan bunga terhadap karyawannya yang mengajukan pinjaman untuk membeli kendaraan kerja. Jadi telan sendiri ejekan Anda.

Tulisan berikut ini dikopi dari artikel mantan dosen saya Revrisond Baswir berjudul "UTANG DAN IMPERIALISME" yang dimuat dalam situs Jurnal Ekonomi Rakyat bulan Mei 2002. Tulisan ini berkaitan dengan cara pandang kaum neo-liberalis lokal seperti Sri Mulyani, Boediono, Mafia UGM, Mafia UI, Mafia Barkeley, CSIS dlsb., terhadap masalah hutang luar negeri.

Perlu saya sampaikan disini bahwa pemberian hutang merupakan senjata efektif kepentingan asing untuk menjajah negara-negara debitornya. Dengan pemberian hutang mereka dijanjikan pendapatan bunga yang menggiurkan setiap tahunnya sekaligus kemampuan untuk mendiktekan kepentingan mereka terhadap negara debitornya. Mereka sama sekali tidak ingin hutang itu dilunasi karena dengan demikian pendapatan bunga mereka terhenti. Itulah sebabnya mereka selalu berusaha menempatkan agen-agennya, seperti Sri Mulyani dan kaum neo-liberalis pada jabatan-jabatan ekonomi yang strategis seperti menteri keuangan dan gubernur Bank Indonesia, untuk terus menambah hutang luar negeri.


UTANG NAJIS


Berbicara mengenai konsepsi utang, selama ini banyak yang tidak menyadari bahwa konsepesi utang yang dianut oleh pemerintah Indonesia cenderung sangat didominasi oleh pandangan para ekonom neoliberal. Sesuai dengan pandangan umum yang dianut oleh para pengikut Reagan dan Thatcher tersebut (Goerge, 1999), pembuatan utang pada dasarnya ditujukan untuk mencapai dua hal: Pertama, untuk menutup kesenjangan antara tingkat tabungan masyarakat dengan kebutuhan investasi (saving investment gap). Kedua, khusus untuk utang luar negeri, untuk memanfaatkan suku bunga murah yang ditawarkan oleh berbagai paket pinjaman yang ditawarkan oleh sindikat negara-negara kreditur dan lembaga keuangan multilateral tersebut.

Berdasarkan kedua tujuan itu, jelas sekali kelihatan betapa konsepsi utang para ekonom neoliberal tersebut sangat dipengaruhi oleh paradigma pembangunan ekonomi yang mereka anut. Dalam pandangan para ekonom neoliberal, pembangunan memang cenderung tumpang tindih dengan pertumbuhan ekonomi, kecenderungan ini sejalan dengan pandangan mereka yang meletakkan pertumbuhan ekonomi di atas pemerataan. Sebagaimana sering mereka kemukakan, “Jika tidak ada pertumbuhan, apa yang mau diratakan?”

Dengan paradigma pembangunan seperti itu, diakui atau tidak, ekonom neoliberal sesungguhnya dengan sadar menempatkan investasi dan investor di atas berbagai pertimbangan lainnya. Dalam bahasa sederhana, paradigma pembangunan ekonom neoliberal pada dasarnya bertumpu pada semboyan, “investor first, people second.” Kecenderungan inilah antara lain yang dibahasakan melalui ungkapan “bersahabat dengan pasar,” yang sangat populer tersebut.

Artinya, keputusan-keputusan ekonomi para ekonom neoliberal, mulai dari menyusun kabinet, memilih orientasi kebijakan, dan merumuskan program, pertama-tama harus dilihat dari sudut pengaruhnya terhadap “kepercayaan” para investor. Setiap keputusan ekonomi yang mendapat respon negatif dari para investor, harus segera dihentikan.

Celakanya, sebagai ekonom sekalipun, para ekonom neoliberal cenderung mengabaikan berbagai variabel lainnya yang wajib untuk dipertimbangkan dalam membuat utang luar negeri. Sehubungan dengan tingkat bunga misalnya, para ekonom neoliberal cenderung pura-pura tidak tahu bahwa beban utang luar negeri tidak hanya terbatas sebesar angsuran pokok dan bunganya.

Karena dibuat dalam mata uang asing, tidak dapat tidak, pembuatan utang luar negeri harus memperhatikan pula tingkat depresiasi mata uang nasional dan kemungkinan terjadinya gejolak moneter secara internasional. Dengan kata lain, dalam kondisi stabil, tingkat bunga utang luar negeri mungkin lebih murah daripada tingkat bunga pinjaman domestik. Tetapi jika terjadi gejolak moneter seperti dialami Indonesia pada tahun 1998, tingkat bunga efektif utang luar negeri dalam denominasi rupiah justru dapat lebih besar dari pada tingkat bunga domestik.

Sejalan dengan itu, para ekonom neoliberal juga cenderung mengabaikan kapasitas kelembagaan yang dimiliki sebuah negara dalam mengelola dan memanfaatkan utang. Padahal, sebagai sebuah keputusan yang akan berdampak pada timbulnya kewajiban untuk membayar pokok dan bunganya, pembuatan utang luar negeri harus disertai dengan perhitungan yang cermat mengenai manfaat yang akan diperoleh dari keputusan tersebut.

Intinya, kapasitas mengelola dan memanfaatkan utang harus dapat menjamin meningkatnya kemampuan sebuah negara dalam membayar utang. Tetapi para ekonom neoliberal cenderung memandang kapasitas mengelola dan memanfaatkan utang ini sebagai sesuatu yang tidak perlu mendapat perhatian. Sebab itu, walaupun Indonesia terkenal sebagai negara juara korupsi (lihat Tabel 3), tidak aneh bila Hadi Soesastro pernah berucap, “Hanya orang bodohlah yang menolak utang luar negeri.”



Saya tidak tahu persis siapa sesungguhnya yang bodoh. Yang pasti, jika ketidakstabilan moneter yang menandai sistem keuangan global dan perilaku korup rezim yang berkuasa diabaikan begitu saja oleh para ekonom neoliberal dalam membuat utang luar negeri, menjadi mudah dimengerti jika sebagian besar ekonom neoliberal tidak mengenal konsepsi utang najis (odious debt). Padahal, konsep yang diperkenalkan oleh Alexander Nahum Sack pada tahun 1927 ini, sangat penting artinya dalam menetukan metode penyelesaian beban utang luar negeri yang dipikul Indonesia.

Sebagaimana dikemukakan Sack (sebagaimana dikutip dalam Adams, 1991), “if a despiotic incurs a debt not for the needs or in the interrest of the State, but to strengthen its despotic regime, to repress the population that’s fights againts it, etc., this debt is odious for the population of all the State. This debt is not an obligation for the nation; it is a regime’s debt, a personal debt of the power that has incurred it, consequently it falls with the fall of this power.”

Konsep utang najis yang diperkenalkan Sack itu tidak datang dari negeri antah berantah, melainkan dibangun berdasarkan preseden sengketa utang-piutang antar negara yang pernah terjadi jauh sebelum ia memperkenalkan konsep tersebut. Sebagaimana dikemukakan Adams, negara pertama yang menerapkan konsep utang najis itu dalah Amerika Serikat (AS), yaitu ketika negara itu mendukung perjuangan kemerdekaan rakyat Cuba dari penjajahan pemerintah Spanyol tahun 1898. menyusul beralihnya penguasaan Cuba daari Spanyol ke tangan AS, maka pemerintah Spanyol segera mendeklarasikan bergesernya tanggunggjawab untuk melunasi utang luar negeri Cuba yang dibuat semasa pemerintahan pendudukan Spanyol itu kepada AS.

Tetapi AS secara tegas menolak penggeseran tanggungjawab untuk melunasi “utang-utang Cuba” tersebut. Dalam jawabannya kepada pemerintah Spanyol, AS antara lain mengatakan, “They are debts created by the government of Spain, for its own purposes and through its own agents, in whose creation Cuban had no voice.” Sebab itu, AS berpendapat, utang-utang tersebut tidak dapat diperlakukan sebagai utang penduduk Cuba, (dengan demikian) juga tidak bersifat mengikat bagi pemerintah Cuba berikutnya.

Dilihat dari konsep utang najis sebagaimana diperkenalkan Sack tersebut, dapat disaksikan bahwa sesungguhnya terbuka peluang yang sangat lebar bagi pemerintahan Indonesia pasca Soeharto untuk setidak-tidaknya tidak membayar seluruh utang luar negeri yang dibuat semasa rezim Soeharto. Sebagaimana diketahui, rezim Soeharto yang terguling pada tanggal 21 Mei 1998 itu, yaitu menyusul berlangsungnya perlawanan panjang mahasiswa sejak pertengahan 1990, adalah sebuah rezim yang otoriter dan korup.

Sebagai sebuah rezim yang otoriter, pemerintahan Soeharto seringkali membuat utang secara bertentangan dengan kepentingan rakyat. Sebaliknya, tidak jarang pemerintahan Soeharto justru membuat utang untuk menindas rakyat. Bahkan, sebagai sebuah rezim yang korup, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa sebagian utang luar negeri yang dibuat oleh rezim Soeharto, justru diselewengkan oleh para pejabatnya untuk memperkaya diri mereka sendiri dan para kroninya. Dalam taksiran Bank Dunia, volume utang luar negeri yang diselewengkan rezim Soeharto meliputi sekitar 20 - 30 persen dari total utang luar negeri yang dibuat rezim tersebut (World Bank, 1997).

Pendek kata, karena sebagian utang luar negeri yang dibuat oleh rezim Soeharto tidak dinikmati oleh rakyat, sesungguhnya tidak ada sedikit pun alasan bagi setiap pemerintahan Indonesia Pasca Soeharto untuk mensosialisasikan dampak beban utang najis tersebut kepada rakyat banyak. Sebaliknya, adalah kewajiban setiap pemerintahan yang memihak kepada rakyat untuk meminta pertanggungjawaban para kreditur atas kesalahan mereka menyalurkan utang-utang itu. Caranya tentu bukan dengan meminta penjadualan ulang (debt reschedulling), melainkan dengan meminta pemotongan utang (debt reduction).

No comments: