Thursday 10 October 2019

'Deep State' dan Kesamaan Kondisi Indonesia dan Amerika

Indonesian Free Press -- Kami melihat kesamaan kondisi di Indonesia dan Amerika saat ini. Yaitu, ketika dua kekuatan gelap berbenturan dan di atas keduanya berdiri kekuatan gelap yang sebenarnya, yang lebih kuat namun lebih sulit dilihat.

Di Amerika kini terjadi pergumulan antara kubu Presiden Donald Trump melawan kubu Partai Demokrat sebagaimana ditulis dalam postingan sebelum ini. Blogger dan penulis terkemuka Mike Adams dan Israel Shamir menyebut kekuatan di belakang Demokrat sebagai 'Deep State' yang terdiri dari para birokratis Partai Demokrat seperti suami istri Bill dan Hillary Clinton, Barack Obama, dan Joe Biden, media-media massa arus utama seperti Washington Post dan New York Times, inteligen FBI/CIA, bankir-bankir IMF/World Bank, Liberalis/Internasionalis. Sedangkan Donald Trump, seperti ditulis oleh Ian Greenhalgh dari Veterans Today didukung oleh kelompok-kelompok mafia Rusia-Israel, zionis Israel-Amerika seperti Partai Likud Israel, kelompok2 lobi dan buzzer yahudi Anti-Defamation League (ADL), Southern Poverty Law Centre (SPLC) dan American-Israeli Public Affairs Committee (AIPAC).


Dalam keseharian sebenarnya kedua kelompok itu bekerja dengan saling berkaitan seperti misalnya kelompok2 zionis dan lobbi Israel itu, juga kelompok2 mafia pendukung Trump juga mendukung kubu Demokrat. Namun Trump lebih dekat dengan para mafia karena karier beliau memang dirintis di jalur 'mafia'. 

Berbeda dengan para Demokrat yang membangun kariernya di dunia politik, birokrasi dan jurnalistik. Kami lebih suka menyebut kubu Donald Trump sebagai 'hard power' yang mengandalkan kekuatan dan kekuasaan terlebih karena Trump memegang kursi kekuasaan. Sedangkan kubu Demokrat sebagai 'soft power' yang mengandalkan permainan persepsi publik melalui media massa. 

Demikian juga dengan Indonesia. Kami melihat tengah terjadi pertarungan antara kekuataan 'hard power' melawan 'soft power'. Yang pertama adalah kubu Presiden Jokowi dan lawannya adalah kubu opportunis yang berusaha melakukan 'bargaining' politik jelang pelantikan presiden dan pembentukan kabinet baru. Kubu opportunis yang 'tersingkir' dengan merapatnya Gerindra ke Jokowi, bekerjasama dengan kepentingan Amerika yang khawatir dengan penetrasi Cina atas Jokowi kemudian merancang krisis Papua dan mendompleng aksi-aksi massa menolak RUU KPK.

Sama dengan Amerika, situasi di Indonesia menjadi ajang pertikaian antara kubu 'hard power' yaitu Jokowi, melawan 'soft power' yang dapat dilihat disuarakan oleh group media Tempo dan Kompas, aktifis dan pengamat. Kubu terakhir diduga juga didukung oleh seorang mantan presiden yang masih berpengaruh kuat di kalangan bisnis, inteligen, militer dan KPK. 

Namun berbeda dengan Jokowi yang relatif lebih kuat dibandingkan lawannya, posisi Donald Trump lebih rawan untuk dimakzulkan. Jika di Indonesia aparat keamanan sangat kuat sehingga bisa menangkap sesorang karena hanya 'menyindir' Jokowi, di Amerika lawan-lawan Trump sudah terang-terangan melakukan langkah hukum dan politik untuk memakzulkan Trump melalui proses 'impeachment'. Kubu Demokrat juga menguasai aparat inteligen dan hukum sehingga mereka dengan enteng berbicara tentang kemungkinan 'menangkap presiden dan pejabat istana' tanpa harus khawatir ditangkap karena tuduhan makar.

Tentang kondisi ini wartawan dan penulis senior Finian Cunningham menulis artikel menarik berjudul 'America’s Political Implosion' di blog Strategic Culture, 9 Oktober.

'Amerika sedang berperang dengan dirinya sendiri. Amerika sendiri yang tengah menghancurkan sistem politiknya dan sangat mungkin menghancurkan masyarakaatnya," tulis Cunningham.(ca)

No comments: