Monday, 28 July 2008
Amerika Negara Dunia Ketiga
Ada beberapa kriteria yang diterima oleh masyarakat dunia mengenai klasifikasi kemajuan negara-negara meski kriteria-kriteria itu agak bias dan mengandung unsur subyektifitas. Negara dunia pertama adalah negara yang secara ekonomi dan teknologi maju dan telah menerapkan prinsip-prinsip demokrasi seperti adanya konstitusi atau undang-undang dasar; adanya pembagian kekuasaan antara eksekutif, legislatif dan yudikatif; penyelenggaraan pemilu secara periodik; pembatasan masa kekuasaan pemerintah; serta adanya kebebasan pers, berorganisasi dan berekspresi.
Negara-negara dunia kedua adalah negara-negara yang tergabung dalam blok komunis tanpa dilihat bagaimana kemajuan ekonomi maupun penerapan prinsip demokrasinya. Sedangkan negara-negara dunia ketiga -- istilah ini sebetulnya sangat diskriminatif -- adalah negara-negara di luar dua kelompok tersebut di atas dengan kriteria secara ekonomi dan teknologi terbelakang dan belum menerapkan prinsip demokrasi. Di negara-negara dunia ketiga terdapat beberapa ciri yang sama yaitu pemerintahan yang otoriter dan tidak adanya kebebasan, kemiskinan, dan fasilitas sosial yang sangat kurang.
Amerika di era modern sekarang ini dinilai sebagai kampiun negara-negara maju atau dunia pertama. Amerika pulalah, melalui pers dan pejabat-pejabat pemerintahannya, yang membuat klasifikasi kemajuan negara-negara di dunia dan diamini oleh seluruh bangsa di dunia. Namun kondisi itu tampaknya sudah tidak tepat lagi, dan Amerika, pelan namun pasti, terjerembab ke dalam kelompok negara dunia ketiga.
Setidaknya ada dua indikator yang menjadi dasar penulis menyimpulkan hal itu. Pertama standar sosial yang menurun, dan kecenderungan pemerintahan yang otoriter.
Ketika terjadi bencana badai katrina yang menghancurkan kota besar bersejarah New Orleans tahun 2005, masyarakat Amerika dan dunia mengira kondisi akan segera dapat dipulihkan. Apalagi setelah Presiden G.W. Bush sendiri membuat pernyataan yang sangat menyentuh kebangsaan rakyat Amerika: "Amerika bukanlah Amerika yang sebenarnya tanpa New Orleans." Namun kenyataannya, hingga kini New Orleans tidak pernah pulih seperti semula. Dengan alasan kekurangan dana, pemerintah Amerika mengabaikan pembangunan kembali New Orleans. Padahal dana yang jauh lebih besar digelontorkan untuk membiayai perang Afghanistan dan Irak yang justru ditentang rakyat Amerika sendiri.
Beberapa tahun lalu kita pernah mendengar kabar tentang terjadinya pemadaman listrik selama beberapa hari di sebagian besar wilayah Amerika. Saat itu kabar yang muncul di media massa adalah karena faktor kecelakaan teknis. Namun baru-baru ini kantor berita Reuters melaporkan sebuah berita yang mengejutkan: Amerika mengalami krisis energi sehingga memaksa pemerintah negara bagian Kalifornia melakukan pemadaman listrik di tiga kota utama negara bagian, Los Angeles, San Francisco, dan Santa Barbara.
Amerika mengalami krisis energi? Rasanya tidak masuk akal, negara dengan tingkat teknologi paling maju itu masih mengandalkan BBM. Bukankah Amerika mampu mengembangkan sumber energi paling efisien, nuklir, sehingga kapal selam dan kapal induk milik mereka tidak memerlukan setetes BBM-pun untuk berjalan mondar-mandir keliling dunia sepanjang umurnya. Dan bila mau semua mobil pun sudah bertenaga nuklir atau minimal betere listrik. Namun selama minyak masih menjadi komoditi yang menguntungkan, apalagi bila bisa dipermainkan harganya seenaknya, negara semaju Amerika pun bisa mengalami krisis energi. Faktanya adalah kampanye pemadaman listrik di Amerika sudah didahului oleh negara-negara maju lainnya seperti Australia, Inggris, dan Perancis.
Ditambah dengan tingginya angka kriminalitas, angka perceraian, kekerasan dalam rumah tangga, aborsi, anak-anak yang lahir tanpa orang tua lengkap, plus tingginya jumlah imigran gelap dengan standar hidup yang minim membuat kondisi sosial di Amerika tidak berbeda jauh dengan negara-negara dunia ketiga. Termasuk New Orleans, kota yang terkenal karena eksotismenya, bahkan sebelum terkena badai katrina sudah berubah menjadi kota yang kumuh, ditinggal penduduk kulit putih yang tersingkir oleh dominasi orang-orang kulit hitam yang kini menguasai jalan-jalan dan taman-taman kota serta segala fasilitas umum lainnya.
Sekarang kita bahas tentang kecenderungan pemerintah yang semakin orotiter. Meski secara teknis pemerintah Amerika sudah bangkrut --karena menanggung hutang triliunan dolar kepada industri perbankan swasta internasional yang menguasai secara mutlak sektor moneter dengan memiliki seluruh saham bank sentral Federal Reserve -- dan mengalami tingkat kepercayaan paling rendah dari rakyatnya karena Perang Irak, pemerintah Amerika sangat agresif berupaya menerapkan berbagai undang-undang yang sangat mengekang warga negaranya. Setelah Patriot Act (UU yang mengijinkan aparat negara menyadap telepon dan e-mail semua warga negara. Padahal Amerika pernah menurunkan seorang presidennya dari jabatan karena kasus penyadapan), Real ID Act (UU yang mewajibkan semua warga negara dipasangi chip di badannya untuk memonitor gerak-gerik semua warga negara) dan UU keimigrasian baru (yang menaturalisasi 20 juta pendatang haram menjadi warga negara) pemerintah berupaya mengundangkan UU anti-terorisme baru “Violent Radicalization and Homegrown Terrorism Prevention Act”.
UU baru ini sangat membahayakan hak-hak azazi warga negara Amerika karena mengandung pasal-pasal karet yang mudah diintepretasikan menurut kehendak penguasa. Contoh paling nyata pasal karet itu digunakannya kata-kata "demi tujuan lain" (for other purpose). Jadi dengan alasan "demi tujuan lain" yang sangat bias pemerintah berhak menerapkan undang-undang tersebut terhadap warga negaranya di antaranya menginterogasi, menahan, memenjarakan atau bahkan menghukum mati.
Bagi pengamat sejarah Amerika adalah menarik mengetahui bahwa frase "demi tujuan lain" dalam undang-undang telah diterapkan jauh sebelum Homegrown Terrorism Prevention Act dibahas oleh lembaga legislatif Amerika, Congress. UU Bank Sentral (Federal Reserve Act) yang diundangkan tahun 1913 juga mengandung frase karet tersebut. Akibatnya bangsa Amerika harus menyerahkan kekuasaan pencetakan uang kepada sekelompok bankir swasta yang sudah barang tentu lebih memikirkan keuntungan pribadi daripada kepentingan rakyat. Konsekwensinya harus dibayar mahal oleh seluruh rakyat Amerika meski tidak disadari, yaitu hutang pemerintah yang mencapai $ 9 triliun yang harus dibayar setiap tahun dengan pajak yang dibebankan kepada rakyat. Hutang itu tidak akan pernah terbayar lunas hingga kiamat karena adanya riba bunga berganda yang dibebankan oleh para bankir swasta tersebut. Apalagi alih-alih berupaya mengurangi beban keuangan, pemerintah Amerika selalu menerapkan kebijakan pemborosan yang dibiayai dengan hutang kepada swasta: anggaran pertahanan yang luar biasa besar, bantuan rutin yang sangat besar kepada anak kesayangannya yang manja, Israel, serta kebijakan "perang melawan terorisme". (Untuk melihat bagaimana tidak demokratisnya Amerika film dokumenter “America: From Freedom to Fascism” karya sutradara Aaron Russo atau buku Stupid White Men karya Michael Moorer adalah referensi yang cukup baik).
Hal ini tentunya sangat bertolak belakang dengan Venezuela, negara yang bertahun-tahun terakhir ini dimusuhi Amerika karena berani menentang dominasi Amerika di Amerika Latin. Dengan uang hasil penjualan minyak yang diproduksinya dan dikelola dengan baik, Venezuela berhasil keluar dari status negara terbelakang menjadi maju secara ekonomi. Paling tidak saat ini Venezuela mampu membantu negara-negara tetangganya dengan bantuan pinjaman tanpa bunga senilai $ 4,5 miliar. Untuk melepaskan diri dari jeratan hutang bankir internasional, Venezuela, dengan dukungan negara-negara tetangganya bahkan telah membentuk bank pembangunan Amerika Selatan, Banco del Sur. Bank yang didirikan dengan modal awal $ 7 miliar tanggal 3 November lalu itu dalam satu tahun ditargetkan bakal memiliki asset hingga mencapai $ 50 miliar.
Dengan berbagai realitas tersebut di atas rasanya aneh bila kita masih menganggap Amerika sebagai negara paling maju di dunia. Mungkin sebaliknya Amerika kini telah menjadi negara dunia ketiga.(Dimuat di Harian Batam Pos, 2007)
Keterangan gambar: Manusia tenda. Saat ini ada ratusan ribu bahkan mungkin jutaan rakyat Amerika tinggal di tenda. Mereka membentuk komunitas sendiri di sekitar kota-kota besar dan lokasi mereka biasa disebut tent city atau kota tenda.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment