Friday 25 July 2008

INTELEKTUAL BAYARAN

“Jika orang-orang yang menguasai media massa itu mencari sosok ilmuan untuk membenarkan serangan terhadap Arab dan dunia Muslim, mereka berpaling ke Bernard Lewis, Yahudi kelahiran Inggris yang asal keturunannya tidak pernah disinggung-singgung.”
(Michael Collin Piper dalam The High Priest of War)

Beberapa waktu lalu seorang teman, dosen Fakultas Teknik USU yang juga doktor oceanografi satu-satunya di Sumatera, meminjamiku buku bestseller karya Bernard Lewis berjudul The Crisis of Islam, Holy War and Unholy Terror sebagai balasan karena aku telah meminjaminya buku biografi BJ Habibie. “Supaya kita bisa belajar mengetahui kelemahan sendiri dan belajar dari keberhasilan bangsa lain,” katanya saat menyerahkan buku tersebut.
Karena penasaran dengan nama besar Bernard Lewis, yang sebagaimana sesama ilmuwan neo-konservatif seperti Samuel Huntington maupun Francis Fukuyama sering menjadi rujukan kalangan intektual Indonesia dan banyak disebut namanya di media-media massa nasional, aku tidak sabar untuk segera melalap halaman demi halaman buku tersebut. Namun baru dalam bab pengantar aku langsung menemukan pandangannya yang “kurang obyektif”. Meski berusaha menyembunyikan pandangannya yang sebenarnya tentang Islam dan berusaha bersikap netral sebagaimana seharusnya seorang ilmuan, impuls-impuls kebencian terhadap Islam sesekali tidak dapat disembunyikannya.
Pada tahap ini aku langsung memutuskan untuk mengakhiri eksplorasi pemikiran Bernard Lewis karena bagiku membaca buku Bernard Lewis sama saja belajar Islam pada seorang kafir yang terus menunjuki jidat muridnya seraya berkata: “Kalian orang-orang Islam adalah kafir.”
Namun alhamdulillah aku tidak perlu membaca langsung semua karya-karya Bernard Lewis untuk mengetahui pikiran-pikirannya yang sebenarnya terutama setelah membaca artikel Adian Husaini dalam majalah Islamia berjudul “Bernard Lewis dan Apologia Barat”.
Menurut Adian, pandangan Lewis terhadap Islam didasari pada asumsi dasar bahwa Islam adalah musuh sebagaimana pandangan Lewis dalam bukunya : “… a significant sumber of Muslim – notably but not exclusively those whom we call fundamentalist – are hostile and dangerous, not because we need enemy but because they do).
Adian menambahkan, pandangan-pandangan Lewis terhadap Islam sangat jauh dari obyektif. Misalnya saja ia hanya melihat Muslim lebih berpihak pada Jerman yang telah mengirim orang Yahudi ke Palestina daripada Inggris yang ingin mengeluarkan Yahudi dari Palestina. Ia juga melihat Muslim lebih berpihak kepada Uni Sovyet daripada Amerika dan Barat, padahal Sovyet banyak berperan dalam pendirian negara Israel. Padahal fakta yang sebenarnya adalah Inggris dan Amerika lah yang menjadi bidan kelahiran Israel dan sekaligus sebagai penjaganya. Inggrislah yang mengeluarkan Deklarasi Balfour yang menjadi pijakan pokok kelahiran negara Yahudi, dan Amerika mengamankan kepentingan Israel dalam forum internasional selain bantuan senjata dan uang yang tidak terbatas. Sebaliknya Uni Sovyet lah yang telah mempersenjatai negara-negara Arab dalam perangnya melawan Israel baik dalam Perang Arab-Israel tahun 1967 maupun tahun 1973.
Lewis pun secara terus terang menyarankan pemerintah Amerika mengulingkan rejim-rejim Arab maupun Muslim lainnya yang tidak mau bekerjasama dengan Amerika dan Barat. Ia juga menuduh orang Islam telah berlaku tidak fair dalam menilai Barat. Menurutnya, alih-alih melihat kesalahan sendiri, orang-orang Islam suka melihat kesalahan Barat. Misalnya saja, sebut Lewis, orang-orang Islam begitu marah pada kasus pembantaian pengungsi Palestina di kamp Sabra dan Shatilla, namun cuek pada pembantaian pengikut ikhwanul muslimin oleh Presiden Syria Hafez Assad.
Hampir semua aspek disinggung Lewis hanya untuk menunjukkan kelemahan orang-orang Islam. Ia misalnya menyinggung kemenangan pejuang Afghanistan atas Uni Sovyet hanya terjadi karena bantuan senjata dan dukungan strategis Amerika. Ia juga menyebutkan dengan nada sinis bagaimana orang-orang Turki Ottoman terkagum-kagum dengan kemegahan kapal perang Inggris. Mungkin untuk mengingatkan bahwa kalau mau Inggris sudah “menyudahi” keberadaan khilafah terakhir Islam itu lebih awal beberapa ratus tahun sebelum kehancuran kerajaan Turki di awal abad 20.
Lewis adalah ilmuwan yang pertama kali memunculkan wacana tentang clash of civilization dalam artikelnya di majalah Athlantic Monthly berjudul “The Roots of Muslim Rage” tahun 1990, jauh sebelum Samuel Huntington mempopulerkannya dalam buku Clash of Civilization and Remaking the World Order. Sedangkan Francis Fukuyama yang terkenal dengan bukunya The End of History adalah salah seorang penandatangan petisi yang mendesak penyerangan atas Irak paska Tragedi WTC. Mereka bertiga adalah yang memberikan “justifikasi ilmiah” atas sebagian besar kebijakan politik kaum neo-konservatif, terutama yang bertentangan dengan kepentingan dunia Islam.
Michael Collin Piper dalam bukunya The High Priest of War menjuluki Bernard Lewis sebagai “embah-nya orang-orang fanatik anti-Arab”. Mungkin tulisan Anis Shivani dalam sebuah artikel di majalah Counterpunch dapat menggambarkan sosok sebenarnya tentang Bernard Lewis. Menurut Anis, selain fanatik anti-Arab dan anti-Islam, Lewis sebenarnya “kurang wawasan” tentang Islam. Anis menulis:
Dalam artikel ini (“The Roots of Muslim Rage”, pen.) Lewis menolak semua penjelasan yang sangat gamblang – misalnya saja kegagalan politik Amerika – dan mencari “sesuatu yang lebih dalam” sehingga “semua permasalahan menjadi tidak terselesaikan”, tanpa menjelaskan apa “yang lebih dalam” itu. Ia menolak anggapan bahwa imperalisme sebagai penyebab terjadinya “kemarahan” ummat Islam yang berujung pada munculnya gerakan perlawanan bersenjata, dan justru menuduh bahwa terorisme memiliki konotasi religius dalam Islam.
Pada beberapa bukunya seperti The Arabs in History (1950), The Emergence of Modern Turkey (1961), Semites and Anti-Semites (1986), The Jews of Islam (1984), dan Islam and the West (1993), Lewis telah menyusun sebuah katalog apa yang ia pandang sebagai “penyakit dunia Islam yang tak terobati”. Pada buku terbarunya (What When Wrong, pen.), Lewis membuka analisisnya tentang “apa yang salah (dalam dunia Islam, pen.)” pada kemunduran militer Turki Ottoman pada abad XVI dan beberapa abad selanjutnya. Interpretasi Lewis tentang Islam sangat terfokus pada dinasti Ottoman, sangat sedikit menyinggung peradaban Islam di Asia Selatan, Asia Tenggara, Asia Tengah, Persia, Afrika Utara, dan dengan interpretasi yang sempit itu ia mengekstrapolasi seluruh sejarah ummat Islam.
Meski analisa Lewis sangat bias, namun kenyataannya ia sangat dipuja-puja oleh kalangan politisi pro-Israel. Pada bulan April 2003 The New York Times menyebutkan bahwa buku Lewis, What When Wrong telah memberikan pengaruh yang besar bagi kebijakan politik luar negeri Amerika, terutama melalui Wakil Presiden Dick Cheney. The New York Times juga mengungkapkan bahwa beberapa waktu sebelum Tragedi WTC, Lewis dikontrak oleh Menteri Pertahanan Amerika Donald Rumsfeld dan deputinya, Paul Wolfowitz dalam suatu proyek untuk mengevaluasi bagaimana kerajaan-kerajaan besar di masa lalu mempertahankan kekuasaannya. Paul Wolfowitz (pernah jadi dubes Amerika di Jakarta) sendiri dalam sebuah sambutan acara khusus yang diadakan untuk memberikan penghargaan bagi Lewis yang diadakan di Israel mengatakan:
Bernard Lewis secara brilian telah menempatkan beberapa hubungan dan isu di Timur Tengah dalam konteks yang lebih luas, dengan sangat obyektif, orisinil dan pemikiran-pemikiran –yang selalu independen. Bernard telah mengajarkan kita untuk memahami kompleksitas dan pentingnya sejarah Timur Tengah dan menggunakannya untuk memandu kita ke arah mana kita akan menuju untuk membangun dunia yang lebih baik bagi generasi mendatang.
Lamis Andoni, seorang veteran wartawan yang selama 20 tahun meliput Timur Tengah menyatakan bahwa Lewis tidak hanya memberikan justifikasi sejarah bagi kebijakan perang pemerintahan George W Bush, juga menjadi “bapak idiologi” kebijakan politik re-kolonisasi Arab yang dimulai dengan serangan ke Irak. Menurut Lamis, dengan menyatakan “rakyat Arab dan Iran telah gagal mencapai modernisasi dan jatuh ke dalam jurang kebencian dan kemarahan”, Lewis telah mendorong kebijakan imperialis Amerika dan memberikan landasan moral yang dibutuhkan Presiden Bush untuk melaksanakan kebijakan “serangan pendahuluan” dan “perubahan penguasa” di dunia Islam.
Dalam kenyataannya, tambah Lamis, Lewis tidak hanya aktif menulis dan berkomentar, namun juga aktif dalam kegiatan-kegiatan lobbi untuk menekan pemerintah untuk lebih aktif mendukung Israel dan menyerang Arab. Sebagai contohnya, tulis Lamis, pada bulan Februari 2001 (sebelum Tragedi WTC) Lewis turut menandatangani petisi bersama Donald Rumsfeld, Paul Wolfowitz dan lain-lain yang isinya mendesak Presiden Clinton untuk melakukan serangan militer ke Irak, termasuk, bila perlu, menggunakan metode bom karpet yang sangat keji. Selain itu satu orang putranya juga aktif AIPAC, sebuah organisasi lobby Yahudi yang sangat berpengaruh di Amerika.

No comments: