Monday 21 March 2016

GUSTAVE



Indonesian Free Press -- INI adalah nama julukan untuk seekor buaya Sungai Nil yang berhabitat di ne­gara Burundi, Afrika, yang terkenal karena repu­ta­sinya se­ba­gai buaya pemangsa ma­nusia terbesar di dunia.
Semua binatang pemangsa manusia yang ditulis di buku ini telah tewas atau tertangkap setelah diburu manusia, na­mun tidak de­mi­kian hal­nya dengan Gustave, yang sam­pai saat ini tidak diketahui ke­bera­daannya setelah diyakini telah  me­mangsa le­bih dari 300 ma­nusia. Meski angka tersebut be­lum bisa di­­ve­rifikasi me­ngi­ngat sebagian besar kor­ban­nya adalah penduduk negara yang sistem ad­minis­trasinya masih ter­belakang, namun reputasi ter­sebut tentu ti­dak dida­patkan begitu saja.

Gustave diketahui tinggal di sekitar Sungai Rusizi di perbatasan Kongo dan Burundi hingga ke ba­gian utara Danau Tanga­nyika di negara Burundi, Afrika tengah. Na­ma Gustave sen­diri diberi­kan pertama kali oleh Patrice Faye, seorang her­pe­tologis dan petualang asal Perancis yang mempelajari kehi­dupan buaya ini sejak ta­hun 1998. Sebagian besar informasi tentang Gustave di­da­pat­kan dari film dokumenter “Capturing the Killer Crocserta artikel majalah National Geo­graphic yang ditulis oleh Michael McRae pada bulan Maret 2005. Namun pa­da ke­dua­nya, Pa­trice Faye meru­pa­kan nara­sumber uta­manya.

Karena tidak per­nah ter­tang­kap, tidak di­ke­­tahui pasti u­ku­r­an tu­buh dan umur Gus­tave. Namun p­a­­ra ahli yang per­­nah meli­hat­­­­­nya meya­ki­ni ukuran tubuhnya mencapai 6 meter lebih de­ngan berat badan lebih dari satu ton. Itu adalah ukuran yang lu­ar bia­sa besar untuk jenis buaya Sungai Nil  karena ukuran se­be­sar itu bi­a­sanya ha­nya bisa dicapai oleh jenis buaya air asin yang ting­gal di wilayah India, Asia Tenggara hingga Australia Utara. 


Sekedar per­ban­ding­an, Lolong, na­ma see­kor buaya air asin yang ter­tang­kap di Buna­wan Creek, Fi­li­pina tahun 2011, me­­­mi­­liki pan­­­jang 6,17 me­­ter dan ter­catat se­bagai buaya ter­be­sar yang per­­nah ditangkap hidup-hidup oleh manusia. Ia ditangkap oleh tim ga­bungan yang dibentuk pemerintah setelah dianggap ber­tang­gungjawab a­tas kematian sejumlah orang dan hilangnya se­jumlah kerbau milik warga. Dibu­tuhkan lebih dari 100 orang un­­tuk me­ngang­kat Lolong ke darat. Sayang buaya ini tidak ber­u­mur panjang di da­lam kan­dang dan pada tanggal 10 Fe­bruari 2013 ditemukan tewas.  A­da­pun buaya terbesar yang per­nah di­bu­­­ru manusia adalah buaya air asin yang ditembak oleh pem­bu­ru buaya Krystina Pa­wlow­ski tahun 1957 di Sungai Nor­man di de­kat kota Normanton, Queensland, Australia. Buaya ini ter­ca­tat me­­mi­liki panjang hing­ga 8,65 meter.

Dari catatan pejabat-pejabat sipil dan kepolisian Burundi, dike­ta­hui bahwa Gustave mulai melakukan aksinya me­mangsa ma­nu­­sia pa­da tahun 1987 di wilayah sekitar dusun-dusun Magara, Kanyo­sha, dan Minago yang terletak di pantai utara Da­nau Tanganyika. Se­rangan-se­­rang­­an terjadi secara periodik. Pada bulan Oktober hing­ga Fe­bru­ari biasanya terjadi serangan-serangan intensif  kemudian se­la­ma tiga  tahun tidak terjadi satu serangan pun. Pada setiap se­ra­ngan itu otoritas lokal me­nye­but­kan buaya raksasa sebagai pela­kunya.
Para ahli berbeda pendapat tentang usia Gustave. Sebagian ber­pendapat usianya telah mencapai 100 tahun untuk men­­capai u­ku­ran sebesar itu. Namun sebagian ahli mem­ban­tahnya, ka­rena pada usia setua itu buaya sudah kehi­langan se­bagian besar gi­gi­nya.  Mereka memperkirakan u­si­a se­be­nar­nya sekitar 60-an ta­hun. Gustave dikenal memiliki tiga bekas luka tembakan di tu­buh­­nya, terutama di bagian kepala. Pundak kanannya di­ke­tahui ju­ga memiliki bekas luka yang da­lam. Para ahli mengklaim u­ku­ran tubuhnya yang besar me­mak­sanya un­tuk memangsa mah­luk hidup berukuran be­sar juga seperti kuda Nil, kerbau air, rusa wildebeest hingga ma­nusia. 

Menurut keterangan sejumlah warga lokal, Gustave sering me­ning­­galkan mang­sanya utuh tanpa dimakan dan melakukan pem­­­­bunuhan ka­rena kesenangan. Sedangkan dalam film do­ku­menter “Cap­­turing the Killer Croc” disebutkan bahwa Gus­tave, dengan ukur­an tubuhnya yang memungkinkannya ber­tahan tidak ma­kan selama berbulan-bulan, sangat selektif  dalam memi­lih mangsanya.

Upaya-Upaya Penangkapan dan Penampakan Terakhir
Hingga tahun 1998 Gustave hanya sekedar seekor buaya tidak ber­nama yang menghantui warga di wilayah-wilayah sekitar ha­bitatnya sebelum akhirnya menjadi perhatian dunia setelah Pa­trice Faye berusaha menangkapnya, se­bagian karena  mo­tif  il­miah, dan selebihnya tentu saja de­mi kemasyuran.
Faye pertama kali mendengar kabar tentang buaya raksasa pe­mangsa manusia itu dari para penangkap ikan  di danau Tanga­nyika yang biasa men­cari cichlids, sejenis ikan hias akuarium yang di pa­saran Ame­rika dan Eropa harganya mencapai $150. Faye sesekali meminta jasa mereka  untuk men­dapatkan mah­luk-mahluk hidup untuk me­ngi­si mu­seum sejarah dan taman flo­ra dan fauna di Bujumbura, dimana ia dibayar oleh peme­rintah Burundi un­tuk meres­torasinya.

"Orang-orang itu bersedih. Mereka mengatakan seorang teman me­reka telah dimangsa oleh seekor buaya raksasa. Mereka su­dah mengenal lama mahluk itu. Ia terkadang da­tang, meng­hi­lang se­lama beberapa tahun, dan kembali lagi untuk mem­bu­nuh,” kata Faye kepada wartawan National Geographic yang me­­wa­wan­ca­rainya.

Setelah mendapatkan ijin berburu, Faye pun memulai pe­tu­a­lang­annya memburu Gustave. Kepala Dusun Kabezi mela­por­kan kepadanya tentang enam warganya yang menjadi kor­ban Gus­­tave, dua di antaranya tidak pernah ditemukan sisa ja­sad­nya.

 "Para saksi mata melihat seekor buaya yang lebih besar dari­pa­da kuda nil,” kata Faye menirukan pengakuan kepala dusun itu.

Selama tiga bulan kemudian Faye mendapatkan lagi 17 laporan serangan mematikan Gustave. Seorang di antara korban itu ada­lah pelajar berusia 15 tahun yang diseret ke dalam air di ha­dap­an banyak orang. Seorang tentara yang berada tidak jauh dari lokasi serangan datang dan menembaki binatang ini dengan se­napan Ka­lash­nikov, namun itu tidak cukup untuk meng­hen­ti­kan­nya.

Sekitar bulan Mei 1999 Faye mendapatkan informasi dari pen­jaga Taman Nasional Rusizi bahwa buaya terbesar yang per­nah terlihat di taman itu menampakkan diri lagi setelah meng­hilang selama enam bulan. Dari para petugas taman ia mendapatkan infor­masi keberadaan dua buaya terbesar, namun yang seekor ber­u­­kuran sedikit lebih kecil dan me­nying­kir setiap kali buaya yang paling besar da­tang. Pada saat itulah Faye  menamakan bu­aya ter­besar itu se­bagai Gustave, sementara buaya yang lebih kecil sebagai Ga­tumba. Dari laporan petugas taman dan laporan tentang ter­ja­dinya serangan-serangan diketahui bahwa setiap buaya itu meng­­­hilang dari Taman Nasional Rusizi, serangan-serangan Gus­­­­tave terjadi di wilayah pantai utara Danau Tanga­nyika.

Untuk mendukung misinya menangkap Gustave, Faye pun meng­­hubungi para pen­do­nor dan mengadakan wawancara-wa­wancara dengan sejumlah media mas­­­­­sa.  Apa yang dila­ku­­­kan­nya itu secara efektif membuat na­ma Gustave men­jadi terkenal ti­dak saja di Burundi, namun hing­ga ke manca negara. Se­de­mi­kian terkenalnya hingga warga Burundi menjuluki pe­mim­pin­nya, diktator Pierre Buyoya, se­bagai “Gustave”. Namun, ke­ber­­hasilan terbesar Faye dalam misi ber­ba­ha­ya­nya itu ha­nyalah me­motret binatang itu pada jarak dua meter di be­­la­kang e­kor­nya.

Reputasi Gustave sebagai pelahap daging manusia nyaris tidak masuk akal. Seekor buaya bisa bertahan hidup tanpa makan se­lama 2 minggu setelah mengkonsumsi 4,5 kg daging, dan se­te­lah memangsa seekor wildebeest ia bisa berpuasa selama se­bulan atau lebih. Bahkan dalam kondisi khusus, seekor buaya bi­sa tetap hidup tanpa makanan selama setahun. Namun Gus­tave sanggup me­nelan sejum­lah mangsa dalam beberapa hari saja. Inilah yang menjadi faktor utama pertumbuhan tubuhnya yang luar biasa.

Awal tahun 2004 menjadi saksi otentik keganasan Gustave. Pa­da bulan Januari Gustave menghilang dari pengamatan di del­ta Su­ngai Rusizi. Pada bulan Februari Faye men­da­patkan in­for­masi seekor buaya raksasa merangkak di pan­tai utara Da­nau Ta­­nganyika. Sebulan kemudian sekelompok nelayan me­la­porkan kepada Faye bahwa “seekor buaya sebesar perahu“ te­ngah me­lahap mangsanya di dekat kota Magara. Faye pun ber­ge­­­rak ke ko­ta itu dan mendapatkan data yang men­ce­ngang­kan­nya ten­tang keganasan Gustave dari otoritas setempat:
·         Harimenshi, umur 14 tahun, putra dari Ntigacika Francois, tewas tanggal 8 Maret.
·         Mbaychonankwa, remaja, putra dari Karenzo Peel, tewas tanggal 10 Maret.
·         Cekamabo,  (usia tidak diketahui), tewas tanggal 12 Maret.
·         Ntimunsubire, remaja, putra dari Ezechiel Buumi, tewas tanggal 14 Maret.
·         Ndarubayemwo, remaja, putra dari Mugabonihera, tewas tanggal 15 Maret.

Di Burundi dan sebagian besar negara Afrika lainnya, se­rangan-serangan buaya terhadap manusia umumnya tidak tercatat. Ter­­lebih jika korbannya adalah warga biasa. 

Namun tidak semua serangan binatang pemangsa, segesit apa­pun dia, yang mendatangkan keberhasilan. Demikian juga de­ngan Gus­tave. Salah seorang korbannya yang selamat ada­lah Audifax. Na­ma keluarga “Hatungimana” yang artinya adalah “Tuhan me­lin­dungimu”, dan mungkin karena itulah ia selamat dari serangan Gus­tave.

Audifax bekerja sebagai tukang cukur di sebuah kios pinggir ja­lan di kota Bujumbura yang merupakan ibukota Burundi dan ter­letak di tepian timur-laut Danau Ta­­nganyika, beberapa kilo­me­ter se­belah tenggara delta Sungai Rusizi  yang bermuara di Da­nau Ta­­nganyika. 

“Peristiwanya terjadi 7 tahun yang lalu (tahun 1998) saat saya berumur 13 tahun,” kata Audifax kepada wartawan National Ge­ographic yang mewawancarainya.

Dengan jelas Audifax pun menceritakan pengalaman maut yang dialaminya itu. Saat itu ia tengah berenang di danau bersama te­man-temannya sebelum tengah hari, di tempat yang disebut dengan nama “Voodo Beach”. Kemudian tiba-tiba teman-te­man­nya bere­nang ke pinggir untuk menye­­la­matkan diri se­telah mendengar warga di pantai ber­teriak-teriak tentang a­danya bu­aya besar. Audifax tidak mende­ngar te­ri­akan itu dan terus bere­nang, hingga kemudian ia merasakan ka­ki­nya ditarik oleh sesu­atu. Awalnya ia me­ngira teman-teman­nya bertindak usil, na­mun setelah di­tengoknya ke bela­kang, ia me­lihat buaya besar. Sete­lahnya ia merasakan pedih di bagian ka­ki­nya. 

Tanpa diduga pada saat itu seorang nelayan memukulkan ka­yuh­­nya de­ngan keras ke permukaan air, mengejutkan buaya itu dan mele­pas­kan gigitannya pada kaki Audifax. Ia pun segera bere­nang ke daratan de­ngan buaya itu mengi­kuti tepat di be­lakangnya, namun buaya itu tidak menyerangnya lagi se­hingga ia pun selamat, meski tidak de­ngan kakinya yang harus diam­putasi karena serangan itu. Ketika ditanyakan bagimana ia memastikan bahwa buaya itu adalah Gustave, ia menjawab tegas: 

“Saat saya di rumah sakit, saya mendapatkan kabar bahwa em­pat orang lain telah diserang dan dimangsa oleh buaya di pantai yang sama. Lima serangan buaya di satu tempat, pasti itulah pe­ker­jaan Gus­tave!”

Namun yang menakjubkan adalah Audifax tidak merasa kapok untuk kembali berenang di tempat itu. Hal seperti itulah yang me­nye­bab­kan tingginya angka korban Gustave.

Ahli buaya dari Afrika Selatan Alison Leslie, bergabung dengan Faye dalam perburuan terhadap Gustave pada bulan Oktober 2002. Ia telah berpengalaman meneliti Buaya Sungai Nil dari Bot­swana hingga Afrika Selatan. Suatu saat ia mendapat ke­sem­patan melihat Gustave dari jarak 152 meter dengan binocular-nya. Saat itu juga ia terkesima melihat ukuran Gustave.

“Ia lebih besar dari semua buaya Sungai Nil yang pernah saya lihat, bahkan yang di dalam penangkaran. Saya sangat senang bahwa masih ada buaya sebesar itu hidup di alam liar,” katanya kepada National Geographic.

Selama ini buaya terbesar yang pernah dilihat Leslie adalah ber­ukuran panjang 4,6 meter. Sedangkan buaya Sungai Nil ter­besar yang pernah ditangkap manusia adalah 5,5 meter. Namun de­mikian Leslie tidak pernah bisa mempercayai kalau Gustave bi­sa memangsa lebih dari 300 orang.

Salah satu hal yang menarik tentang Gustave adalah me­nge­ta­hui faktor yang menjadikannya sebagai pemangsa ma­nusia.  Sa­lah satu teori menyebutkan bahwa jumlah manu­sia semakin mem­bengkak di sekitar Delta Sungai Rusizi sementara pada sa­at yang sama jumlah binatang yang men­jadi mangsa alaminya justru mengalami penurunan. Hal ini mendorong Gustave me­nga­lihkan mangsanya kepada ma­nu­sia. Teori lainnya menye­butkan bahwa banyak mayat yang dibuang ke Sungai Rusizi selama perang saudara di Kongo, menjadi konsumsi Gustave. Dan setelah tidak ada lagi mayat, ia mengalihkan perhatiannya pada manusia hidup. Faktor lainnya lagi menyebutkan bahwa Gus­tave menyim­pan dendam kepada manusia yang telah me­nga­­kibatkan sejumlah luka tembakan pada tubuhnya, terutama pada ma­sa-masa wilayah Kongo dan Burundi dilanda pe­rang sipil.

Gatumba adalah kota yang paling dekat dengan Taman Na­sional Rusizi. Pada dekade silam Gatumba berubah dari sebuah desa kecil menjadi kota berpenduduk ribuan orang setelah kedatangan ribuan pengungsi perang sipil di Kongo dan Bur­undi. Dengan kon­disi kesehatan dan keamanan yang minimal me­reka me­menuhi pinggiran sungai Rusizi, men­cuci atau buang hajat. Anak-anak bahkan berenang ke te­ngah sungai. Di salah satu dusun di wilayah ini, seorang wanita bernama Nitegeka Abiya, menceritakan penga­lamannya me­nge­rikan yang me­nimpa suaminya.
"Saya tidak ingat pasti tanggalnya. Namun peristiwa itu terjadi sekitar jam 15.00. Suami saya, Mayoya, dan saya ba­ru saja ma­kan siang, dan kemudian ia pergi ke sungai untuk mandi,” ka­tanya.
Tidak lama kemudian Abiya mendengar orang-orang ber­teriak ten­tang buaya yang menyeret orang ke dalam air. Abiya segera ber­lari ke sungai dan melihat pakaian sua­minya di pinggir su­ngai. Saat itu ia mengetahui, sua­minya telah menjadi korban ke­ga­nasan Gustave. Tiga hari kemu­dian warga menemukan ke­pala su­ami Abiya.

Namun bagi warga Gatumba, kondisi mereka yang berada di darat saat itu tidak lebih buruk daripada yang di pinggir sungai. Seminggu sebelum ke­datangan Faye, misalnya, 160 pengungsi Huthi di kamp pe­ngung­si di kota itu dibantai oleh para pejuang suku Hutu. Maka setiap terjadi serangan Gustave, tidak lama ke­mudian warga tidak lagi mempedulikannya dan kembali me­menuhi tepian sungai sementara anak-anak kembali bermain-main di sungai.

Di luar berbagai upaya penangkapan yang telah dilakukan ter­ha­dap Gustave sebelumnya, termasuk yang menga­ki­bat­kan be­be­rapa bekas luka-luka di tubuhnya, dalam “In Cap­turing the Killer Croc”, Patrice Fey memaparkan be­berapa upaya pe­nang­kapan yang dilakukan timnya terhadap Gus­tave. Setelah dua tahun melakukan observasi mendalam terhadap Gustave, Pa­trice pun mulai mencoba un­tuk me­nangkapnya. Upaya per­tama adalah de­­ngan me­masang pe­rangkap besi berukuran 9 me­ter seberat 1 ton dengan um­pan di dalamnya, kemudian ditem­pat­kan di tem­pat-tempat yang diperkirakan menjadi ha­bitat Gus­tave. Na­mun meski berbagai jenis umpan telah di­be­rikan, Gus­tave tidak pernah menyentuh perangkap itu. Yang bi­sa di­ketahui adalah dalam beberapa kesempatan sepasang mata bu­a­ya besar men­dekati perangkap, namun tidak pernah mema­su­kinya. Ke­mu­dian Patrice memasang beberapa jeratan raksasa di be­be­rapa tem­pat strategis, namun juga gagal me­nang­kap­nya, mes­ki be­berapa buaya lain tertangkap.

Dalam upaya terakhir, Patrice memasang umpan hidup berupa se­e­kor kambing di dalam perangkap besi. Setelah berhari-hari menunggu tanpa hasil, suatu malam terjadi hujan badai yang me­­rusak kamera infra merah yang dipasang di dalam pe­rang­kap. Keesokan harinya para ahli menemukan perangkap itu da­lam posisi tenggelam sebagian, sedangkan kambing di da­lam­nya telah hilang. Sebagian orang menganggap kambing itu te­lah dimangsa oleh Gustave, namun karena tidak ada bukti yang mendu­kung maka dianggap kambing itu hilang terbawa banjir.

Sejak namanya menjadi terkenal di seluruh dunia, berbagai u­pa­ya penangkapan fisik ataupun penangkapan visual dila­ku­kan terhadapnya. Namun Gustave justru semakin sulit un­­tuk dite­mukan hing­ga menimbulkan berbagai spekulasi tentang ke­ma­tiannya, baik oleh karena usianya ataupun ka­rena ditembak oleh pa­ra pem­buru atau­pun oleh para pem­­ber­on­tak bersenjata yang ba­­nyak ter­dapat di sekitar per­ba­tasan Burundi dan Kongo di mana Su­ngai Rusizi me­ngalir. 

Pada bulan Januari 2007 Hollywood Pictures dan Buena Vista Pictures merilis film berjudul “Primeval”. Film ini terinspirasi oleh upaya penangkapan Gustave yang dila­kukan oleh Patrice Faye. Kemudian pada bulan Februari 2008 fotograper National Geo­graphic Mar­tin Best berhasil memotret Gustave saat tengah berjalan di tepi danau di antara bebek-bebek liar. Itu adalah penampakan Gustave terakhir yang pernah tercatat.
***


Catatan: Tulisan ini adalah bagian dari buku yang sedang ditulis blogger tentang binatang-binatang pamangsa manusia paling terkenal di berbagai penjuru dunia.

1 comment:

kasamago.com said...

Menangkp buaya pemangsa lbh sulit ktmbng harimau. Kmampuan menghilangny dlm air bak kapal selam.
Gustave bner2 populer bgt hingg hollywood pun smpai terkesima.

Request kisah animal hunting lainnya, spti anaconda atau beruang grizzly..